Memikirkan Kembali Diskursus Keislaman
Oleh:
No One*
Sejak modernitas dicapai oleh dunia Barat, dunia Islam
mulai perlahan menyadari ketertinggalannya. Dengan kesadaran itu lahirlah para
pembaharu yang mencoba melakukan kritik dan perbaikan bagi kondisi yang menjadi
penyebabnya. Beberapa tokoh seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad
Iqbal, Mohammed Arkoun, Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Khaled Abou el Fadl, Abdul
Karim Soroush, dan sebagainya telah mengerahkan usaha mereka untuk mengubah
pola pikir, epistemologi, maupun nalar umat Islam. Dalam tulisan ini akan
diulas beberapa hal penting yang diinspirasi oleh beberapa tokoh tersebut, yang
kiranya dapat dipertimbangkan bagi diskursus keilmuan Islam.
Pembedaan
antara Agama dan Ilmu Agama
Persoalan mengenai siapa yang benar dalam memahami
agama tidak pernah hilang di dalam pergulatan diskursus pemikiran, penafsiran,
dan keilmuan Islam. Pertentangan masa lalu, antara Khawarij, Syiah, Sunni, dan
sebagainya hingga kini masih bertahan, meski dalam bentuknya yang berbeda dan
beragam. Masing-masing kelompok, sekte, mazhab, dan aliran mendaku sebagai yang
paling mewakili kebenaran Islam.
Pendakuan atas kebenaran tersebut tidak jarang
melahirkan apa yang disebut sebagai otoritarianisme; yang didefinisikan oleh
Khaled Abou el Fadl sebagai “sebuah metodologi hermeneutika yang merampas
dan menundukkan mekanisme pancarian makna dari sebuah teks ke dalam pembacaan
yang sangat subyektif dan selektif”. Ajaran agama tidak lagi dapat
ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman sebab warisan klasik telah membeku
dalam tradisi Islam. Penafsiran masa lalu telah bertransformasi menjadi teks
yang sakral dan otoritatif yang kemudian menjadikan keengganan untuk melakukan
perubahan demi kemajuan Islam sendiri.
Di sinilah terdapat sebuah ‘kesalahpahaman’ yang
semestinya diluruskan; bahwa penafsiran atas doktrin (teks) agama itu berbeda
dengan doktrin (teks) agama itu sendiri. Dalam bahasa Nurcholis Madjid perlu
dibedakan mana itu Islam doktrin, dan mana Islam yang mengejawantah ke dalam
peradaban; mana yang sifatnya normatif dan mana yang historis.
Lebih jelasnya gagasan Abdul Karim Soroush dapat
dipertimbangkan di sini. Bagi Soroush perlu dibedakan mana itu agama dan ilmu
agama. Agama adalah sesuatu yang sakral, esensial dan, abadi. Ini berbeda
dengan ilmu agama, yang menurutnya bersifat profan, tidak kebal kritik dan
dinamis. Ilmu agama berada pada level aposteriori di mana keberadaannya
didahului oleh pengalaman manusia, atau pengalaman level praktis. Ia merupakan
sekumpulan presuposisi-presuposisi, asumsi-asumsi, konsep-konsep,
keyakinan-keyakinan yang mungkin saja benar dan mungkin salah. Ia juga
didasarkan pada konteks penilaian yang diukur oleh pengalaman, akal, dan wahyu.
Ilmu agama adalah hasil dari usaha manusia untuk memahami dan menafsirkan
agama. Ini berbeda dengan agama yang memiliki esensi pewahyuan dan karena itu
ia pasti benar, sempurna, komperhensif, dan tetap. Agama lebih bersifat
intuitif yang kebenarannya adalah mutlak, sedangkan ilmu agama adalah hasil
karya kognitif manusia yang kemungkinan salahnya adalah pasti.
Pembedaan keduanya menjadi penting untuk mereduksi
klaim kebenaran dari masing-masing kelompok. Bagaimanapun penafsiran atas teks
keagamaan yang melahirkan beragam ilmu agama adalah hasil kerja pemikiran dan
pengalaman manusia. Ilmu fikih beserta produk fikihnya, ilmu al-Qur’an dan
tafsir beserta produk tafsirnya, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa, dan
sesterusnya, semuanya adalah hasil pemikiran manusia. Ilmu tersebut tidak
sakral, bisa berubah, dan bisa disesuaikan dengan tuntuan zaman. Maka
mendakunya sebagai bagian dari agama yang sakral, normatif dan paling benar
adalah kekeliruan.
Dampak negatif bagi pendakuan terhadap kesakralan ilmu
agama adalah stagnasi bagi peradaban Islam terutama dalam persoalan epistemologi
keilmuan. Muncul suatu kecenderungan dalam tradisi Islam yang mencoba membentuk
suatu ortodoksi keilmuan yang dipandang benar secara universal. Kecenderungan
itu disebut Arkoun sebagai logosentrisme, suatu “pencarian atas sebuah sistem
pikiran universal yang akan mengungkapkan apa yang nyata, benar, indah, dan
sebagainya.” Ini dapat dilihat pada diskursus keilmuan al-Qur’an misalnya, jika
seseorang hendak melakukan kajian terhadap al-Quran maupun tafsir, ia harus
tunduk pada aturan yang telah ditetapkan oleh para ulama tafsir. Melibatkan
bidang lain atau kaidah lain seperti teori hermeneutika dianggap sebagai
penyimpangan atas “sistem pikiran universal” yang telah dianggap mapan.
