MARGUERITE GAUTIER, SARTIKA, DAN RAYUAN PEREMPUAN GILA


Aku menemukan sosok Marguerite Gautier secara tidak sengaja. Kala itu aku sedang menonton sebuah serial di Netflix yang setiap episodenya menggunakan judul sebuah buku. Pada episode yang berjudul The Lady of the Camellias-lah nama Marguerite Gautier disebutkan. Didorong oleh rasa penasaran, didukung oleh ketersediaan dana dan keterbatasan stok yang ada di pasaran, aku memesan buku ini di saat itu juga.

Buku yang bercerita tentang perempuan bernama Marguerite Gautier, seorang courtesan atau pelacur kelas atas, yang menjumpai ajal dalam keadaan teramat jauh dari kekasih hatinya. Alexandre Dumas Jr. menghadirkan sebuah kisah romantis yang semakin dibaca akan semakin mencabik-cabik perasaan. Tapi untung saja sebab kita sebenarnya sudah diberikan spoiler sejak awal bahwa kisah cinta antara Marguerite Gautier dan Armand Duval tidak berakhir indah. Sebaliknya, ia berakhir mengenaskan, mengoyak perasaan, dan meremukkan hati. Oh dan akan memicu trauma jika pembacanya pernah mengalami hubungan romantis dengan seseorang dan tiba-tiba berakhir di luar kehendaknya.

Beberapa hari usai menamatkan The Lady of the Camellias—dalam keadaan bersimbah air mata tentu saja—aku kemudian menonton film Pangku. Sebuah film yang disutradarai oleh Reza Rahadian dan naskahnya ditulis olehnya juga bersama Felix K. Nesi. Film ini bercerita tentang perempuan bernama Sartika yang terpaksa harus menyambung hidup, bersama seorang anak laki-lakinya yang lahir tanpa bapak, dengan menjadi seorang penyaji kopi sembari dipangku pada sebuah warung remang-remang di area pantura.

Dalam perjalanannya menyajikan kopi sembari dipangku itulah ia kemudian berjumpa dan menjadi dekat dengan seorang pelanggan bernama Hadi. Seorang laki-laki yang kemudian mau mengajaknya jalan-jalan pada hari minggu, bercinta dengannya di bilik yang dibayar per jam diiringi lagu Rekayasa Cinta, dan mengajaknya menikah karena ingin punya anak.

Pada masa-masa kasmaran yang dirasakan oleh Sartika itulah lagu Nadin Amizah yang berjudul Rayuan Perempuan Gila kemudian bergema. Lagu Rayuan Perempuan Gila tidak pernah seterang ini bisa divisualisasikan olehku. Sudah sering mendengar lagu ini jauh sebelum menonton film PANGKU, hanya saja pikiranku tidak pernah sampai ke sosok perempuan yang dimaksud. Aku hanya berusaha menebak, itu pun tebakanku ternyata salah.

Baiklah, aku ingin sedikit mengulik keseluruhannya—Marguerite Gautier, Sartika, dan lagu Rayuan Perempuan Gila—dalam beberapa poin berikut:

 


Perempuan sebagai Objek, Hiburan, atau Dosa Berjalan

Marguerite Gautier dan Sartika hadir dalam cerita tidak diperkenalkan sebagai sosok yang utuh, bahkan sejak awal cerita, melainkan hanya sebuah status, mereka adalah objek. Kita bisa menyaksikan bagaimana identitas mereka hadir lebih dulu daripada kemanusiaannya. Seorang courtesan yang kecantikannya dipuja, tubuhnya diperebutkan, tetapi pada saat yang bersamaan moralnya sudah ditetapkan tidak layak ditebus. Sartika juga demikian, ia hidup di wilayah yang dekat dengan tubuh, dekat dengan transaksi, dan jauh dari martabat sosial yang diakui.

Profesi keduanya divonis sebagai sesuatu yang hina, tidak layak diberi penghormatan, dan tidak pantas menuntut kebahagiaan lebih. Tidak peduli pada apa yang mereka rasakan, pikirkan, atau inginkan, label dari masyarakat menempel di jidat keduanya seperti tato permanen. Hal yang mengerikan adalah posisi keduanya yang sudah ditempatkan sebagai perempuan yang sudah jatuh, tidak ada pilihan bagi keduanya untuk jatuh atau bangkit.

Label sosial ini bahkan terasa mendahului cerita. Ia menghapuskan hak bagi tokoh-tokohnya untuk dipahami, diselamatkan, atau bahkan sekadar untuk bersedih tanpa dicurigai. Agak miris rasanya untuk menuliskan bahwa Marguerite dan Sartika pada akhirnya menjadi sebuah metáfora berjalan; tentang dosa, tentang kerentanan, tentang keruntuhan, tentang sesuatu yang boleh dinikmati tetapi tidak perlu dihormati.

