![]() |
Dokumen Pribadi |
Contradixie, Esai – Tidak
butuh hal khusus untuk membuat saya tiba-tiba merindukan Jogja. Kota tersebut
sempat menjadi tempat saya bernaung selama kurang lebih empat tahun. Sejak
masih berusia 23 hingga kemudian telah berada di usia 27. Jogja menelan usiamu
begitu halus, dan tanpa kau sadari tiba-tiba saja sudah sampai pada momen-momen
krusial, setidaknya bagi beberapa orang. Bahwa jika kau tidak segera
menyelesaikan tugas-tugasmu di kota tersebut, maka kota itulah yang akan dengan
terpaksa menyelesaikanmu.
Jogja
memang bisa sedemikian menjebak. Saya masih bisa melihat tiga orang perempuan
dengan terseok berusaha menarik koper, tas besar, dan juga bawaan lainnya di tengah-tengah gang
sempit Sapen. Tiga perempuan itu adalah saya, Ica, dan Kak Farida pada awal
bulan September tahun 2017, tepat sehari setelah perayaan Idul Adha. Kini
ketika saya menengok pada sore itu, rasanya tidak sedang berusaha menjangkau
masa lalu yang begitu jauh, rasanya tidak sedang mereka-reka ulang kejadian
lima tahun lalu di kepala. Semuanya masih terasa seperti kemarin sore, dan saya
masih tetap ingin berlama-lama di Jogja. Meski pada kenyataannya kini saya
berjarak sekitar tujuh jam lamanya dari kota tersebut.
Setiap
orang berhak merindukan Jogja, dan tentu saja setiap orang berhak memiliki
definisinya tersendiri tentang kota tersebut. Umum disebut sebagai Kota
Pelajar, belakangan dianggap sebagai Kota Seribu Warung Kopi, dan tentu saja
yang paling popuper adalah syair dari Joko Pinurbo yang sangat familier; “Yogya
terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.”
![]() |
Dokumen pribadi |
Siapa
pun yang pernah berkunjung ke Jogja memiliki setidaknya satu ingatan unik
tentang kota tersebut. Adapun ingatan saya yang paling unik tentang Jogja
adalah masa-masa di mana saya dan sang pacar—yang kini sudah menjadi suami—selalu
mengambil jalur lebih jauh setiap kali hendak mengantar saya pulang ke kosan
sehabis nongkrong.
Sudah
semacam rutinitas untuk menempuh waktu yang lebih lama dan bersantai di jalanan
Jogja yang sedikit lengang pada pukul satu atau dua dini hari. Rute yang kami
lewati tidaklah menentu, namun selalu dimulai dari Sorowajan Baru, lalu
kemudian motor akan dibelokkan ke barat, utara, selatan, ataupun timur sesuka
hati. Sebenarnya tidak ada tujuan khusus mengapa kami sering memboros bahan
bakar dengan mengambil jalur yang lebih jauh dari semestinya, tidak perlu
alasan khusus mengapa kami membuang-buang waktu yang begitu penting untuk
dipergunakan tidur, apalagi sang pacar harus masuk kantor keesokan harinya pada
pukul 09.00. Kami hanya sedang gabut saja, dan anehnya sebab kami gabut hampir
setiap malam.
Pada
masa itu lagu Sesuatu Di Jogja yang
dinyanyikan Adhitia Sofyan tentu saja sudah ada dan sering diputar di
warung-warung kopi. Namun bukan lagu itu yang kami nyanyikan saat menyusuri
malam dingin di jalanan Jogja, alih-alih melantunkan lirik yang dengan padat,
jelas, dan lugas mengisyaratkan bahwa Jogja itu istimewa, kami justru
menyanyikan Sepanjang Jalan Kenangan milik
Tetty Kadi.
Tidak
menentu kami akan memulai liriknya dari awal atau justru langsung ke bagian
reff, yang pasti lagu itu nyaris tak pernah luput kami nyanyikan ketika sedang
berboncengan motor dengan ujung jemari yang terasa dingin karena embusan angin
basah.
Sengaja aku datang ke kotamu
Lama kita tidak bertemu
Ingin diriku mengulang kembali
Berjalan-jalan bagai tahun lalu
Seperti
ada kekuatan magis pada lirik lagu tersebut yang secara tidak sadar membuat
kami, utamanya saya, tiba-tiba bergidik membayangkan betapa masa depan tak
dapat ditebak. Satu hari nanti entah apa yang akan terjadi pada kami berdua,
bisa saja tetap bersama namun tentu saja kemungkinan adanya perpisahan juga
sangatlah terbuka. Dan bila hari itu
tiba, di mana aku dan lelaki yang memboncengku ini ditakdirkan berpisah,
kira-kira bagaimana cara yang tepat untuk mengenang Jogja.
Sepanjang jalan kenangan
Kita s’lalu bergandeng tangan
Sepanjang jalan kenangan
Kau peluk diriku mesra
…
Walau diriku kini t’lah berdua
Dirimu pun tiada berbeda
Namun kenangan s’panjang jalan itu
Tak mungkin lepas dari ingatanku
Terdapat
ucapan populer yang sering diulang-ulang oleh beberap kawan, bahwa di setiap
sudut Jogja memiliki kenangan. Dalam kasus yang saya alami, tentu saja kalimat
itu benar belaka. Tidak terbilang sudah berapa panjang jarak yang telah kami
tempuh di malam-malam yang telah lalu, sudah berapa banyak gang yang kami
masuki, menyusuri bagian-bagian sempit dan heningnya, dan tentu saja sudah
berapa kali lagu Sepanjang Jalan Kenangan
kami nyanyikan.
Bila
hari itu benar-benar datang—meski syukurnya hari itu tidak jadi
datang—barangkali saya adalah satu di antara beberapa orang lain yang akan
merasa sesak setiap kali membayangkan Jogja. Tidak hanya perihal angkringannya
yang begitu ikonis, namun setiap kali membayangkan untuk pulang ke Jogja karena
rindu yang tak dapat dijelaskan, saya hanya akan mendapati diri berakhir dengan
linangan air mata. Barangkali memang selalu ada sesuatu di Jogja, sebagaimana
lagu yang dilantunkan Adhitia Sofyan, namun sesuatu itu tidak melulu indah,
bukan? Kadang-kadang justru mematahkan hati.
… dan kau ada di posisi
yang mana?