Kenapa Kita Ditakdirkan Miskin Pengakuan


Contradixie, Esai – Mungkin benar apa yang tertulis dalam Surah Al-Maarij (70):19. Manusia itu ciptaan yang ora jelas blas. Kadang ia begitu, kadang begini. Sebal sama yang itu, tapi dia melakukannya sendiri. 

Ia bisa resah luar biasa hanya karena dunia tidak berjalan sesuai kemauannya. Ketika teman-temannya bertindak sedikit saja di media sosial dan itu ia nilai konyol, maka konyollah mereka. 

Pada status apa pun, ingin ia mengendalikannya. Bagaimana potret dunia, harus ia yang menentukan. 

Sebagai kuda-kuda—siapa tahu teman-temannya akan protes pada kecenderungannya yang sedemikian itu—ia kerap membangun argumentasi untuk berdebat. 

Dalam kasus media sosial, ia karang fiksi tentang pemuda kesepian dan pengakuan, sindrom bintang, krisis identitas, hak berpendapat, dan sebagainya. 

Tanpa ragu, ia hadirkan pakar-pakar di setiap fiksinya. Untuk pemuda-pemuda kesepian dan krisis identitas, ia panggil Karl Mannheim (1952). Untuk sindrom bintang, ia belok-belokkan sedikit tesis Karen Horney (1950), dan untuk kebebasan berpendapat dalam kaitannya dengan pengakuan, ia pinjam nama Francis Fukuyama.

Guna menepis kesan ke-Barat-barat-an, di beberapa kesempatan pun, dengan sok bijak ia dendangkan bait-bait Ki Ageng Suryomentaram.

Ngumbar pacarmu masak sego goreng gawe awakmu iki oleh, tapi yo sak perlune. Ngumbar kowe lagi nang ndi karo yangmu ki yo ra popo, neng sak butuhe. Ngumbar kowe lagi tukaran heboh karo wong liyo yo bagus, tapi sak mestine. Ngumbar awakmu dikon ngisi konferensi intersemesta yo apik (tahaddus linnikmah), neng sak cukupe.

Ia meresahkan segala hal, menuding sana-sini, menyusun mitos, dan di waktu bersamaan, ia melakukannya. Ia memang butuh sembahyang! (kza)


“Hasrat untuk mendapat pengakuan tidak berhubungan dengan objek material apa pun melainkan sebatas upaya menjadikan diri dianggap bernilai oleh orang lain secara sadar.”

(Francis Fukuyama, 1995: 358)


Comments

Popular Posts