"Selamat Hari Natal"


Sumber gambar: https://thehoneycombers.com/bali/christmas-and-new-year-at-alila-seminyak/

Sudah lama tidak ditanya pendapat tentang Hari Natal. Barusan tadi, selepas berdiskusi dengan teman-teman tentang pembangungan tempat wisata baru di sisa gunung bekas tambang, ada yang bertanya soal Natal. Eh bukan Natalnya sih, kalau itu mending, tapi tentang u c a p a n selamat natal.

Lama tak memikirkan itu, rasanya ada ketimpangan yang muncul antara sisa memoriku dan apa yang menjadi pandanganku sekarang.

Dulu, sejauh yang kuingat, saat menulis tentang natal, aku melakukannya cukup serius. Dua sampai tiga hari habis untuk fokus ke situ. Mulai dari mencari ayat Alquran yang relevan, mengumpulkan tafsir-tafsir dari berbagai daerah, sampai pembacaan atas situasi hari ini di Jogja atau Gresik. Intinya, banyak waktu dan tenagaku terforsir.

Bukan soal apa-apa sih. Hanya saja, ihwal ucapan natal itu sudah lebih jelas dari kejelasan itu sendiri. Menyoal hal tersebut sama halnya dengan orang Jawa yang mau liburan bareng orang Sulawesi (memakai mobil sewaan) dan kemudian berdebat tentang, "Kita nanti pakai arah mata angin atau kanan-kiri?"

Sekarang, alih-alih membuat tulisan, memikirkannya saja malas rasanya. Faktor umur barangkali atau efek pergaulan bebas atau entahlah. Yang jelas, buatku saat ini, persoalan itu tidak lagi relevan untuk dibahas (jika bukan tidak penting sama sekali).

Kalau perdebatan mereka dilanjut dan masih saja menganggap ragam "arah" itu penting, aku yakin mereka tak jadi liburan dan malah akhirnya ngopi di Kopi Paste.

Pendeknya, meluangkan waktu dan tenaga untuk isu natal sama artinya dengan merelakan "potensi sejenak" kita buat kekosongan. Okelah kalau kekosongan itu memang benar-benar kosong di semua lapisan, barangkali itu mending. Tapi bagaimana jika kekosongan itu justru menjadikan sesuatu di luar sana menjadi lebih terkuatkan atau terdukung dengan tanpa kita sadari.

Aku jadi ingat tentang kasus Kasravi dan Anglo-Iranian Oil Company di Iran pada tahun 1941-1949. Saat itu terlihat sekali bagaimana banyak orang potensial menghabiskan tenaga dan waktunya untuk menggugat Kasravi dan malah perkara Oil Company tidak ada satu kata pun terlontar. Padahal yang lebih menyangkut hidup-mati seseorang, lapangan pekerjaan kelas bawah, dan semacamnya adalah yang kedua. Lah iki kepriben?

Itulah mungkin yang kumaksud dengan bagaimana menyoal Natal untuk konteks saat ini adalah lebih dari kesia-siaan. Aku merasa ada semacam makhluk lain yang memang sengaja membuat kita sibuk untuk isu remah supaya kita bisa lupa dengan perkara-perkara yang lebih mendasar dan krusial. Asembuh begitulah. Pada ujungnya, tetap juga aku menulisnya. Asu!

Comments