SACTFN: Sekarang Aku Cerita Tentang Film NKCTHI



awas spoiler

Contradixie, Esai – Pertama yang perlu kuceritakan adalah film NKCTHI ini bagus. Jadi nanti akan kuulas kubandingkan dengan beberapa film internasional. Yah, meski nanti jadi kelihatan celanya. Perlu kubilang lagi, film ini bagus jadi bandingannya harus bagus juga itu maksudku. Kalau mas Aulia Adam di Tirto menyorotinya dari sudut kelas. Mengenai bagaimana bayangan perayaan keluarga ideal kalangan menengah di Jaksel. Aku mau cerita soal karakterisasi yang kata mas Aulia mapan namun menurutku biasa-biasa aja.

Faktor paling mencolok dari bagusnya film ini, bisa jadi kita sepakat, soundtracknya. Dibuka dengan backsound Rehat-nya Kunto Aji buatku merasa dan berekspektasi film ini akan penuh semiotika. Dan betul tiap adegan bermakna, nyaris tak ada lubang, anggaplah semuanya saja signifikan. Dari langkah gontai pak Narendra (Donny Damara) sampai senyum satu keluarga itu di bandara.

Karakterisasi juga jadi kunci mengapa film ini jadi bagus. Ditunjang dengan plot maju mundur, mengisahkan silang kelindan masa kecil dan dewasa dari tiga bersaudara dengan ayah dan ibu mereka. Alur ini membantu kita mudah menangkap konteks mengapa karakter Angkasa (Rio Dewanto) dan Aurora (Sheila Dara) begitu mengakar. Untuk karakter Awan (Rachel Amanda), kukira justru banyak celah. Ya, kau boleh bilang bisa saja karakter Awan itu dibikin dinamis, berkembang, tidak disajikan secara tradisional yang saklek tak berubah. Cuman gini, dari tiga kakak beradik itu kenapa cuma Awan yang karakternya dinamis, kenapa?

Kita tentu sepakat karakter manusia tidak dapat diubah dengan cuman dua sks kuliah, logisnya begitu. Ini si Awan bisa malih karakter hanya dengan ngobrol semalam. Dari ketiga tokoh itu Awan paling sedikit kilasan masa kecilnya dan paling banyak kisah masa dewasanya. Untuk menggambarkan konteks karakter Awan ini, Angga dan Jenny banyak menampilkan kejadian masa dewasa, bukan masa kecil. Terang saja ini jadi pembeda yang mencolok dan mengguratkan tanda tanya besar.

Begini, sejak dulu para sarjana hermeneutika mulai Schleimacher hingga Gadamer nyaris sepakat kalau psikologi dan horizon seseorang tidak bisa lepas dari lingkungannya. Si Awan ini cerita ke cowok yang baru ditemuinya kalau sejak kecil dia tidak pernah milih sesuatu sendiri. Dia buka cerita untuk menanggapi cerita si cowok yang melihatkan karakternya yang mandiri, sigap memilih, bijak, peka, pinter main musik dan pinter bahagiain banyak cewek.

Sejak ketemu cowok itu si Awan ini jadi bisa galau lantaran tahu dari rekan kerjanya kalau sang ayah bikin kerjanya mulus lagi. Anak yang sejak kecil mengaku tidak pernah hidup susah dan selalu dibantu, sekarang resah karena dibantu. Dari sini karakter Awan ini udah berkembang tanpa penjelasan. Waktu malam hari pulang dengan diantar cowok itu, Awan sudah kayak cewek yang rutin ikut kajian feminisme dan komunitas bedah buku-buku kiri. Dia terlampau kreatif memberi jawaban untuk ukuran anak yang sejak bocah tidak pernah tidak mendapat bantuan.

Dan lagi yang miris karakter ayah dan ibu di film ini selain luar biasa nampak patriarkinya luar biasa juga berkabutnya. “Bahagia ibu itu ya ayah kalian,” tutur sang ibu agar anaknya bisa mengerti kalau ayahnya seberapapun salahnya ia punya jiwa penyayang. Ibu jadi obat karena sakit yang disebabkan oleh ayah. Karakter tokoh ibu dan ayah begitu kelabu. Kilasan masa lalu yang ditampilkan Angga dan Jenny seputar ayah dan ibu tidak menjangkau mengapa karakter itu bisa terbentuk, melainkan hanya untuk menunjang plot menuju klimaks. Mengapa sang ayah suka menyembunyikan masalah hanya dijelaskan alasannya untuk dan agar tidak bersedih lagi, bukan mengapa atau apa sebab dia bisa berbuat begitu.

Aku lihat karakter ayah ini sampai kasihan (nope: kasihan ini bukan timbul karena adegan film ya). Kebijakan yang salah dari Narendra untuk menyembunyikan rahasia selama dua puluh satu tahun dan timpangnya kasih sayang jadi konflik arus utama. Setelah konflik meletus, sebelum baikan dengan ayah mereka, tiga anak itu ghibahin sang ayah di ujung senja kota Jakarta. Sepotong adegan yang sangat terpuji dan patut diapresiasi. Untung ada ibu, keluarga bisa utuh lagi seperti semula. Intinya mereka kemudian bisa cerita satu sama lain, kan bahagia.

Padahal di fase setelah konflik itu aku bayangin akan ada adegan untuk ayah, biar tidak terkesan melompat habis ghibah tiba-tiba cinta lagi, cuma itu tipis sekali. Hanya kilasan sang ayah berlari dari tribun dan mencium kening Aurora di kamar pasca kecelakaan di kolam renang. Jujur aku kepikiran dan berekspektasi Angga mau nampilin kesan yang disuguhkan David Dobkin dalam The Judge. Di film itu Dobkin bisa menampilkan konflik anak-ayah dan klimaks yang bikin setiap orang yang pernah ngerasain ditinggalkan ayahnya pasti nangis. Hanya ekspektasiku ketinggian, kau betul aku yang salah, jadi kesannya karakter ayah dan ibu di film ini terselimuti kabut. Lebih tragis lagi, aku baru ngeh nama sang ayah dari sepotong batu nisan. Yah meskipun itu batu nisan si anak tapi dalam benakku, Ini maksud mas Angga apa? Apa ayahnya tidak nonton? Hashhhh, lupakan! Aku mau cerita semiotika tapi takut kamu bosan.

Terlalu banyak karakter yang hendak ditampilkan bisa jadi alasan. Bandingkan dengan film Manchaster By the Sea garapan Kenneth Lonergan yang hanya fokus pada satu karakter. Karakter Casey yang fakboy (Lee Chandler) di film itu juga dinamis tapi kita bisa paham dan mungkin memaklumi mengapa dia bisa jadi fakboy. Lonergan fokus pada satu karakter sementara Angga coba gambarkan tiga sampai lima karakter sekaligus dalam satu film, buset. Konsekuensi dari kebanyakan karakter ya jadinya terkesan tidak berimbang dan mbliur.

Tapi bagaimanapun aku harus jujur film ini pada tontonan pertama bagus banget. Lebih-lebih saat Aurora bilang, “Kalian tuh sejak lama udah kehilangan aku.” Duh, itu tragis banget asli. Angkasa sama Aurora ditampilkan mateng banget, salut. Tapi karena ini cerita niatnya review yah sepet-sepetnya juga harus ditelen. Jadi maaf banget buat kalian yang belum nonton tapi sudah baca ulasan ini.  Udah ya, semoga kamu tak tersakiti.

Penulis: MFR

Comments