Kematian Marguerite dalam sunyi dan tanpa siapa-siapa—orang-orang yang dahulu menginginkan tubuhnya telah berpaling—juga kehidupan Sartika yang terus disudutkan, adalah sebuah tragedi yang membuat kita berpikir, jangan-jangan atau memang, dunia tidak pernah benar-benar ingin mengenal mereka sebagai manusia.

Adegan di mana Happy Salma (lupa namanya di film) mengusir Sartika dan anaknya, serta menyuruhnya membawa gerobak mie ayam yang disebutnya sebagai ‘sampah’ adalah gambaran bagaimana dosa berjalan begitu melekat di jidat Sartika. Sekalipun ia juga merupakan istri sah dari Hadi, namun di mata Happy Salma, dia tidak lebih dari seorang perempuan murahan yang tidak tahu diri.

 


Pekerja Seks Tidak Pantas Dicinta dan Mencinta

Rayuan Perempuan Gila mengambil tempatnya pada bahasan ini. Mulanya hasil imajinasiku biasa saja berkaitan dengan lirik lagu ini. Bahwa ada seorang perempuan yang selalu gagal menemukan cinta yang tepat, entah karena pacar pertamanya toxic, atau pacar selanjutnya tukang selingkuh, atau mantan terakhirnya terlalu cuek, sehingga ia merasa tidak pantas, atau memang tidak layak untuk dicintai dan menjalani kisah cinta seperti di drama Korea. Beruntungnya, seperti kata Nadin, Rayuan Perempuan Gila menemukan rumahnya pada film Pangku.

Dalam buku The Lady of the Camellias misalnya, cinta tidak pernah hadir sebagai anugerah bagi Marguerite Gautier. Ia adalah ujian dan juga penebusan. Ketika cintanya pada Armand Duval bersemi begitu indahnya, ujian itu benar-benar datang. Dari orang yang sangat penting bagi kekasihnya, dan pada akhirnya berujung dengan penebusan. Atas nama cinta, atas nama harga diri yang secuil, atas nama pengorbanan.

Marguerite Gautier mengalah, memilih meninggalkan cintanya, melakukan penebusan agar cintanya dianggap layak. Pada akhirnya meninggal dalam kesepian dan kesendirian, namun dengan harga diri yang membuatnya merasa telah melakukan kebaikan dan melegakan hatinya meskipun ia juga menikam jantungnya di saat yang bersamaan.

Barangkali ada yang pernah mendengar kisah tentang seorang pelacur yang masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Meskipun dalam kisah tersebut juga sangat menunjukkan ironi moral, namun aku hanya ingin menekankan bahwa kisah itu sering diceritakan sebagai bukti bahwa kebaikan dapat lahir dari siapa saja, bahkan dari mereka yang paling direndahkan. Namun di balik pesan penuh pengharapan itu, terdapat pola yang nyaris selalu sama; perempuan dengan label sosial paling hina harus melakukan tindakan luar biasa, nyaris heroik, untuk sekadar diakui sebagai manusia yang baik.

Dalam kasus Marguerite Gautier, polanya sama saja. Ia harus menebusnya dengan meninggalkan cintanya yang begitu besar terhadap kekasihnya. Demi masa depan adik Armand Duval, demi reputasi, demi tatanan sosial yang tidak benar-benar menerimanya, Marguerite Gautier memilih menyingkir. Cintanya harus dikorbankan agar perempuan lain bisa menikah, hidup normal, dan diterima di masyarakat. Lucu sekali, kebaikannya tidak diukur dari kapasitas mencinta, melainkan dari kemampuannya menghilang dengan anggun. Aku masih sedih sekali membayangkan momen itu. Kalian harus baca, sih.

Bagaimana dengan Sartika? Bagi yang sudah menontonnya pasti paham betul bahwa pernikahan yang dijalaninya dengan Hadi selalu dibayang-bayangi rasa takut kehilangan. Manipulasi atas diri sendiri ketika mendapatkan jawaban atas pertanyaannya tentang status Hadi.

“Bang Hadi punya istri?”

“Saya mau punya anak, kamu mau punya suami?”

Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan tersebut sudah barang tentu menggantung terus di kepala Sartika, namun ia memilih tidak menggali lebih jauh. Ia juga takut untuk mendengar jawaban lain, jawaban yang sebenarnya. Perempuan mana pun akan merasa sangat terganggu mendengar jawaban macam itu, namun harus bagaimana lagi? Pada akhirnya relasi yang dijalaninya terus dibayangi ketimpangan kuasa. Tentang siapa yang punya uang, siapa yang bisa pergi kapan saja, siapa yang berhak menentukan jarak, siapa yang tidak boleh banyak bertanya.

