Salat

Gemini Generated Image


Contradixie – Setelah seminggu berlalu salat dengan Sapi yang ngglibet, akhirnya ia terbiasa. Ia menemukan titik kenikmatan di tengah kejengkelan dan kebingungan karena Sapi, termasuk saat jari telunjuknya digigit manja oleh Sapi. Keberhasilan ini terasa seperti enaknya mengerang ketika sakit gigi sedang parah-parahnya. Kapan lagi manusia bisa memahami erangan sebagai suatu kenikmatan? 

Ia berhasil. Rasa nikmat salat masih bisa ia rasakan dan kali ini bersama Sapi. Level meningkat. Tapi, situasi ini berumur jagung. Kali ini yang membuatnya bingung saat salat adalah pikirannya sendiri. 

Belakangan, ia beberapa kali mendapatkan ide yang baginya bagus saat salat. Saking bagusnya, ia bingung antara ingin melanjutkan salat atau menindaklanjuti ide tersebut, yang seringnya ia memilih pilihan kedua. 

Salatnya tentu tetap berlanjut. Sampai salam. Tapi pikirannya tidak sekata dengan apa yang mulut rapalkan. Dalam beberapa detik ia sadar bahwa salat seperti ini tidak mening, tapi kesadaran ini segera terguyur oleh kilauan ide yang menurutnya sayang bila dibiarkan menguap, toh ia paham betul bahwa bacaan dan gerakan salat sudah menyatu dengan mulutnya, sehingga ia yakin bisa menyelesaikan mereka tanpa menggunakan hati dan pikiran. 

Begitulah yang terjadi, hingga ia mendapatkan gambaran ide tentang suatu perdebatan yang sedang terjadi dalam hidupnya. 

"Ini tentang manusia yang dari sananya memang tidak senang melihat orang-orang di sekitarnya, orang-orang yang ia kenal, senang." 

Ia langsung girang setelah salam. Ia bangga bisa menarik satu kesimpulan dari ide abstrak yang turun pada rakaat ketiga salatnya. 

Takut ide yang sudah ia kurung tersebut hilang, sambil Sapi menggigit-gigit jari kakinya, ia langsung mengembangkannya. Kira-kira begini hasilnya:

"Manusia dilahirkan bukan untuk menyakiti. Bukan juga untuk mencintai. Ia lahir untuk tidak senang pada kesenangan orang di sekitarnya. Bila ada manusia yang tidak begitu, itu artinya ia berhasil mengoprek sistem default-nya dan ini tidak mudah, dalam arti tidak banyak manusia yang seperti ini. Karena tidak banyak, kita tidak bisa menggunakannya sebagai patokan. 

Manusia lebih mudah merasa tidak senang pada teman satu sekolahnya–khususnya yang satu organisasi atau satu kelas–yang mendapatkan prestasi ketimbang pada orang yang tidak ia kenal atau kenal tapi jauh. Pasalnya, teman satu sekolahnya tersebut terhubung langsung dengannya, baik dari segi keilmuan atau jaringan. Artinya, bila mereka bisa, kenapa aku tidak bisa, toh guru kita sama, apa yang dipelajari sama, dan lingkungan pun sama. 

Adanya semacam memori kolektif seperti ini pada tingkat tertentu berdampak pada adanya refleks untuk membandingkan antara dirinya dan mereka. Ini wajar, tapi bila tidak dikelola, dampaknya bisa pada kepikiran terus-menerus yang bisa berujung pada dua hal: depresi dan resistansi. 

Di aras depresi, manusia akan merasa selalu minder. Awalnya hanya pada orang-orang di sekitarnya yang satu sekolah tadi–bahasanya–tapi semakin lama, sikap minder tersebut bisa menjadi tabiatnya, sehingga pada siapa pun ia akan minder. 

Untuk resistansi kemudian, manusia akan berupaya sebisa mungkin mengejar apa yang teman satu sekolahnya berhasil raih. Ini terdengar bagus memang, tapi tidak elegan. Sebab, ukuran yang ia pakai adalah temannya. Pun, ini akan membuatnya memiliki pandangan bahwa hidup adalah perlombaan dan apa yang keren adalah apa yang teman satu organisasinya tersebut telah capai. 

Kesadarannya tentang keberhasilan terkunci hanya pada teman-teman satu sekolah atau organisasinya. Hasrat resistansi membuatnya lupa bahwa di luar mereka masih ada banyak orang dengan bermacam pencapaiannya. Pencapaian yang pada dasarnya lebih pas bagi manusia resistansi untuk mengejarnya atau menjadikannya prioritas.

Dalam praktiknya, tentang manusia tidak senang teman-temannya senang, resistansi adalah situasi mental lanjutan dari depresi. Sebagian manusia yang depresi karena membanding-bandingkan dengan teman-temannya bisa masuk ke level resistansi, tapi sebagian lainnya tidak. Mereka terjebak di situ, menjadi manusia depresi.

Sebagai catatan, dalam konteks ini, si teman yang menjadi sumber kegundahan manusia depresi dan manusia resistansi di atas bukan berarti tidak lebih bermasalah dari keduanya. Pada banyak kasus, mereka justru lebih rentan, apalagi yang memiliki bakat narsistik. Persimpangan yang mereka lewati tidak lagi mengarah pada antara manusia depresi atau manusia resistansi, tapi antara manusia atau tidak."

Pengembangan ide yang ia karang ini masih kasar. Meski membayangkan, ia bisa merasakan geronjalan di sana sini. Namun, ia bisa tenang. Rasa nikmat salatnya yang terganggu tergantikan oleh keberhasilannya mengembangkan suatu ide abstrak yang turun ketika ia sembahyang. Ia meyakini itu dari Tuhan walaupun ada campur tangan setan.zv


Comments