Jangan Sekali-kali Mencari Kebenaran di Domain seperti .id, .co, .com, dan Semacamnya

Saya harus berpikir panjang sebelum memutuskan untuk mengganti domain blogspot ke “.id”. Sudah sejak lama, beberapa kolega menyarankan untuk melakukan hal ini. Banyak pertimbangan pun mereka sampaikan agar saya melakukan sarannya. Salah satunya dan yang paling kerap diisukan adalah “gaya tulisan”.

Terlepas dari logika benar-salah, mereka menilai, banyak unggahan di contradixie.blogspot.com memiliki potensi untuk diserap oleh kalangan yang lebih luas. Artinya model tulisan dalam blog kami sudah masuk klasifikasi “tulisan daring” yang serenyah tahu walik hangat ketika dikonsumsi, terlebih oleh kalangan virtual yang tidak suka kedalaman.

Ini bukan berarti, lanjut mereka, unggahan contradixie hadir tanpa kedalaman. Kedalaman ada, hanya saja dengan bungkus yang “orang pada umumnya” akan susah menengarai bahwa itu “kedalaman”. Yang jelas, mereka ingin blog contradixie didomainkan. Titik.    

Sebagaimana disebut Ian C. Fiebel dan Sabine Kastner (2019)—dalam risetnya tentang teori perhatian—bahwa pikiran seseorang bisa bergeser dalam hitungan detik karena padatnya kegiatan dan pergeseran minat, pada akhirnya saya pun berubah pikiran. Semakin bercabangnya hal yang menuntut “perhatian” barangkali sebabnya.

CMS dan domain

Dua tahun ini, sejak contradixie kami selenggarakan—untuk tidak menyebut dirikan—saya meyakini bahwa CMS (model blogspot dan wordpress) lebih bisa mewakili sesuatu yang polos, apa adanya. Polos di sini merujuk pada tidak adanya “kepentingan praktis” tertentu, apalagi politis, yang membayangi pengelolanya, sehingga ketika mengunggah tulisan, maka tulisan itu lebih dekat dengan “kebenaran”, bahasa saya.

Logikanya begini, untuk apa seseorang menulis suatu “kebohongan” di sebuah platform (CMS) yang orang-orang jarang mengunjunginya. Untuk apa kita mengarang bualan ketika lawan-lawan bicara kita sibuk dengan komentar di Instagramnya. Jadi, kecil kemungkinan, ada pihak yang mau menyebarkan kebohongan komprehensif—bahasanya John Rawls (1971)—melalui CMS, sehingga apa yang disajikan di dalamnya boleh disebut polos.  

Ini berbeda dengan domain yang orang-orang sudah mencitrakannya sebagai platform otoritatif dan memiliki tingkat akurasi data tinggi, yang sebab citra ini mereka berpikiran bahwa apa saja yang dimuat di domain adalah benar. Seperti kepercayaan Bandung Bondowoso yang justru dimanfaatkan oleh Rara Jonggrang, keimanan orang-orang pada domain pada akhirnya membukakan celah bagi pihak tertentu guna memanfaatkannya untuk “kepentingan politis" seperti penggiringan opini publik, penggorengan isu, dan rekayasa sejarah. Walhasil, begitulah mengapa saya sempat berpandangan, tidak ada kebenaran di .co, .id, atau pun .com.

Namun, di ujung pengembaraan daringku, saya menemukan banyak hal yang berhasil menggeser perhatianku. Ada satu hal yang selama dua tahun ini tidak saya sadari: ternyata orang-orang lebih suka kebohongan. Orang-orang lebih nyaman digiring secara isu. Orang-orang lebih tertarik pada sejarah yang dibengkokkan dan orang-orang lebih bergairah mendapati dirinya tertipu.

Walhasil, saya memutuskan untuk menghubungi salah satu kolega, “Minta tolong blog ini didomainkan dong, pak.”     

Comments

  1. Sungguh, antara idealisme dan kenyataan memang contradixie(nggak pake .id lho ya)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts