Upacara Merdeka tanpa Kemerdekaan
Contradixie – Ketika berangkat ke kantor untuk melaksanakan upacara kemerdekaan, memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-77 Indonesia, saya merasa bebas dan merdeka. Hati riang seperti anak-anak Sekolah Dasar (SD) yang tahu bahwa sekarang sekolah libur. Wajah cerah tersiram sinar surya 17 Agustus yang lembut dan hangat.
Namun, sepulangnya dari upacara, saya tidak merasakan hal yang sama. Di halaman kantor, tempat kami melakukan ritual, atmosfernya jauh dari kemerdekaan. Upacara kami memang untuk kemerdekaan, tapi tidak ada yang merdeka di dalamnya.
Sejak awal tiba, kami terpecah ke dalam dua bagian: pejabat dan pekerja. Yang pertama berdiri gagah di garda depan, sedangkan sisanya di pinggiran, mepet tempat parkir.
Ketika berbasa-basi, bukanlah kedua belah pihak yang saling mendekat, tapi para pekerja yang menghampiri para pejabat. Mereka bersalaman. Beberapa pejabat melempar guyonan, dan semua pekerja tertawa.
Eh sebentar, sepertinya saya melewatkan sesuatu. Oh iya, bukan dua, tapi terpecah menjadi tiga golongan. Yang satunya adalah bagian karyawan yang bertempat jauh di belakang peserta upacara, di samping dapur.
Mereka tampak mengikuti prosesi, tapi jika kita tidak jeli, adanya sama dengan ketiadaannya. Perlu diketahui juga, bagian karyawan tidak terlibat basa-basi. Jadi, mereka tidak perlu belajar tertawa.
Seusai upacara, pemandangannya tidak jauh berbeda. Yang dipersilahkan terlebih dulu untuk menikmati hidangan adalah pejabat dan keluarganya—sebagian dari mereka membawa pasangan dan anaknya. Bila pejabat sudah kenyang dan sekiranya tidak ada lagi yang mau mengambil hidangan, baru para pekerja dipersilahkan.
Tempat untuk makan pun distingtif. Pejabat di ruangan khusus dengan maja dan kursi ala Eropa. Pekerja diberi kebebasan untuk makan di mana pun dan karyawan menunggu semuanya rampung.
Beginilah potret ritual kemerdekaan kami. Ada yang ganjil bagi saya, sangat mengusik hati, tapi—ibarat laut yang menyembunyikan bangkai—saya tetap tampil tenang.
Struktur fiksi
Satu sisi, boleh jadi pemisahan tersebut adalah akibat dari perbedaan umur dan lingkaran sosial. Biasanya pejabat didominasi oleh para orang tua, pekerja oleh anak muda yang kerapnya adalah mahasiswanya pejabat, dan karyawan oleh orang di luar relasi tersebut.
Jadi, pemisahan di atas adalah natural. Para pekerja memilih memisahkan diri karena segan pada para orang tua di jajaran pejabat dan karyawan lebih suka tidak terlihat sebab merasa bukan siapa-siapa dan asing dengan keduanya.
Namun, pada sisi lain, bukankah Hari Kemerdekaan adalah momen yang bagus untuk mengikis fiksi tersebut. Untuk menjaga kesopanan, bukan berarti kita harus membangun tembok hierarkis yang beku dan pongah.
Dengan duduk bersama—sama tinggi, sama rendah, tua-muda—bukan berarti mereka akan lupa posisinya, bukan berarti pejabat akan menyepelekan pekerja atau karyawan, dan bukan berarti keduanya lantas akan meremehkan pejabat.
Sewindu silam, ketika masih di pondok, saya sering membayangkan bahwa kehidupan di luar pesantren nantinya bisa lebih terbuka, masuk akal, dan setara. Namun, rupanya sama saja! Hanya berganti nama.
Jika dulu atas nama kiai dan berkah, sekarang atas nama kedisiplinan, atas nama profesionalitas, jenjang karier, tupoksi, dan semacamnya. Kita memang tidak akan pernah benar-benar merdeka! (eska)
Comments
Post a Comment