Banjir pada Umumnya







Siang itu seperti biasanya: terkelupas oleh rutinitas monoton yang tak kunjung beranjak dari zona nyaman. Datar. Sampai akhirnya ponselku berdering. Aku langsung lari meraihnya, biasalah gabut.

Ah ternyata pesan siaran di grup. Menyebalkan. Kukira dari siapa begitu yang mau ngajak ke mana gitu. Hmmm.

Ketidakjelasan masih merangkulku dan seperti biasanya orang tidak jelas, aku membuka-buka status teman-teman di Wotsap. Hasilnya masih sama. Tidak jelas. Malah pusing yang ada. Apa sih orang-orang ini nganggur, sekali begitu saja dibuat status, batinku.

Aku masih tidak mau menyerah dengan kebosanan ini. Pasti ada cara lain. Aku kemudian kembali ke kolom pesan. Aku tarik ke bawah hingga satu nama muncul di balik jempolku, pas. Aha! Orang ini. Kenapa sedari tadi ingatanku tak membawaku ke sini sih. Aku mulai menghubunginya via pesan singkat yang benar-benar singkat—ya karena memang pesan singkat.

“Ngopi, yuk. Mandi jangan tidur mulu, mati nanti kamu!” Pesanku padanya melalui aplikasi sejuta umat, Wotsap (Jujur sebenarya aku tidak mau menyebut nama aplikasi buatan Amerika Liberal ini, tapi bagaimana lagi ya biar kamu tidak susah memahami ceritaku saja. Akhirnya aku mengalah)

“Iya, ayo.” Jawabnya singkat.

Setelah mandi, makan, nggibah seperti orang-orang pada umumnya, kuambil kunci motor. Seperangkat alat yang biasanya kupakai untuk merekayasa netijen bahwa aku ini punya kesibukan yang berkualitas juga tidak lupa kubawa. Buku, Laptop, dan pensil maksudku.

***

Di jalanan macet seperti biasa. Dua jalur rel kereta api, stasiun, terminal dan bandara menjadi penyebab mengapa kota ini terasa begitu padat. Tapi meski demikian, masih saja banyak orang betah di sini, sampai beranak pun malah. Ah embuh mungkin nunggu banjir bandang dulu baru mereka tidak betah dan konon supaya suatu daerah bisa mendapatkan anugerah air yang semelimpah itu, gubernurnya harus beragama Islam dulu, alim, dan berkeilmuan mendalam. Sudah ah.

Tiba di kos temanku, langsung saja kupanggil namanya seperti anak-anak jaman dulu sebelum ada alat komunikasi yang membungkam dunia nyata seperti sekarang ini.

“Saa… main, yok!”

Mukanya rada pucat ketika ia keluar dengan tangan kiri membawa tas selempang. Tangan satunya memegang botol 1,5 liter berisi air.

“Kenapa kamu, sayang, galau gitu ekspresimu?” Tanyaku.

“Hah?” Jawaban membosankan.

Ahh peduli amat, langsung ku-gas melewati jalan berbatu, panas. Setiba di lokasi, kami sibuk masing-masing pada awalnya sampai aku sebal dan membuka obrolan.

“Sa, aku hendak cerita. Cerita pendek ini.” Celetukku.

“Apa, Cuk?” Jawabnya singkat.

“Jadi gini, Sa. Aku punya teman, teman sepermainan. Dia cantik, tinggi, pintar pula!”

“Lalu? Ah, kukira mau nyanyi.”

“Jadi, ceritanya dia itu nikah sama lelaki yang menurut ukuran visualnya sajalah bisa kita tebak-tebak pula. Tapi kaya.” Ghibah kumulai.

“Maksudmu?” Tanyanya antusias tapi tetap pada karakter cueknya.

“Dia pernah berkata, aku mengakui kalau tidak pandai mencari uang sendiri. Makanya cari yang sudah mapan secara materi.”

Waw, hebat dong dia. Tak pandang fisik. Tak peduli hati apalagi perasaan.”

“Iya, Sa. Kok bisa, ya? Kita masih idealis misal berbicara tentang hati. Tapi dia realistis dan kita susah jika ingin seperti dia. Hebat dia!”

“Ha ha ha. Dia pandai memanipulasi perasaannya. Dengan realitas yang ada, harusnya memang seperti itu, kan.”

“Tapi dia memang hebat. Orang-orang seperti itu yang patut kita apresiasi. Orang yang bisa mengesampingkan ideologi di atas realitas.”

“Jadi, sebenarnya dia itu matre atau realistis?”

“Realistis-lah, pandai dia! Tidak seperti kita yang terjebak pada idealitas hati dan perasaan kita sendiri.”

“Kita juga pandai, Cuk, kan bisa menahan nafsu untuk tidak realistis.”

Ahh karepmu, Sa!” Sambil cekikikan kubalas pernyataannya itu.

Dan kami pun tertawa terbahak bersama panasnya terik sambil menunggu banjir. Suara-suara kereta yang melewati persimpangan di antara kopi-kopi yang mulai dingin terdengar silih berganti.


Yogyakarta, 26 Desember 2019

Penulis: Dea

Comments