Cerita dari Ruang Kelas: Merefleksikan Dominasi Pengetahuan Barat dalam Kajian Timur Tengah

Dall-E

Oleh: Iqomah Richtig*

Contradixie, Esai—Belakangan ini, banyak sarjana Indonesia, khususnya di bidang sosial-humaniora, yang semakin sering menggemakan isu Dekolonisasi Ilmu Pengetahuan. Kesadaran ini muncul seiring dengan semakin banyaknya intelektual Indonesia yang mulai menyadari bahwa teori, pengetahuan, atau konsep yang mereka pelajari selama ini banyak dipengaruhi oleh kerangka pemikiran Barat. Hal ini memicu kesadaran tentang pentingnya dekolonisasi ilmu pengetahuan, yang salah satu cirinya adalah mengabaikan pentingnya produksi ilmu pengetahuan yang relevan dengan konteks lokal.

Fenomena ini membawaku pada cuplikan memori saat menempuh studi Kajian Timur Tengah dan mengingat-ingat kembali adegan mana yang terkait. Sesaat kemudian, kenangan mata kuliah “Agama-agama di Timur Tengah” pun melintas dalam pikiran. Jujur saja, kala itu tidak banyak—bahkan sepertinya nyaris tidak ada— pertemuan tatap muka di kelas. Bisa dibilang sesi kelas dilakukan sekali atau dua kali di luar kelas. Sisanya, ”jam kosong” alias diganti dengan tugas. Silabus mata kuliah berisi 16 pertemuan dibagikan kepada kami di awal pun kami terima melalui ketua kelas yang diteruskan di grup WhatsApp.

Singkat cerita, dosen pengampu mata kuliah tersebut meminta kami untuk mengulas artikel jurnal dengan topik yang tertera dalam silabus. Setiap mahasiswa diminta membuat sekitar 14—16 ulasan artikel. Karena jadwal UAS sudah hampir tiba, sementara presensi dan laporan PKBM belum tertunaikan, kami pun bersepakat mengejar ketertinggalan dengan memindahkan sesi kelas ke rumah dosen di hari Sabtu.

Pada waktu yang ditentukan rombongan kami tiba di kediaman beliau yang asri. Kami disambut dengan hangat dan sesi kuliah pun dimulai. Setiap mahasiswa diminta memaparkan artikel jurnal yang mereka ulas. Beliau menunjuk satu per satu dan menanyakan judul artikel, nama penulis, dan sumber jurnal. Selang sekira tiga pemaparan, beliau menjeda saat beberapa di antara kami memaparkan artikel berbahasa Arab dan bersumber dari kawasan Timur Tengah. Beliau menyayangkan tugas mereka dan menyinggung bahwa kualitas jurnal-jurnal tersebut kurang bagus—untuk mengganti kata jelek dan lebih menekankan kami untuk mengutamakan artikel jurnal berbahasa Inggris. Beliau juga bercerita panjang lebar mengenai Perpustakaan kampus yang  melanggan jurnal-jurnal asing bereputasi dengan dana yang besar. Termasuk kisah beliau yang mendapatkan dana hibah dari lembaga luar negeri yang dihibahkan ke Perpustakaan kampus. Sayangnya, setelah dievaluasi akses terhadap jurnal tersebut tidak mencapai 10% per tahun, padahal fasilitas yang diberikan oleh perpustakaan tidak lain tujuannya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mahasiswa.

Belum sempat anggota kelas yang berisi 15 orang menyetorkan ulasannya, sesi kuliah di rumah dosen yang hanya berdurasi kurang dari 2 jam segera diakhiri. Kami sedikit kaget dan bingung: merasa ”terusir”. Tampak jelas raut kekecewaan di wajahnya. Namun, kami sadari bahwa bukan hanya soal kisah tadi, tapi juga disebabkan dua anggota kami yang tidak memenuhi tugas yang diberikan.

