Doa, Kebosanan, dan Obrolan
Bagi sebagian peneliti
seperti Mehfooz, Javaid, dan Khalid, doa bukanlah ritual kosong hampa makna
melainkan sumber dari reformasi sosial. Lewat pengamatan terhadap beberapa
komunitas dari Islam dan Yahudi, mereka menemukan bahwa di balik beberapa reformasi
ada aspek doa bersamayam. Paling tidak, menurut mereka doa berhasil membangun
semangat persatuan yang nantinya menjadi tumpuan penting dari reformasi.
Saya sedang duduk dengan
seorang teman ketika membaca sekilas riset tersebut. Teman saya sedang bermain game
dan kebetulan dia membaca bismillah atau sebut saja doa tepat
sebelum memulai pertandingan. Ada yang tek begitu rasanya tiba-tiba
tatkala mendengar dia berdoa sebelum nge-game. Kendati demikian, saya
tidak bertanya mengapa dia bisa se-unik itu. Saya memutuskan untuk mencerna
sendiri dua scene seksi tersebut: riset doa sebagai reformasi sosial dan
temanku yang berdoa sebelum main game.
Saya rasa keputusan
temanku untuk berdoa bukan tanpa alasan. Saya membayangkan, ada dua faktor mengapa
dia begitu. Pertama, seperti halnya reformasi sosial komunitas beragama di
muka, temanku berdoa sebab ia membutuhkan keberanian tambahan atau dorongan
ekstra supaya ia berani bertanding untuk ke sekian kalinya. Mungkin ini remeh,
yakni sebatas permainan, tetapi seremeh apa pun sesuatu, tetap saja itu adalah
representasi dari kebiasaan. Dari masa lalu. Dari segenap pengalaman dan
semacamnya.
Sederhananya, di
kemungkinan pertama, doa memiliki peran penting untuk sebuah gerakan. Jika ada
pil untuk membuat orang tampil lebih percaya diri, maka seperti itulah doa
mewujud. Dalam bahasa Jalaluddin Rumi doa ibarat jeritan sebatang bambu kering,
tercerabut dan terasing, yang ingin kembali ke rumpun bambu. Temanku tadi—yang
kutahu bahwa dia sering kalah dalam pertandingan game—berdoa supaya
mendapatkan kembali keberanian yang udah hilang ditelan kekalahan-kekalahan.
Kedua, barangkali juga ini
disebabkan oleh kebiasaan. Kebiasaan yang sudah mendarah daging atau bahasanya
Bourdieu sudah menjadi “habitus”, sehingga ketika ingin memulai apa pun yang
menurutnya krusial, seseorang akan membaca doa. Dalam kemungkinan ini, doa
seperti—jika bukan tidak lebih dari—dengungan para novis di fajar hari
di biara-biara atau ruang khusus di samping perpustakaan yang menggema memuji
pada Tuhan, persis dengan gambaran Umberto Eco dalam novelnya The Name of
The Rose. Dengan ungkapan lain, ia adalah ritual. Ritual yang ada bukan
untuk dirinya, tetapi untuk hal lain di luar dirinya seperti mempertahankan
identitas, menutupi sesuatu, dan semacamnya.
Dalam kasus temanku tadi,
melihatnya dari kemungkinan terakhir, boleh jadi dia berdoa untuk menutupi
ketidaknyamannya saja sebab jika tidak demikian ia akan merasa ada yang aneh. Ini
seperti kita yang terbiasa khatam Al-Quran saat Ramadan dan setibanya
tidak menyelesaikan bacaannya, tentu ada yang ganjil, bukan?
Orang bisa menyebut ini pula
sebagai formalitas. Doa sebagai formalitas, iya, tapi meski begitu, siapa saja
tidak bisa meremehkan formalitas. Formalitas—di beberapa level—melahirkan kebosanan
dan kebosanan akan selalu menciptakan obrolan.
Comments
Post a Comment