Memasak Sup Kelingking

Sumber gambar: https://www.instagram.com/p/BnslirFBdgQ/?igshid=1blx7fx1iww8l


Memang, selepas dua minggu di Jakarta, di rumah anak pertamanya, si nenek berbeda. Selain semakin tua, beliau juga menjadi lebih murung. Malahan, konon kata salah satu cucu kesayangannya, Sisi, beliau sering menggerutu ingin pulang, padahal itu sudah rumahnya.

Masak juga. Dulu, dalam sehari beliau bisa masak dua kali, meski itu hanya menggoreng kembali sisa lauk paginya, tapi kali ini pergi ke dapur saja ogah kecuali kepepet. Yang si nenek ingat untuk lakukan, meski sudah seminggu di rumahnya sendiri, di desa, hanyalah salat. Salat dan salat.

Soal salat, barangkali ini tidak menarik. Lebih menarik tentang masak. Suatu pagi, si nenek kedatangan tamu. Namanya Toro. Dia anak dari anak kedua si nenek. Toro ini cucu cowok pertama si nenek. Dia tidak tinggal bersama nenek, jadi saat Toro mengunjungi si nenek, beliau punya kebiasaan memasakkan menu spesial.

Sekitar pukul sepuluh pagi, Toro tiba. Salam-salim dia lakukan. Biasanya selepas salam-salim, Toro duduk agak lama dan mendengar si nenek berkeluh kesah. Tapi, entah kenapa pagi itu Toro langsung menuju dapur. Seolah Toro sudah mafhum jika si nenek sedang tidak bisa diajak serius.

Seperti biasa, dia mengambil piring. Dia mencari nasi, tapi tidak menemukan. Hanya ada sepanci di atas kompor. Ia membukanya. Tutup panci meneteskan uap air tanda bahwa sup di dalamnya sudah masak.

Toro mengambil sendok sup, mengaduknya biar rata dan kepo saja, sebenarnya si nenek masak sup apa.

Setelah diaduk, Toro tidak menemukan sepotong sayur pun. Yang ada hanya beberapa jari. Agak banyak, sih. Ada yang kecil, sepertinya jari anak-anak. Ada yang agak besar. Ada juga yang masih ada akiknya.

"Ini si nenek, ngapain cincinnya tidak dilepas," gerutu Toro sambil menerka-nerka, milik perempuan atau laki-lakikah jari kelingking yang barusan dilihat itu.

Karena Toro ada cerita dengan cincin (biasa trauma anak muda, tidak jadi menikah padahal sudah beliin cincin), dia setibanya tidak nafsu makan. Tapi dia masih mengambilnya. Mungkin biar dianggap menghargailah. Toh sudah dimasakkan.

Toro mengambil tiga jari. Jari tengah, jempol, sama kelingking. Biar tampak sudah dimakan, akhirnya Toro iseng. Dia membuang, eh atau menyimpan ya (kadang dua kata itu berkelindan), ketiganya di tempat yang berbeda. Pertama ia buang di belakang rumah. Dilempar begitu saja. Kedua ditaruh di pojokkan kamar tengah, di samping ruang keluarga, sedangkan yang ketiga disimpannya rapi di lemari kaca ruang tamu, bagian pojok utara. Ia menaruhnya perlahan di bagian belakang sebelah kiri. Ya biar tidak nampak dari luar.

"Kha kha kha,"

Toro tersenyum jahat dalam hatinya. Ia lebih nampak seperti habis menyelesaikan sesuatu ketimbang sekadar makan sup buatan nenek. Pokoknya dia puas.

Dari ruang tamu, ia berlari kecil menuju kamar mandi yang lokasinya bersampingan dengan dapur. Ia merasa gerah tiba-tiba. Ia ingin mandi. Kebahagiaan membayangi setiap gerak hidungnya. Tapi ini tidak berlaku lama.

***

Di depan pintu kamar mandi, terjejer beberapa handuk. Dia memilih handuk milik Sisi.

