“Buaya”, Fakboy, dan Tradisi Diskursif Muslim
Meme yang cukup menggoda belakang ini menurut saya adalah meme buaya yang dipakai sebagai
personifikasi dari fakboy. Daya tarik ini terletak pada dua hal, yakni adanya
pose yang simetris dengan tulisan di gambar dan kepsyen dari akun yang menyebar
meme. Buaya yang ditampilkan dalam meme tidak saja buaya polos, tetapi buaya
dengan mulut yang terbuka setengan, buaya yang sedang menutup rapat mulutnya
sehingga menyembulkan beberapa taringnya ke luar, dan buaya yang mulutnya
terbuka lebar. Setiap pose buaya diselipi dengan tulisan ala fakboy.
Salah satu contoh yang
menggemaskan adalah buaya dengan pose mulut tertutup. Dengan pose ini, tulisan
yang dimunculkan adalah “dia tuh jahat udah sini sama aku aja”. Seturut yang
saya rasakan, pose buaya dengan mulut tertutup yang menandakan keseriusan
sangatlah sesuai dengan tulisan di muka. Jadi ada keharmonisan di sini yang
harmoni ini menggambarkan betapa para fakboy ketika sedang pedekate dengan
calon korbannya—terutama saat memakai redaksi barusan—mereka juga memasang muka
serius.
Dalam bukunya, Memes in
Digital Culture, Limor Shifman menengarai bahwa meme adalah salah satu
humor yang rumit. Maksud rumit di sini adalah tidak semua orang bisa menangkap
apa maksudnya. Ia mengandaikan adanya keselarasan konteks antara pembuat meme
(tim kreator) dengan konsumen meme dalam proses pemahaman tersebut. Persis di
celah ini, kepsyen menemukan momentumnya. Kepsyen membantu mengurangi jurang
kontekstual antara tim kreator dan konsumen.
Tim kreator dari akun
penyebar meme tadi menyadari akan hal ini. Walhasil mereka menuliskan kepsyen
yang tidak kalah nggemesinnya, yaitu “macam-macam spesies buaya”, dan
setelah saya lihat dari komentar-komentar yang muncul, rupanya apa yang
disampaikan Shifman tidak sepenuhnya salah. Ada beberapa warganet yang mengakui
bahwa dirinya tidak memahami apa maksud dari gambar sampai ia membaca kepsyen. Yang
berangkutan sempat menulis, “Oalah, buaya darat!”.
Kenapa buaya?
Warganet lain, mungkin
lantaran iseng, ada yang bertanya, “Kenapa harus buaya? Buaya yang cewek
sekarang juga banyak.” Dari sini, setibanya ada yang datang di pikiran saya,
tetapi tanpa diiringi degan suara samar lonceng. Setibanya saya teringat salah
satu dokter hewan terkemuka pada abad 14 M, Imam Kamaluddin al-Damiri, salah
satu nama yang saya kenal dua tahun silam gara-gara ada tugas tentang “hewan
dalam Al-Quran”.
Karena buat saya kebetulan
(kata ini sering saya pakai untuk membahasakan ke-tiba-tiba-an) adalah cara
Tuhan yang paling magis untuk intervensi pada urusan hambanya, akhirnya saya
membuka kitab beliau yang membahas cukup detail setiap hewan di Mesir, yaitu Hayat
al-Hayawan al-Kubra, dan hasilnya menggembirakan. Ternyata isu soal
“laki-laki” buaya sudah ada sejak abad ke-14 M dan ini disinggung secara jelas
oleh beliau.
Di jilid 1 halaman 536
dijelaskan bahwa buaya adalah nama dari salah satu hewan yang sudah biasa
ditemui dan seringnya dipakai sebagai sebutan bagi laki-laki yang suka
berbohong atau fakboy dalam konteks kita sekarang ini. Buaya memiliki
perawakan seperti kadal, tetapi bisa pula hidup di air. Mulutnya lebar dengan
enam puluh (60) taring di bagian atasnya dan empat puluh (40) di bagian bawah
dan sebagainya. Imam Kamaluddin menulis:
التمساح: اسم مشترك بين الحيوان المعروف, والرجل
الكذاب ... وهذا الحيوان على صورة الضب, وهو من اعجب حيوان الماء, له فم واسع, وستون
نابا فى فكه الأعلى, واربعون فى فكه الأسفل...
Tidak saja itu, ihwal
kebiasaan serta bagaimana cara menaklukkan buaya juga dibahas oleh Imam
Kamaluddin. Namun, karena tulisan ini tidak mengarah ke aspek biologis buaya,
tetapi sosiologis, maka saya tidak akan beranjak lebih jauh tentang itu. Yang
jelas, ketika pada masa itu term buaya (al-timsah) sudah
disejajarkan dengan lelaki pendusta (al-rajul al-kazzab), maka artinya
isu tentang “lelaki buaya” usailah menjadi kenyataan buat perempuan-perempuan
di masa Imam Kamaluddin. Pada titik ini, saya bisa menyebut bahwa melekatnya
“buaya” dengan cowok fakboy hadir bukan tanpa landasan sejarah.
Akhirul kalam,
beginilah kisah singkatnya mengapa secara bahasa—atau dari aras tradisi
diskursif, meminjam istilahnya Talal Asad— yang ada itu “lelaki buaya darat”
dan bukan “perempuan buaya darat”.
Siti K., perempuan yang kalau masak
suka gosong
Menarik bed
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteTerima kasih, kak. Jika dirasa bermanfaat barangkali bisa dibagikan ke teman-temannya ya :D
ReplyDelete