Dari Lingkungan untuk Tuhan
Sumber Gambar: https://jogjainside.com/sampah-plastik-yang-butuh-solusi/ |
Pada
2015, Indonesia dinobatkan sebagai penyumbang sampah plastik laut terbanyak
nomor dua setelah Tiongkok (Kompas, 15/02/15). Indonesia menyumbang lebih dari
2,5 juta ton sampah dalam kurun waktu satu tahun. Menurut riset, ini disebabkan
oleh dua hal, yakni tidak adanya keseimbangan antara jumlah populasi dengan tingkat
pembangunan yang ada dan sistem pengolahan sampah kita yang masih belum mumpuni.
Ini adalah kabar yang cukup
menyedihkan. Selain sebab Indonesia akan mendapatkan citra cukup buruk di
bidang kebersihan, darinya kita juga bisa menilai bahwa mayoritas masyarakat Indonesia
masih belum memiliki kesadaran yang efektif untuk berteman dengan lingkungan. Saya
menduga, itu dipicu oleh masih adanya gaya berpikir yang “subjek-objek”. Gaya
berpikir tersebut mengandaikan seseorang untuk melihat apa dan siapa pun hanya
sebagai objek yang tidak berdaya. Sehingga saat melihat laut misalnya, mereka
pasti akan memanfaatkannya dengan tanpa berpikir banyak ke depan—karena memang
itu hanyalah objek. Karenanya pula, mereka pasti kesulitan untuk menemukan
bentuk kesadaran efektifnya.
Dalam hal ini, sebenarnya sudah
jamak penelitian yang dilakukan untuk menjawab persoalan tersebut. Ambil saja
contoh Habitat, suatu forum di bawah naungan PBB yang bergerak di bidang
lingkungan hidup, pemukiman, perkotaan, dan sejenisnya. Sejak 1976, Habitat
telah mengadakan tiga kali forum, yaitu Habitat I di Vancouver, Habitat II di
Istanbul 1996, dan Habitat III di Surabaya (2016). Pada forum I dan II, Habitat
menyimpulkan bahwa faktor asas kurang nyamannya lingkungan hidup ketika itu
adalah global-struktural sehingga pemerintah harus turun tangan sebagai
solusinya. Sedangkan pada forum III, berbalik arah dari dua sebelumnya, Habitat
justru melihat bahwa penyebab asasi tidak kondusifnya lingkungan adalah lokal-kultural
sehingga sebagai terobosannya, ia menghimbau untuk segenap masyarakat dan
komunitas harus menjadi satu individu yang sadar untuk berteman dengan
lingkungan (Sudaryono, “Habitat III
dan Dialektika Global-Lokal”, Kompas
5/08/16).
Selain Habitat, ada Abdul Mustaqim.
Lewat artikelnya, “Menggagas Paradigma Tafsir Ekologi”, Mustaqim melihat bahwa
salah satu yang harus digarisbawahi dalam persoalan lingkungan hidup adalah pola
pikir (mode of thought). Perilaku manusia (mode of conduct), menurut Mustaqim,
adalah semata-mata wujud dari pola pikirnya. Dan di waktu yang sama pola
pikir—apalagi di Indonesia—sangat dipengaruhi oleh pemahaman atas teks-teks
keagamaan. Sebabnya, berbekal asumsi tersebut Mustaqim menawarkan satu model
penafsiran yang lebih fokus pada lingkungan hidup dengan harapan itu bisa
menjadi solusi atas kondisi masyarakat kita hari ini yang tingkat kesadaran
efektifnya atas lingkungan rendah.
Akan tetapi, walau demikian,
sudahkah itu berjalan barang 80%? Saya kira belum, apalagi di Indonesia. Ini
bisa kita amati, sebagai contoh kecil saja, dari sampah-sampah yang membanjiri
sepanjang jalan tol Pejagan-Brexit pada libur lebaran 2016 kemarin dan sampah
yang menghiasi pantai utara Tuban di awal tahun 2016. Melihatnya, pasti ada
sesuatu yang tidak beres di situ, “Mengapa terobosan yang sudah dianalisis
dengan begitu matang masih belum bisa sepenuhnya menyentuh titik kesadaran
efektif masyarakat?”
Menuju
Kepentingan Individu
Berbicara mengenai kesadaran
efektif, kiranya ada satu hal yang penting untuk tidak kita lupakan. Yaitu soal
kenyamanan dan kepentingan. Saat seseorang tidak nyaman dan tidak memiliki
alasan praktis terhadap sesuatu, maka sulit rasanya ia akan menemukan kesadaran
efektifnya. Begitu juga dengan persoalan ekologi: andai mereka tidak menjumpai
satu kenyamanan dan manfaat praktis di dalamnya, kesadaran efektif senantiasa
akan menjadi fiktif.