Menghadapi problem semacam ini menurut Arkoun perlu ada
pembongkaran (dekonstruksi) dari nalar Islam. Menurutnya terdapat dua katagori
dalam agama yang perlu dibedakan: “yang
tak terpikirkan” (l’impense), yakni hal-hal yang dapat dijangkau nalar
tetapi belum menjadi objek pemikiran, dan “yang tak dapat dipikirkan” (l’impensable),
yakni hal-hal yang tidak dapat menjadi objek pemikiran dalam kerangka wacana
tertentu. Ilmu agama adalah bagian yang dapat dipikirkan, dikritik, dan
dikembangkan. Jika ilmu agama tidak mampu menghadapi tantangan zaman, maka ia
perlu dibongkar dan disesuaikan dengan tuntutan yang dihadapi.
Negosiasi
Ilmu Agama dan Ilmu Sosial Humaniora
Usaha pembongkaran epistemologis dalam keilmuan Islam
telah dilakukan tidak hanya oleh Arkoun, tetapi juga Fazlur Rahman dan Abdullah
Saeed. Tokoh-tokoh tersebut telah memberikan kontribusi tidak hanya kritik
terhadap tradisi keilmuan Islam, tetapi juga menyusun kembali secara sistematis
dan terstruktur secara akademis dengan melibatkan pendekatan sejarah pemikiran,
yang kemudian dikenal dengan al-Fikr al-Islamiy.
Meski demikian, tuntutan zaman menghendaki perubahan
lebih dari bangunan epitemologis keilmuan Islam. Al-Fikr Islamiy lebih mengarah
pada persoalan pemikiran yang belum secara tegas melakukan pengadopsian
ilmu-ilmu lain yang lebih luas. Maka di sinilah posisi penting adanya cluster
baru yang lebih progresif dari keilmuan Islam yang disebut sebagai Dirasat
Islamiyah (Islamic Studies). Dirasat Islamiyyah adalah bentuk baru tradisi
keilmuan Islam di mana kajian Islam tidak hanya melulu berbasis pada rumusan
yang telah ditetapkan oleh ortodoksi, tetapi juga melibatkan pendekatan
ilmu-ilmu lain, seperti sejarah, psikologi, sosiologi, antropologi, dan
sebagainya. Dirasat Islamiyyah selalu menggunakan dan menggandeng metode kerja
tata pikir ilmu-ilmu sosial untuk membedah realitas keagamaan Islam dalam
kehidupan nyata sehari-hari. Dari sini terjadi negosiasi antara ilmu keislaman
dengan ilmu sosial.
Negosiasi ini penting untuk dilakukan. Dalam konteks
penafsiran al-Qur’an misalnya. Gagasan Rahman tentang gerakan ganda (double
movement) yang mengarah pada kajian konteks sejarah turunnya al-Qur’an dan juga
konteks masa sekarang, meniscayakan penyapaan terhadap ilmu-ilmu lain. Penafsiran
tentang waris bagi perempuan dalam khazanah klasik masih mempertahankan gagasan
dua banding satu, di mana perempuan selalu mendapat setengah harta warisan
ketimbang laki-laki. Hal ini berbeda ketika kajian konteks masa sekarang dalam
penafsiran ala Rahman yang melibatkan pendekatan sosial. Dengan kondisi
perempuan saat ini yang memikul beban yang sama dengan laki-laki dalam hal
tanggung jawab keluarga, maka harta warisan semestinya disamakan. Di sinilah
posisi penting kajian sosial dalam penafsiran al-Qur’an.
Di sinilah lalu gagasan Fadl tentang perlunya negosiasi
di antara unsur segitiga hermeneutika, yakni teks (text), pengarang (author),
dan pembaca (reader), menjadi penting. Selama ini yang terjadi adalah penafsir
(author) doktrin keagamaan memiliki posisi sentral dan otoriter. Tidak ada
usaha untuk mempertimbangkan perspektif dari para pembaca. Padahal peran
pembaca juga sangat menentukan dalam hal kesesuaian hasil penafsiran dengan
realita maupun tantangan yang dihadapi. Para pembaca bisa berupa ilmuan,
kritikus, peneliti, dan sebagainya yang perspektifnya juga dibutuhkan untuk
dinegosiasikan dengan teks hasil tafsiran. Jika tidak maka sangat mungkin yang
terjadi adalah tafsir tidak mampu menjawab problem-problem baru yang senantiasa
berkembang dan berubah dari waktu ke waktu.
Negosiasi antara ilmu keislaman dengan ilmu sosial humaniora
adalah hal yang signifikan. Bagaimanapun perubahan zaman menuntut adanya
perubahan dalam tubuh keilmuan Islam. Jika hanya mengandalkan ilmu-ilmu agama
semata, maka tidak akan tercapai kemajuan sebagaimana yang terjadi dalam dunia
Barat. Tantangan akan selalu ada, dan jawaban atas tantangan tersebut juga
dituntut untuk dipersiapkan.
*Penulis adalah mahasiswa Ph.D di salah satu kampus di
Yogyakarta