Desember dan Kita yang Tergesa
Jika Januari adalah permulaan, maka Desember adalah akhir. Jika
Januari adalah garis start, maka Desember adalah garis finish. Jarak
dari Januari menuju Desember sangatlah jauh, namun jarak Desember ke Januari hanyalah
pergantian detik. Di antara kepulan asap bakar-bakaran—sate, jagung, ikan,
singkong—di antara bunyi petasan yang meletup di segala penjuru, di antara
kembang api yang membelah langit. Hampir tidak ada jarak jika diukur dengan
waktu, namun ketika mengukurnya dengan batin, kita memperlakukannya seperti
jurang.
Kesadaran
ini tidak muncul dari ruang kosong. Aku bersama suami dan anak perempuan kami
tengah berkendara ke arah kota ketika langit terasa semakin tua, dan rintik
hujan mulai turun meski lirih. Kami berpacu melawan waktu. Dan nyatanya tidak
hanya kami, namun bersama puluhan kendaraan lain yang juga harap-harap cemas
jika saja hujan akan segera lebat sementara mereka belum tiba di tempat tujuan.
“Kira-kira
siapa yang akan menang? Kita atau hujan?”
Pertanyaan
yang kuajukan pada suami namun kemudian memicu kesadaran pada diriku sendiri. Sejak
kapan hujan adalah lawan? Sejak kapan ia harus dikalahkan? Lalu pikiranku
melangkah lebih jauh ke hari-hari belakangan, melihat bagaimana di bulan
Desember ini, segalanya berjalan dalam ketergesaan. Pelanggan-pelangganku, dan bahkan aku sendiri.
Padahal, sejak kapan Desember menjadi lawan? Sejak kapan ia harus dikalahkan?
Berkutat
antara Resolusi Lama dan Resolusi Baru
Keberadaan
resolusi lama dan resolusi baru pada bulan Desember seringkali tumpang tindih.
Kita seperti orang kebingungan karena resolusi lama masih banyak yang belum
dituntaskan sementara resolusi baru harus segera dibuat. Kita pun menjadi
tertekan, disertai rasa bersalah karena merasa gagal mewujudkan resolusi
sebelumnya. Namun di antara rasa bersalah itu, kita juga ingin segera
menghadirkan resolusi baru sebagai semacam kompensasi atas resolusi yang lama.
Aku memikirkan hal ini berhari-hari. Bahwa ada semacam obsesi pada resolusi yang
membuat kita merasa begitu tertekan di bulan Desember. Kita menjadikannya garis
akhir dan secara tidak sadar membuatnya terlihat sebagai sebuah perlombaan.
Kita atau Desemberkah yang akan menang?
Di bulan
ini jugalah kita akan melihat semua rekap, wrapped tahunan yang datang
sebagai ringkasan rapi sejauh mana kita berjalan di tahun ini. Apa yang kita
dengarkan, apa yang kita tonton, ke mana kita pergi, warung kopi mana yang kita
kunjungi, dan, yang terasa unik, barang apa saja yang kita beli di Shopee. Hidup
kita terasa seperti sesuatu yang bisa direkap, diberi angka, dinilai, lalu
ditutup dengan kesimpulan ringkas. Pihak Shopee bahkan berani bilang bahwa aku
adalah ibu rumah tangga yang sangat peduli dengan perlengkapan rumah. Kesimpulan
yang didapatkannya usai melihat pesananku didominasi botol. Padahal botol-botol
itu bahkan tidak kupakai, tapi kujual menjadi sebuah produk kesenian. Alih-alih
dianggap begitu, aku sebenarnya akan lebih senang jika dilabeli pembaca atau
kolektor buku. Namun apa daya, jumlah buku yang kubeli bahkan tidak seberapa
dibanding botol-botol kaca yang jumlahnya ratusan.
Antara
resolusi dan wrapped ini sebenarnya hampir terlihat berjalan beriringan, namun
pada akhirnya mereka berseberangan. Kita membuat resolusi untuk mempertegas
atau menghadirkan identitas yang ingin kita akui, namun wrapped membuatnya, atau
menampilkan “siapa kita menurut angka”.