Adapun mengenai lima prinsip al-Quran terkait pengelolaan
sumber daya alam—keadilan, keseimbangan, mengambil manfaat tanpa merusak,
memelihara, memperbarui—menurut saya itu akan lebih efektif jika ditambah lagi
satu poin di akhir, yaitu al-Sa’adah bi
al-bi’ah, berbahagia dengan lingkungan (Mustaqim, 2016). Mengapa harus ditambah? Karena dari lima prinsip tersebut, belum
ada satu poin yang menyuratkan prinsip kebahagiaan individu. Mengapa harus
kebahagiaan? Sebab bahagia adalah kepentingan paling asas dari setiap yang
bernafas. Dengan ungkapan lain, dalam wacana ini kita penting untuk membuat
satu lagi terobosan agar masyarakat Indonesia tergoda untuk tidak membuang
sampah sembarangan, yaitu dengan menjadikan “berteman dengan lingkungan” adalah
bagian dari kepentingan praktisnya untuk menjadi bahagia.
Titik relasi antara bahagia dengan lingkungan bisa kita
lihat, salah satunya, pada surat al-Fatihah [01]: 02. Dalam ayat tersebut, kita
bisa mengamati bagaimana “bersyukur” disejajarkan dengan “Allah, Tuhan semesta
alam”—mengapa pula bukan rabb al-‘arsy
al-adzim. Bersyukur adalah simbol kebahagiaan. Saat senantiasa
bersyukur—dalam arti tidak terlalu banyak keinginan dan selalu berpikir
positif—kita pasti akan menjumpai model kehidupan yang santai, ringan, indah, bebas,
tanpa beban, dan sejenisnya. Sedangkan “Allah, Tuhan semesta alam”, adalah
simbol lingkungan. Untuk itu, agar mudah bersyukur serta berbahagia, kita
penting untuk berteman dengan lingkungan.
Lebih jauh, hal tersebut bisa kita pahami bahwa salah
satu alasan mengapa kita, melalui ayat tersebut, dianjurkan untuk selalu
bersyukur adalah karena kita masih diberi kesempatan untuk bernafas. Bernafas
adalah aktifitas vital manusia yang tidak bisa tidak membutuhkan oksigen.
Oksigen adalah hasil produksi alam. Sebabnya, di titik inilah kita penting
untuk berteman dengan lingkungan. Pun, karena
itu pula ayat di atas menyejajarkan “bersyukur” dengan “lingkungan”.
Menuju Tuhan
Selain ada “lingkungan” dan
“kita” sebagai pihak yang memiliki kepentingan untuk berteman dengan alam,
rupanya dalam proses alhamdulillah, terlibat
satu entitas lagi di dalamnya, yaitu Allah. Ini bisa dipahami bahwa salah satu
cara untuk berbahagia adalah dengan bersyukur kepada Allah dalam keadaan apapun
itu. Kemudian cara paling nyaman biar mudah bersyukur adalah dengan berteman
dengan alam. Bermula dari keinginan untuk bahagia, menyadari bahwa lingkungan
memiliki potensi tersebut dengan oksigennya, kepuasan pribadi, sampai pada
Allah sebagai sumber kebahagiaan.
Jika dilihat secara bertingkat, pada tahap pertama
seseorang akan meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia penting untuk berteman
dengan alam demi kebahagiaannya. Berangkat darinya, secara perlahan ia akan
mampu merasakan bahwa salah satu alasan mengapa sampai hari ini dia bisa hidup
adalah sebab ada alam yang selalu menyediakan oksigen kepadanya. Sampai di
sini, ia berhasil menemukan bahagia level pertamanya.
Lebih dalam, ketika sudah
terbiasa dengan level pertama, maka ia akan bertanya, “Apa saja unsur yang
dibutuhkan tumbuhan hingga bisa memproduksi okigen?” Apa yang ada di balik unsur-unsur tersebut? Nah loh, di situlah letak Tuhan. Dan
tepat saat ia sudah sampai di tangga ini, mode
of thought-nya bukan lagi “subjek-objek”, tetapi sudah “subjek-subjek”. Pun, di level inilah siapa saja mudah
menemukan kesadaran efektifnya untuk berteman dengan lingkungan, sebab semuanya
memang bukan untuk siapa-siapa kecuali kebahagiaan diri sendiri. “Bahagia itu:
diri + lingkungan + Tuhan.”
Oleh: Redaksi
Comments
Post a Comment