Dia menengok ke arah ruang keluarga.

Tiada siapa pun.

Menengok ke kamar mandi.

Kosong.

Akhirnya dia melepas semua kain yg membalutnya.

Ia memulainya dari kaos.

Celana pendeknya dilepas hanya dengan menggoyang-goyangkan pinggul dan berhasil.

Maklum Toro tak pernah memiliki celana yang pas, apalagi kekecilan.

Ia ingin memakai cara yang sama untuk sempak, tapi tidak bisa. Akhirnya terpaksa memakai tangan. Lepasnya sempak menjadi penanda awal ketelanjangannya. Ia, seperti biasanya, menggaruk-garuk bagian selangkangan yang semi basah akibat pengap  sempak sambil mencabut beberapa jembut di bawah dua bijinya. Ritual terakhir sebelum mandi juga ia lakukan. Apa? Menikmati baunya. Hmmm, begitu lirihnya dalam angan.

Sambil menatap perutnya yang lumayan tidak buncit, karena sengaja dikecilkan, dia merapikan pakaian-pakainnya tadi di gantungan baju. Handuk dipakai dan masuk ke kamar mandi.

Baru saja dia menutup pintu dari dalam dan melepas ikat handuknya bagian depan, kamu tahu apa yang terjadi? Ekor matanya melihat keganjilan. Tepatnya di belakang bagian atas pojoknya. Dia diam sejenak. Mencoba menenangkan diri. Ritual sebelum mandi sudah kulakukan, tapi kok.

Diamnya berbuah cemas. Pasalnya kali ini ekor matanya menangkap adanya pergerakan. Seperti mengayun. Depan ke belakang. Kamar mandi di rumah neneknya ini, apalagi, tidak pernah tersentuh mentari. Jadi meski siang, nuansanya malam. Cahaya ada, tapi sebatas temaram lampu.

Ketakutan mulai menjalar dari mata ke pikiran. Pikiran ke hati dan hati ke tangan. Ia menutup kembali auratnya yang sedang mengecil (mungkin doi junior juga sedang takut). Ia mengumpulkan sesimpul keberanian untuk menoleh ke belakang. Toro memejamkan mata. Nafas panjang ia ambil. Satu, dua, ... Ia berhasil menoleh.

Hati kecilnya berharap, ia akan mendapatkan kekosongan, seperti yang terjadi di film-film pada umumnya. Tapi ini bukan film. Ini cerpen. Jadi, harapannya berbuah lara.

Tatapan matanya, tepat saat menoleh ke belakang, disambut secara presisi oleh dua mata lain yang dingin. Kaku. Dan pseudo-kosong.

Toro, untuk sejenak, benar-benar terpaku. Sebentuk bayangan yang cukup jelas berada tepat di bagian atas penggungnya.Berdiri agak membungkuk di atas pintu. Kedua tangannya mengayun ke depan, ke belakang, agak cepat, hingga membuatnya berwarna lebih hitam berbayang. Jari-jarinya blur.

***

Kepalanya ndiluk lantaran Toro berada di bawahnya. Rambutnya acak-acakan hingga nampak mirip kribo. Warna kulitnya pucat seperti menyerupai njet. Ekspresinya diam, meski sorot kosong matanya menyiratkan harapan. Yang entah harapan apa itu.

Kakinya tidak keliatan. Daster putih polos yang cukup bersih, lebar, dan kusut (sangat kusut, sampai-sampai mirip pakaian setelah diuntel-untel) menutupi keduanya. Dari caranya mengayunkan tangan, sebentuk tersebut bertubuh gemulai, tapi kuat.

Toro tak tahu harus bagaimana lagi. Ia terjebak dalam tatapan "sebentuk" perempuan paruh baya itu sampai ketakutannya membawanya pada sepotong ingatan tentang sup kelingking dan cincin yang masih menempel. Ia segera memalingkan muka dan ndelalah berhasil. Ia langsung berlari menuju ruang tamu. Berharap ada seseorang yang bisa jadi tempat bercerita.

