Hierarki Profesi dan Sepotong Upaya Membangun Bawah Sadar

Sumber Gambar: https://peluangusaha.kontan.co.id/news/menilik-peluang-bisnis-kudapan-pentol-gupal



Sepanjang akhir pekan, aku diculik temanku untuk menginap di rumah kedua miliknya. Rumahnya di pinggiran kota. Akses ke pusat jajanan bisa ditempuh hanya sepuluh menit pakai sepeda motor.

Dua hari menginap di sana seperti memasuki kota Permen di One Piece: tiap enam jam sekali (iya, enam jam! Aku cukup pengamat pada bagian ini) dia mengajak ke pusat jajanan untuk membeli pentol.  Bangsatnya, beberapa kali ke pusat jajan, kami cuma membeli pentol, meski di toko berbeda. Aku pengen protes, memberi saran jajanan lain yang lebih kontekstual seperti ental, tapi kuurungkan. Yang membayar dia, eh.

Setiap kami memakan pentol yang berbeda-beda itu, dia selalu menceritakan sisi historitas dari pentol yang sedang kami kunyah. Penjelasannya membentang mulai dari bahan dasar pentol (aspek ontologis), unsur yang membuatnya jatuh cinta, sejauh mana dia dekat dengan para penjualnya sampai sejarah pendidikan dari penjual itu sendiri.

Di bagian sejarah pendidikan (disebut genealogi boleh kok) penjual, dia mengisahkan bahwa penjual yang ada di pojok itu dulu alumni SMP 7 dan yang di tengah alumni SMK 1. Dengan rona bahagia cum bangga atau membanggakan mereka, dia menceritakan juga rentetannya mengapa dia sampai tahu jauh soal para penjual pentol kesukaannya di Tuban.

Penjelasannya, harus kuakui, kadang membuatku harus berpikir maju-mundur, tetapi ketika melihat nada serta rona betapa dia bangga dengan para penjual pentol itu, segalanya berubah (sudah kayak dampak dari revoluis 4.0 toh). Aku spontan kepo:  orang ini apa terbuat dari pati dicampur daging kebo po ya. Di masa ketika kebanyakan orang Tuban melihat penjual pentol atau tukang bakso sebagai pekerjaan yang rendahan—seperti halnya penyedia jasa servis ban bocor, driver becak, pebisnis tuak, dan semacamnya—eh dia malah dengan santainya menempatkan mereka lebih tinggi dari kepala sekolah. Guru Kepala di sekolah tempat dia bekerja sendiri lagi.

Mungkin penjelasan temanku di muka adalah alam bawah sadarnya yang dominan. Namun, bukankah apa yang mengendap di bawah sadar kita itulah yang jauh lebih nyata dari sekadar pengetahuan di level kesadaran? Bukankah pula orang-orang dulu lebih mengandaikan anak-anaknya untuk bisa ngelmu dibanding hanya punya ilmu? Hayo, makan pentol dulu wae wes.

Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin