Yang Tak Tumbuh

 


Sepanjang hidupku aku tahu satu hal tentang mamak. Ia sangat mencintai bunga, meski jarang mengakuinya. Bukan karena ia malu menyukai sesuatu yang lembut dan berwarna, tetapi karena seseorang di rumah ini pernah berkata, dengan nada mengejek dan dingin, kalimat yang meninggalkan goresan kecil di hatinya.

Pagi itu, sebelum bapak pergi bekerja, ia duduk di halaman rumah sambil berkata, “Perempuan lain suka bunga. Kamu beda, ya. Kamu itu terlalu sibuk… atau memang sok sibuk. Coba lihat pekarangan orang lain; rapi, bersih, enak dipandang.” Mamak hanya tertawa kecil, tawa yang lebih mirip upaya mengecilkan diri agar tidak mengganggu siapa pun.

Padahal aku tahu betul, mata mamak selalu berhenti sejenak setiap melihat bunga di pinggir jalan. Ada rindu samar di sana, seperti seseorang yang menatap hidup yang tidak sempat ia pilih. Aku juga ingat bagaimana ia sering menggambar bunga di kertasku ketika aku masih SD. Mamak tidak menanam bunga karena tidak punya waktu, bukan karena tidak suka. Waktunya habis untuk bertahan hidup mencuci pakaian yang tidak pernah habis, memasak dengan uang belanja yang sama setiap minggu, membersihkan serpihan kemarahan bapak yang mudah pecah menjadi suara tinggi, bahkan menambal kebutuhan ekonomi yang tak pernah benar-benar bapak pikirkan.

Aku tahu bapak bekerja, tapi ia tak pernah bertanya apakah itu cukup. Ia tak pernah menanyakan bagaimana kondisi mamak hari itu. Ketika mamak mengeluh sakit, ia hanya berkata, “Istirahatlah.” Namun saat makanan tidak siap, ia menyudutkan mamak dengan kata pemalas dan ucapan bahwa ia tidak bisa membahagiakan suami.

Kadang aku melihat mamak duduk di kursi plastik, menatap halaman kosong, seolah membayangkan sesuatu yang sederhana tapi mustahil. Pot mawar, melati kecil, atau bunga liar yang tumbuh membandel. Pernah suatu kali aku bertanya, “Tapi mak nggak pernah nanam?” Ia tersenyum, senyum yang seperti menahan napas. “Nanti, Nak… kalau mak nggak terlalu capek.”

Dulu aku tidak mengerti capek seperti apa yang ia maksud. Kupikir, bukankah mamak hanya selalu di rumah? Kepolosanku membuatku buta. Sementara itu, bapak tidak pernah berhenti menertawakan hal-hal lembut, termasuk mimpi kecil mamak. Saat dewasa, aku sering bertanya dalam hati “apa yang membuat mamak bertahan dengan bapak? Bapak yang dingin, cuek, tak perhatian, bahkan tak ingin tahu?”. Aku tumbuh besar di antara dua suara. Suara bapak yang keras dan suara mamak yang kecil, kecil sampai aku takut dunia bisa menghapusnya.

Lalu aku tumbuh dan sibuk. Pendidikan membawaku jauh dari rumah. Tiga tahun aku tak pulang karena rumah terasa melelahkan, tapi di kejauhan justru rumah versi yang kubayangkan membuatku rindu. Aku ingin membanggakan mamak, membuatnya merasa tidak sia-sia. Namun semakin aku belajar, semakin jauh jarak kami. Suara mamak di telepon terdengar semakin pendek, semakin pelan. “Kamu sehat, Nak?” “Hati-hati di sana.” “Belajarlah yang rajin.” Tak ada ruang untuk cerita tentang bunga, tentang hidup, atau tentang sakitnya  yang tak pernah benar-benar ia katakan.