Pengalaman pribadi ini mendorong saya merefleksikan fenomena di atas. Sembari bertanya-tanya dalam diri dan mencari beberapa sumber yang berkaitan apakah kisah tadi dikategorikan ‘kolonisasi ilmu pengetahuan’ (?) dengan menolak artikel bersumber bahasa Arab. Perenungan pun saya lakukan dan menghasilkan poin-poin berikut:

Preferensi terhadap Bahasa Inggris

Pengutamaan artikel jurnal berbahasa Inggris dan menomorduakan artikel berbahasa Arab mungkin dianggap karena artikel berbahasa Inggris lebih ilmiah atau lebih sahih daripada pengetahuan yang diproduksi dalam bahasa Arab atau Indonesia misalnya. Dalam konteks akademik global, bahasa Inggris sering diasumsikan sebagai “bahasa ilmiah” prioritas yang menyebabkan hasil riset dalam bahasa lain termasuk bahasa Arab atau bahasa Indonesia dan sebagainya dipandang inferior.

Kurasa ini termasuk kolonisasi linguistik, yaitu dengan menganggap bahasa Inggris adalah superior dan mendominasi ruang akademik serta mengabaikan keberagaman bahasa dan pengetahuan. Selain itu, hal ini mengasumsikan bahwa pengetahuan dari Barat lebih kredibel daripada pengetahuan yang datang dari wilayah asal topik (dalam konteks ini Timur Tengah).

Mungkin dalam hal ini ada penilaian yang bias terhadap kualitas riset dari negara-negara Timur, Selatan, Utara, dan sebagainya yang dianggap belum memenuhi standar internasional lantaran tidak menggunakan bahasa yang dominan digunakan di dunia Barat.

Pengabaian konteks lokal

Dalam Kajian Timur Tengah, sumber-sumber lokal dalam bahasa Arab sangat penting untuk memahami konteks budaya, sejarah, dan agama yang spesifik di wilayah tersebut. Namun, pengabaian terhadap jurnal berbahasa Arab dapat mengasingkan orisinalitas dan relevansi pengetahuan yang diproduksi dalam konteks lokal serta mengabaikan perspektif yang ‘mungkin’ lebih otentik tentang Timur Tengah dan dekat dengan realitas masyarakat setempat. Di samping itu, hal ini secara tidak langsung membatasi ruang bagi mahasiswa untuk mengakses dan memahami pengetahuan lokal secara lebih mendalam sehingga mahasiswa yang lebih menguasai bahasa Arab justru dimudahkan dalam mengakses pengetahuan lokal dalam bahasa tersebut.

Untuk merespons dekolonisasi ini, tampaknya perlu menghargai dan mengintegrasikan pengetahuan lokal dalam kajian ilmiah. Artikel berbahasa Arab yang relevan dengan topik kajian Timur Tengah bisa menjadi sumber utama yang mendalam dan dekat dengan konteks sosial dan budaya kawasan tersebut. Selain itu, perlu untuk menyeimbangkan sumber pengetahuan dengan mengintegrasikan sumber-sumber dari berbagai bahasa, termasuk bahasa Arab. Aku meyakini, ini bisa memberikan perspektif yang lebih beragam dan kaya dalam memahami topik tertentu. Anggapan tentang produk ilmu pengetahuan dari Barat yang lebih superior dan lebih sahih merupakan bentuk kolonisasi dan hegemoni pengetahuan dan perlu dikritisi.

Bahasa adalah salah satu aspek penting dalam produksi ilmu pengetahuan. Dengan menghargai bahasa Arab, Bahasa Indonesia, Bahasa Afrika, dan sebagainya, kita dapat menghargai keanekaragaman budaya dan membuka ruang bagi pengetahuan yang lebih inklusif dan plural. Menguasai lebih dari satu bahasa dalam kajian akademik seharusnya menjadi keuntungan, bukan penghalang. Oleh karena itu, penting menghargai dan mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai bahasa dan perspektif agar dunia akademik semakin inklusif dan reflektif terhadap keberagaman pengetahuan yang ada.  

*Pengajar di UIN Sunan Ampel Surabaya

Comments

Popular Posts