Sedikit Komentar untuk Novel Kelab dalam Swalayan

 


Sejak awal saya benar-benar tidak tahu buku ini bergenre apa. Tapi karena begitu sering keliaran di Xtwitter, saya pun jadi terpapar dengan sampul dan judulnya yang lumayan gampang diingat. Pas kebetulan lihat buku ini di perpustakaan, keinginan untuk membacanya tiba-tiba muncul. Jadilah dia termasuk di antara 4 buku yang dibawa pulang.

Bukunya bergenre thriller, misteri juga masuk dikit-dikit.

Jujur saja sejak bagian awal saya sudah merasa tidak nyaman. Saya tahu buku ini bukan diperuntukkan buatku, tapi karena muncul keinginan dalam hati untuk memberikan ulasan mengenai ketidaksukaan pada buku ini, saya pun berusaha menamatkannya.

Ada banyak hal yang mengganggu. Terutama tokoh utamanya yang bernama Sonja. Narasi-narasi yang dibangunnya untuk dirinya sendiri membuatku auto berkata bahwa dia bukan sosok teman yang cocok buatku pribadi. Baiklah, ada banyak isu yang ingin diangkat penulis pada buku ini. Yang paling menonjol adalah isu budaya patriarki dan keinginan penulis untuk menekankan pada siapa pun bahwa Sonja, si tokoh utama, adalah seorang feminist.

Namun cara penulis menyajikannya sungguh sangat serampangan. Seolah dia sendiri mempunyai begitu banyak hal di kepalanya dan ingin dimasukkan semuanya ke dalam buku. Jadilah selalu muncul opini-opini Sonja terhadap segala hal di sekitarnya yang kadang terasa seperti bukan pada tempatnya. Kenyinyiran sosok Sonja terhadap semua yang dilakukan orang di sekelilingnya membuatku sedikit geram.



Aku sebenarnya sedikit paham kenapa tokoh utama kadang terasa seperti sosok ‘pick me’ di beberapa momen, barangkali karena penarasian yang menggunakan sudut pandang orang pertama. Jadi seolah Sonja sangat berusaha mengatakan bahwa, “aku kayak gini,” “aku gak seperti dia,” “hanya aku yang begini.” Mungkin akan terasa berbeda ketika menggunakan sudut pandang orang ketiga. Mungkin.

Benar, buku ini bergenre thriller. Tapi bagiku dia belum bisa dibilang berhasil membangun narasi yang cukup membuat pembaca penasaran, bergidik, mual, ngeri, atau semacamnya. Perasaanku ketika membaca buku ini sama persis ketika membaca Gadis Pakarena milik Khrisna Pabichara. Isunya menarik, tapi eksekusi ceritanya berasa sangat dipaksakan.

Mengingat ini novel debut dari Abi Ardianda, jadi sangat bisa dimaklumi kalau kekurangannya masih berceceran di mana-mana. Kita nantikan saja karya-karya berikutnya, semoga semakin lihai.

Comments

Popular Posts