Tapi kenapa sih kita tetap butuh spotify
wrapped, membuat rekapan buku yang dibaca sepanjang tahun, jika pada akhirnya
kita tetap tidak bersepakat pada beberapa bagian? Barangkali karena resolusi
yang telah kita buat terasa menekan, ada banyak hal yang tidak berjalan sesuai
rencana, namun lihatlah rekapan angka-angka yang ditunjukkan mesin, aku ada,
kok; aku melakukan sesuatu, kok. Aku tidak benar-benar gagal.
Merayakan Natal, Sekali dalam Setahun
Ini adalah tahun pertama aku—sebagai penjual—ikut merayakan
Natal. Tahun lalu tokoku sudah ada, jualan pembatas Alkitab pun sebenarnya sudah,
namun memang sebagai penjual baru, aku tidak punya visi ke arah sana. Belum paham
target market, belum tahu produk macam apa yang bisa menarik gairah konsumen. Barulah
tahun ini aku benar-benar sudah mempersiapkan segalanya, merencakannya sejak
Agustus lalu, membayangkan beberapa produk yang akan kunaikkan sebagai produk
edisi Natal. Mulai dari pembatas
Alkitab tema Natal hingga hampers Natal itu sendiri.
Bisa dibilang
aku sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Jika Natal jatuh di 25
Desember, maka sebutlah produk-produk Natalku sudah kunaikkan sejak 25 November.
Ada waktu sekitar satu bulan
untuk konsumen memesan dan menunggu pesanannya datang tanpa harus tergesa-gesa.
Namun apa yang pada akhirnya terjadi?
Pesanan datang
bertubi-tubi justru di momen-momen sepuluh hari menjelang perayaan Natal. Beberapa
memesan pembatas Alkitab, beberapa memesan pembatas Alkitab custom, dan sisanya
memesan hampers Natal yang sifatnya pre-order. Sebagai penjual aku sudah
terbiasa digugah pembeli. Diminta untuk segera mengirim pesanan dan sebagainya,
namun setelah barang kukirim, aku sepenuhnya lepas tanggung jawab. Selama pesanan
yang kukirim sesuai, seharusnya aku hanya tinggal menerima dana setelah barang
tiba di tangan konsumen.
Namun tampaknya
hampir semua konsumenku membeli barang dalam keadaan tergesa. Ada yang kemudian
protes karena pembatas Alkitab yang dibelinya tidak sesuai perkiraannya—kenapa ada
orang beli barang berdasarkan perkiraan?
Kenapa membeli
barang berdasarkan perkiraan kalau gambar produknya terpampang jelas di depan
mata. Kenapa punya keinginan spesifik tapi malas membaca deskripsi? Pada akhirnya
tetap penjual yang harus bertanggung jawab. Dana dikembalikan seketika itu
juga, sementara barang belum tentu dikembalikan.
Ketergesaan
ini, selain menjadi pengalaman kolektif, nyatanya juga merupakan pengalaman
tersendiri dan lebih khusus untuk kawan-kawan yang merayakan Natal. Seolah
menjadi penekanan bahwa ketergesaan ini bukan hanya kebetulan, tapi memang pola
Desember.
Cermin
Psikologis
Karena aku,
juga pelangganku, sama tergesanya dalam beberapa hal, aku kemudian mencoba
mencari-cari tulisan yang membahas perihal ini. Aku kemudian tertarik pada salah
satu sub-judul dari sebuah artikel yang membahas bahwa Desember sering mewujud
sebagai cermin psikologis. Di sana, di hadapannya, kita berdiri
mematung. Menatap siapa kita saat
ini, kemudian membandingkannya dengan kita di tahun sebelumnya. Mencerna apa
yang berubah pada diri kita, pada sekeliling kita. Siapa yang Desember tahun
lalu masih bersama kita, lalu Desember tahun ini telah pergi.
Dari penjelasan
tersebut kita akan lebih paham mengapa begitu banyak orang yang datang ke
psikiater pada bulan Desember. Karena Desember memicu memori, seakan datang
tanpa diundang, kenangan-kenangan kita setahun lalu. Sebuah artikel
menyebutkan bahwa orang-orang cenderung merasakan kesepian melebihi bulan-bulan
biasanya. Kesadaran itu muncul karena momen Natal dan liburan akhir tahun yang
memicu kenangan. Kadang menghadirkan orang-orang sekitar yang pernah ada,
kadang berupa kekecewaan atas diri sendiri yang ternyata belum ke mana-mana,
belum menjadi apa-apa. Padahal tahun hampir berganti, namun mengapa aku masih
begini-begini?



Comments
Post a Comment