Ancaman kehilangan selalu hadir, itulah mengapa Sartika begitu panik ketika Hadi belum pulang. Bukan karena takut suaminya kecelekaan, namun takut suaminya benar-benar telah pergi; untuk kembali pada istrinya, atau untuk menemukan perempuan lain yang bisa memuaskan rasa superioritasnya.

Kalau kita ingin mengambil kesimpulan, barangkali bisa dikatakan bahwa cinta bagi perempuan seperti Marguerite Gautier dan Sartika bukanlah sesuatu yang pantas disebut sebagai penyelamatan, melainkan utang moral yang harus dibayar dengan penderitaan. Mereka boleh mencitai asal siap kehilangan, boleh berharap asal tidak menuntut bahagia, boleh bermimpi asal tahu diri.

Rayuan Perempuan Gila tidak kita maknai sebagai rayuan dalam artian genit atau manipulatif, namun lebih ke permohonan atau pengibaan seorang perempuan kepada seorang laki-laki terhormat agar perasaannya tidak sepenuhnya ditolak. Perempuan dalam lagu ini sadar betul bahwa cintanya tidak berdiri di posisi yang aman. Ia sadar betul bahwa dirinya rapuh, berlebihan, dan masuk kategori yang tidak pantas dicintai layaknya perempuan lain. Namun dengan kesadaran penuh itu, toh ia tetap mencintai meski di mata dunia itu adalah bentuk kegilaan.

Sebagai pembaca bukunya dan penonton filmnya, rasanya ingin ikutan menggugat. Mengapa cinta yang merupakan pengalaman paling manusiawi, paling murni, tetap harus mendapatkan penghakiman dan hukuman bagi mereka yang hidup di luar norma dan standar sosial yang katanya beradab?

 

Mengapa Berbeda Pengalaman Menonton Film Pangku antara Lelaki dan Perempuan?

Isu ini tidak muncul sama sekali dalam benakku setidaknya saat menonton film Pangku hingga beberapa jam setelahnya. Semuanya bermula ketika aku memasang sebuah status di Instagram dan dikomentari oleh seorang teman lelaki. Tentang pengalamanku menonton dan apa yang kurasakan. Ia kemudian mengutarakan bahwa pengalamannya justru berbeda. Kurang lebihnya, ia sulit untuk masuk dan meresapi kondisi yang dialami oleh Sartika.

Begini, kesulitan untuk ikut merasakan apa yang terjadi pada tokoh utamanya memang sangat masuk akal ketika yang merasakannya adalah lelaki. Mengapa? Karena ia tidak hidup dalam tubuh yang terus-menerus berada dalam posisi rentan, ia tidak dibesarkan dengan ketakutan akan tubuh, reputasi, dan ancaman yang sama. Kalau bagi sebagian besar lelaki, kisah Sartika adalah cerita tentang orang lain, maka bagi seluruh perempuan, kisah tersebut terlalu dekat. Dia adalah ibu kita, saudara perempuan kita, atau justru kita sendiri.

Kukatakan padanya bahwa bahkan adegan di mana Sartika berjalan di tengah remang dengan perut buncitnya sudah terasa ngilu bagi kami para perempuan. Tidak punya siapa-siapa, tidak berdaya, tidak punya tujuan, tidak tahu nasib—bisa saja dia tiba-tiba kontraksi saat itu juga—sungguh sangat mengerikan dan masuk akal bagi kami para perempuan. Dan tentu saja, lelaki tidak akan pernah berada dalam posisi itu.

Aku tidak marah ketika teman lelaki tersebut merasa kurang relate, aku hanya semakin sadar, bahwa pengalaman kolektif perempuan yang bisa kita jumpai sehari-hari; di media sosial, di berita yang dimuat, di buku yang dibaca, di film yang ditonton, pada kenyataannya tetap membutuhkan penjelasan lebih agar mudah diterima oleh lelaki. Tentu saja tidak ada maksud menyalahkan lelaki, namun ini rasanya sebuah tugas tambahan lagi untuk membuatnya masuk dan bisa dirasakan dengan penuh empati pada pihak-pihak yang memang berjarak sejak mereka terlahir ke dunia.

Tapi bukankah terlalu berat jika perempuan terus-menerus dimintai menjelaskan kerentanannya sendiri? Jadi pada dasarnya, pihak lelaki memang perlu melatih kepekaan agar mampu berempati bahkan ketika ia tidak sepenuhnya mengalami.

 

Comments

Popular Posts