Selingkung Hujan






Mereka tahu tugasnya. Mereka tidak pernah melanggar sedikit saja apa yang sudah menjadi jalan hidup mereka. Namun, meski begitu tidak dengan apa yang mereka pikirkan dan isukan kepada teman-temannya.

Banyak dari hujan berpandangan dungu dan pecundang. Apa yang menggeliat dan mereka bahas dengan teman-temannya bertentangan dengan apa yang harus mereka jalani.

Di daerah kawasan Jogja, hari ini adalah hari buat generasi yang ke 405199549912042 dari hujan untuk menjalankan misi luhurnya. Setiap turun hujan itu berarti satu generasi sedang ditugaskan dan angka itu, entah aku tidak tahu kapan mulainya, adalah nomor urut generasi dari hujan-hujan yang mengguyur Jogja selama ini.

Hari ini adalah harinya Remus, Romulus, Napo, Dort, dan Mences. Mereka sedang bersiap-siap di Portal (tempat pelepasan) setelah dua jam mendengarkan ceramah dari Klod, sang Induk. Mereka terlihat santai mengobrolkan sesuatu. Rautnya plong seperti habis masturbasi.

Teman-teman mereka yang lain juga menunjukkan iklim senada. Jadinya, suasananya lumayan riuh. Kalau kamu pernah ikut wisuda anak-anak TK, barangkali demikianlah nuansanya.

"Ini kan hari yang sangat luhur buat kita toh...." Remus bertanya pada Mences, memulai.

"Iya. Lalu?"

"Apa tujuan luhurmu nanti?"

"Ahaaa, tak terpegang, Rem. Tapi ada satu yang paling bersuara di hatiku. Kita ini kan hujan toh. Salah satu elemen yang di mensyen di semua kitab-kitab suci para manusia. Makanya, aku sudah memikirkan ini matang-matang."

"Opu kui, bangsat. Kakean prolog." Romulus menyela keras.

"Aha, sabar sih. Aku nanti pengen mengguyur tanah-tanah gersang supaya para petani yang tertindas kurang air gara-gara berdirinya hotel-hotel baru itu bisa kembali tersenyum dan menanam buat masa depan kaum manusia." Mences menjawab dengan penuh suka cita cum visioner.

"Emm. Seluhur dirimu, Ces," Remus merespons, "Kalau kamu, Dort?"

Dort sedang meneropong jauh ke bawah ketika Remus melemparnya pertanyaan. "Eh aku ya. Aku sederhana sih. Kurang lebih sama kayak Mences. Aku akan turun di situ," jawab Dort sembari menunjuk sebayang garis yang melintang dari ujung barat kota sampai ujung timur, "Sungai itu sudah lama kerontang. Sendu rasanya melihat para petani harus mengemis air dengan bor yang mahal padahal di sampingnya ada jalur air surga yang malah diabaikan pemerintah."

"Woo, bagus. Kok pikiranmu cerdas, Dort." Napo tiba-tiba nimbrung dan tiba-tiba pula menceritakan pilihannya.

"Kalau aku akan memilih bergabung menjadi tim banjir. Iya banjir. Biar bisa menyantap semua yang ada di Jakarta. Kalau bisa sampai ke rumah Gubernurnya yang kemarin sok-sok ngomongin fitrah kita sebagai hujan dan air. Aku muak dengan orang itu. Biar juga, kalau misal sudah tersantap banjir, dia itu mau memikirkan nasib warga-warga yang rumahnya berlangganan banjir!" Napo menggebu-gebu. Teman-temannya melongo mendengar.

"Hoi, bangsat. Daerah tugas kita ini Jogja, bangsat. Ndak sampek Ibukota." Lagi-lagi Romulus menyahut.

"Oiya. Aduh. Yaaowoh lupa. Hi hi hi..."

"Haish haish haish, tiwas saya merungokkan dengan seksama, Po Napo." Mences kecewa dan melanjutkan, "Kalau kamu sendiri bagaimana, Lus?"

"Ndak jauh-jauh, Ces. Aku mung pengen jatuh di pipi perempuan yang selama ini kuidam-idamkan," tutur Romulus dengan kepala agak mendongak, membayangkan, dan mata terpejam sejenak.

"Loh, loh, kamu memang pernah melihat perempuan itu, Lus," Dort gusar seperti tidak mau kalah dengan Romulus tentang isu kemanusiaan.

"Urungkan saja niat itu, Romulus," Remus ikut-ikutan, "Nanti pacarnya cemburu! Tak baik itu."
"Halah kalian. Apa toh. Sekali-kali kalian tidak akan bisa dan tidak akan pernah bisa menentukan apa yang menjadi kehendakku. Hu. Eh eh, kowe durung, Mus. Tujuanmu opo mengko iki?"

"He he he, kamu mengalihkan, Lus. Ehm. Aku ingin mengabadikan setiap hal yang nanti kulewati di sepanjang jalan, Ges, sebelum aku melebur dengan air-air di bawah sana dan nantinya terlahir kembali. Biar besok kalau ada manusia yang kepingin mencari senyatanya kebenaran, mereka bisa memanfaatkanku. Kasian jika mereka harus saling mengklaim kebenaran dari sesuatu yang tidak jelas. Ah kebanyakan. Itu saja, Lus."

"Aha, itu panjang kali, Mus. Bukan 'itu saja'. Ah kamu masih saja sok bijak." Respons Napo di sela-sela persiapannya untuk terjun.

***

Sirine berbunyi. Dek tempat mereka berpijak sudah mulai miring. Akhirnya masa itu tiba. Sebagaimanapun pikiran mereka menerawang, tetap saja mereka harus jatuh saat ini juga.

Napo, Dort, Mences, Remus, dan Romulus meluncur. Tidak ada raut takut atau menyesal membayangi wajah mereka.

Malah, di sela jatuhnya, mereka masih membahas soal impian-impian tadi kecuali si Napo yang masih bingung mendesain kembali tujuan luhurnya.

Mereka tahu sekali, paham, terlampau mengerti bahkan, bahwa ke mana mereka jatuh sudahlah ditentukan. Tapi mereka tidak mau berhenti bermimpi, meski tidak ada sepotong usaha pun mereka lakukan.

***

Di sudut tertentu Bumi Jogja, ada cowok yg sedang misuh gara-gara nasi goreng sayur yang baru saja dia pesan, terkena cipratan air hujan.

"Bangsat. Asu. Koyok nasgor kuah dadine iki. Bangsat!"

Cewek di depannya yang tidak lain gebetan si cowok, menenangkan, "Hush. Jangan gitu. Tadi pas lagi kenyang saja minjam-minjam hujan untuk merayuku sampek bilang kalau perasaanmu padaku itu ibarat hujan yang tidak pernah tahu di mana dia akan turun. Hayo."

“Emmm …emmm …emmm… Ini nasi gorengnya enak, sayang. Emmm….”

Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin