Hanung Sudah Maksimal

Sumber gambar: https://mataloka.wordpress.com/



Contradixie, Esai – Menonton novel Bumi Manusia, harus kuakui, membuatku terhibur. Banyak sekali imajinasi yang tidak kudapatkan saat baca novelnya, bisa kudapatkan di sini. Bahkan, imajinasiku yang paling liar pun.

Pertama, mungkin para penonton bisa mengamati bagaimana mimik Minke ketika dirinya sedang dimonyetkan oleh Herman Mellema karena dirinya pribumi, inlander. Aku ndak terbayang saja sebelumnya kalau ekspresi ketika sedang direndahkan harus sampai memelototkan mata ke lantai sedemikian rupa. Tapi, rasa-rasanya memang sulit sih, sulit sekali, untuk memerankan sesuatu yang kita sendiri, terbersit dalam pikiran saja tidak pernah. Ya persis dengan bagaimana kita bisa memunculkan mimik cemburu kalau selama 27 tahun hidup, tidak pernah jatuh cinta.

Kedua tentang pengaturan tempat. Saat membaca novelnya (duh mbaca rek) yang muncul di benakku itu selayang kota yang tengah mengalami modernisasi dengan hiruk pikuk karyawan dan mesin-mesin industri. Eh, tapi, ternyata imajinasiku terlalu Eropa. Film ini berhasil memberiku bayangan baru jika Surabaya pada awal abad 20 masih berupa desa-desa asri dengan beberapa gedung megah yang halaman depan dan belakangnya susah dibedakan. Darinya pun, aku bisa lebih memahami, apalagi bagi yang sudah lama di Jogja ya, jika jarak antara kediaman Jean Marais dan Rumah Ann sama dengan jarak waduk sermo, Kulonprogo, dengan Parangtritis. Jauh, Cuk, ternyata!

Ketiga mengenai bahasa. Satu scene yang paling menghiburku adalah bila ada percakapan yang dalam satu waktu langsung melibatkan enam bahasa: Belanda, Jawa Ngoko, Jawa Kromo, Indonesia, Madura, dan Inggris (model begini tidak jarang terjadi). Aduh. Ini sungguh tak terlupakan. Tidak ada jika bukan film Bumi Manusia. Ya pripun nggeh. Jadi, rasanya itu kayak belajar bahasa Belanda sekaligus logikanya. Bagian terjemahnya pun tidak ada pembedaan warna. Plus jarak. Antara yang Indonesia dan Inggris. Untuk yang bulan depan mau lanjut studi ke Amsterdam, bolehlah belajar dulu lewat film ini. Murah, kok.

Keempat, kembali ke persoalan mimik. Selain Minke versi film menawarkan raut muka yang otopdebok dalam mengekspresikan kemuakan melihat kepongahan Eropa dan keminderan pribumi yang sampai ke DNA itu, rupanya di film ini kita juga akan dimanjakan dengan apa itu yang kusebut sebagai surprise mimik. Jadi, saat nonton nanti, jangan kaget ya jika di kala Minke sedang bahagia umpamanya, kita akan disodorkan selipan adegan yang mendadak sedih parau luar biasa. Begitu pun sebaliknya. Ah pokoknya menghibur lah. Baik buat asupan daya imajinasi manusia.

Walhasil, daripada ribet baca dan akhirnya imajinasi kalian akan mengkhianatimu sendiri, mending bayar 35rb deh. Dapat bonus juga lho. Apa? Pemandangan penonton-penonton sebelah yang gemesin. Bayangin, kapan lagi coba kita bisa dengerin diskusi di bioskop dan penonton yang malah sibuk cettingan saat film sedang diputar jika tidak Bumi Manusia. Ayolah cintai perfilman Indonesia.

Cat: ditulis saat film Bumi Manusia masih tayang.
Penulis: Zav

Comments

Popular Posts