Hingga suatu hari telepon itu datang. Nomor yang sangat jarang terdengar, dari bapak. Suaranya tidak keras, tidak seperti biasanya. Nada itu patah. “Mamakmu… sakit.” Aku terdiam. Mamak sering mengeluh sakit, tetapi kali ini pasti berbeda. Bapak yang biasanya tak peduli mendadak terdengar takut, takut yang belum pernah kudengar darinya. Aku pulang secepatnya. Sepanjang perjalanan, bayangan mamak muncul terus, kenangan lama menyeruak. Aku merasa begitu egois, hanya demi rumah yang tak pernah kuminta, aku pergi tanpa memikirkan rindu mamak.

Sesampainya, rumah itu masih sama namun terasa lebih sepi. Halaman depan masih kosong, seperti mimpi mamak yang tidak pernah diberi tanah untuk tumbuh. Di kamar, mamak tampak kecil, sangat kecil, seperti tubuh yang telah lama memikul beban yang tak terlihat. Ia tersenyum saat melihatku, senyum tipis yang tetap hangat. “Akhirnya pulang, ya…” Tangannya dingin. Matanya masih bercahaya tipis, nyaris padam. Tanpa sadar aku bertanya, “Mak masih mau nanam bunga?” Ia tertawa pelan. “Nak… mak ini bahkan nggak sempat hidup dengan pelan. Apalagi nanam bunga.” Kata-kata itu menusukku lebih dalam dari apa pun. Aku menggenggam tangannya. “Maaf, Mak… aku terlambat.” Ia menatapku lembut. “Kamu nggak salah apa-apa. Yang salah itu… waktu. Temani mamak, ya, mamak rindu.”

Dua hari berikutnya, mamak pergi. Tanpa bunga. Tanpa waktu. Tanpa kesempatan untuk memilih satu hal yang ia sukai.

Saat pemakaman, bapak menangis diam-diam di belakang. Aku tidak menghiburnya, ada luka yang terlalu dalam untuk dipeluk. Setelah semua orang pulang, aku tetap tinggal. Tanah kubur mamak masih basah, masih hangat oleh matahari sore. Aku membawa bibit bunga yang ia suka, yang tak pernah sempat ia tanam. Tanganku gemetar saat menggali tanah. Setiap gumpalan terasa seperti permintaan maaf yang terlambat. “Mak… aku tanamkan di sini, ya… bukan di halaman rumah seperti maumu… tapi setidaknya, mak punya bunga di rumah baru mak.”

Aku menanam mawar merah muda, melati, dan satu mawar kuning kecil favorit mamak. Bapak menatap dari jauh, tidak berkata apa-apa. Mungkin menyesal. Mungkin bingung. Mungkin baru sadar bahwa perempuan yang ia remehkan menyimpan keindahan yang tidak pernah ia beri ruang.

Minggu-minggu berikutnya aku datang hampir setiap hari untuk menyiram, membersihkan, mengusap nisan mamak seperti dulu aku mengusap punggungnya. Hingga suatu pagi aku melihatnya, sebuah kuncup mawar kuning. Kecil. Rapuh. Tapi berani mekar. Dadaku sesak hangat sekaligus sakit. Mawar itu mekar bukan di halaman rumah, bukan di tangan mamak, bukan di hidupnya. Ia mekar ketika semuanya sudah terlambat. Namun saat angin pagi menyentuhnya, aku merasa seolah mamak berkata, “Akhirnya… ada juga bunga untukku.”

Air mataku jatuh. Untuk pertama kalinya, aku menangis bukan karena kehilangan, melainkan karena menyadari bahwa cinta yang tidak diberi ruang untuk tumbuh di dunia akan mencari tempat lain untuk mekar, meski di atas makam seseorang yang diam-diam memimpikannya. Dan mawar kuning itu, meski telat, adalah bukti bahwa mamak pernah ingin hidup indah. Hanya saja dunia tidak pernah memberinya waktu.

Comments

Popular Posts