Masih Mending Batu







Pagi ini tawaku pecah setelah membaca kutipan dari salah satu bab dalam kitab Nasihat yang biasa dibawa para santri salaf. Modern juga, sih. Liberal juga, sih. Eh, orang-orang yang baca juga termasuk, dong.

Tawaku ini murni dan tulus, bukan karena maksud mengejek, merendahkan atau menyepelekan loh, ya. Semacam tawa yang disertai dengan anggukan sepakat saja, sih. Yaaa, bener juga. Semacam itulah. Dan uniknya ini muncul ketika aku membaca sebuah kitab yang bisa disebut sakral dan tanpa unsur guyon sedikit pun. Setidaknya begitu menurutku.

Biar kutuliskan beberapa tulisan di buku  tersebut ke sini, syukur-syukur kalau kamu sepaham denganku.

Jadi Ahnaf bin Qais pernah berdialog dengan seseorang, di mana ketika Ahnaf ditanya, jawabannya selalu saja seperti ini:

“Pemberian (Allah) apa yang paling baik, yang diberikan kepada seorang hamba?”
“Akal tabi’i (yang dibawa sejak lahir).”
“Jika tidak ada?”
“Budi pekerti yang mulia.”
“Jika tidak ada?”
“Teman yang dapat menolong.”
“Jika tidak ada?”
“Hati yang tabah.”
“Jika tidak ada?”
“Banyak diam.”
“Jika tidak ada?”
“Mati dengan segera.”

Yang membuatku tersenyum ada pada jawaban terakhir. Yaps “mati dengan segera.” Itu dalam banget maknanya menurutku. Iyalahh, sebagai manusia yang sudah diberi akal, kelebihan dari makhluk-makhluk lainnnya—kecoa dkk, rumput tetangga dkk, malaikat dkk—manusia diberi warna-warni oleh Tuhan untuk menentukan keputusan apa yang harus ia ambil.

Karunia sudah diberikan melimpah ruah, sudah dijelaskan panjang lebar di mana-mana oleh Tuhan. Tapi masih ada saja yang ngeyel Tuhan tidak adil, Tuhan tidak berpihak padanya.

Yaaa, itulah. Kalau kalian ketemu sama model orang begitu, tidak ada salahnya tuh nanya apa yang sudah diperbincangkan oleh Ahnaf. Kalau dia masih ngrasa, masih belum sadar, dan masih menganggap tidak punya apa-apa, tidak dikasih apa-apa, mending suruh mati segera saja.

Kalo beneran dia mati gimana? Misal orang-orang yang bunuh diri itu? Dan ternyata salah satu sebabnya dari percakapan Ahnaf tersebut? Jawabannya, dia tidak bisa mikir berarti. Baiklah dia mati saja. Ngapain hidup kalo tidak bisa mikir. Kayak batu. Mending batu, karena memang tidak punya pikiran, lah ini, manusia tidak bisa mikir padahal punya pikiran.

Heu heuuu.

Kayaknya aku yang ngelantur.

Ahhh, mbohh … pokoknya gara-gara kitab itu.

Hehe…

Penulis: Dea


Comments