***

Di teras ada Sisi sedang mengobrol dengan seorang bapak yang tak ia kenal. Saking gugupnya, ia langsung berkeluh takut atas apa yang dilihatnya di kamar mandi tanpa permisi pada si Bapak. Sisi tidak menanggapinya serius. Barangkali karena ini tentang hantu. Perkara hantu, banyak orang memang tidak bisa menerimanya.

Namun, tidak bagi si Bapak. Ia bertanya beberapa hal pada Toro. Dari awal tiba di sini, rumah nenek, sampai ia lari tunggang langgang, Toro ceritakan. Si bapak mengambil nafas panjang mendengar cerita Toro: antara memikirkan sesuatu dan menemukan kaitannya dengan beberapa hal yang sudah ia tahu. Entah itu tentang rumah si nenek, si nenek sendiri, dan Sisi.

Dengan nada agak berat sambil memegang pundak Sisi, menenangkan, si Bapak akhirnya menyuruh Toro untuk segera mengembalikan tiga jari yang ia pisahkan tadi ke Panci. Toro melakukannya. Dari tiga jari yang berhasil diambilnya kembali, jari kelingking-lah yang lebih cepat membusuk. Teksturnya kali ini sudah keropos, padahal belum ada satu jam pasca-diambil dari panci.
***

Kemudian mereka duduk di ruang tamu, bagian pojok, di depan lemari tempat kelingking pernah tersimpan. Si Bapak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada rumah nenek Toro, termasuk mengapa Toro semacam terhipnotis sampai tidak tahu jika sup yang nyaris dia makan itu adalah sup jari-jari manusia.

Raut muka Toro menyembulkan ketakutan. Jemarinya masih bergetar, “Ya Tuhan, jadi tadi itu sup kelingking yang akan kumakan. Ssssss.”

“Terus, Bapak, yang di kamar mandi itu?” Sisi mencoba menenangkan situasi meski dia sendiri tidak sepenuhnya paham.

“Iya. Itu demit. Tapi, santai, Sisi. Sekarang udah aman. Jari-jarinya sudah dikembalikan ke tempatnya. Demit itu tidak akan menganggu lagi jika apa yang menjadi haknya sudah kita kembalikan.”

“Tapi, Pak. Ssss …” Toro mencoba bicara, meski diurungkan.

“Tak apa, Toro. Sudah selesai. Sekarang dibuat makan saja sana. Eh minum maksud saya. Kan kalau mau makan, lauknya masih sup kelingking manusia … hihihi.“ si Bapak mencoba membuat candaan, meski tidak didapatkan oleh Sisi dan Toro.

Sisi dan Toro masih merunduk. Aroma sup dengan kaldu manusia masih semerbak di dapur. Si Bapak masih duduk dengan agak mendongak di antara Toro dan Sisi, membayangkan sesuatu. Demitnya? Entah, mungkin masih tercantol di kamar mandi atau barangkali sudah pulang ke belakang, memasang kembali jari-jari yang usai disembunyikan Toro. Tidak ada yang peduli.

***

“Lo, kasian demitnya dong tidak ada yang peduli. Diabaikan itu sakit tahu!”  

“Ah sudah, ah. Pokoknya begitu ceritanya. Kok kamu asu, sih. Harusnya yang kamu respons bukan itunya, sayang … ”

“Terus apanya? Anunya?”

Aku tertawa.

“Hi hi hi, kamu itu ya. Mau ditidurin, eh tidur maksudku, tidak mau. Minta dicritani dulu kayak putri-putri zaman kerajaan. Eh sekarang, sudah kuceritain masih saja tidak terima. Mau mancing biar aku cerita pengalamanku yang lain?”

Kamu membalas pertanyaanku dengan ciuman di bibir kiriku dan selesailah cerita masak dan supnya, tapi untuk jari-jari, hahaha, masih akan berlanjut.


Penulis: Zav

Comments