![]() |
Sumber Gambar: Indozone.id |
“Pantulan membungkam dari
kaca yang telah pecah,” kata Hamish Ford dalam tulisannya Broken Glass by
the Road: Adorno and a Cinema of Negativity. Kalimat tersebut menurutnya
tepat untuk merespons ‘kegagalan’ atau bias nilai, versi Adorno, yang ada pada
suatu film. Subtansi filosofis pada film menjadi bagian yang semestinya tidak
diabaikan. Film Parasite memuat pesan mengenai kelas sosial yang diartikan
terlalu positif oleh beberapa kalangan.
Akhmad Muawwal Hasan
bahkan menyebut film itu sebagai tragikomedi kesenjangan sosial yang nyaris
sempurna. Bagian akhir film mengingatkan Hasan akan adanya kesalahan sistem
yang melahirkan kesenjangan sosial-ekonomi. Ia pun mendaulat sistem tersebut
sebagai tokoh antagonis sejati di film itu. Tentu yang dikatakan Hasan jauh
dari kata salah, mengingat bahwa suatu karya lahir dari kandungan kebudayaan.
Film yang diganjar Palme d’Or ini memang benar dari negara dengan kesenjangan
ekstrem.
Berbeda dengan Hasan, di
sini saya hendak membicarakan sisi lain dari film tersebut. Ford menyebut bahwa
refleksivitas mengafirmasi kejelian dari adegan-adegan sebagai satu-satunya
kebenaran, tentunya dengan tidak mengesampingkan realitas. Pada ulasan ini saya
menaruh perhatian pada titik-titik semiotik yang ada dalam beberapa adegan dan
bagaimana resepsi yang muncul ketika melihatnya. Sebagai tambahan, perbandingan
dengan film-film lain diukur berdasarkan konsepsi kreator terhadap kaum
marjinal dan kelas sosial, bukan berdasarkan genre.
Keberpihakan bukan untuk
kaum marjinal
Bong Joon-ho terhitung jeli
menggambarkan kontras dua kelas sosial dengan memilih detail hunian dan
fasilitas yang ada di dalamnya sebagai latar. Detail-detail tersebut mendukung
plot yang dikemas dengan sangat rapi pada film ini. Karakterisasi tiap tokohnya
nampak nyata. Pada bagian ini pula keberpihakan Joon-ho nyata terlihat.
Adegan pengantar konflik
adalah percakapan Ki-woo (diperankan oleh Choi Woo-shik) dengan temannya yang berujung
pada niatan untuk melakukan tindak penipuan. Disambung dengan bakat Ki-jeong
(diperankan oleh Park So-dam) dalam memanipulasi dokumen. Awal tindak kriminal
keduanya kemudian dibanggakan oleh Kim Ki-taek (diperankan oleh Song Kang-ho). Gambaran
ketekunan keluarga miskin tersebut dalam mematangkan skenario sampai pada
detail dialog untuk majikan mereka menimbulkan persepsi pejal dibenak saya,
mereka benar-benar parasit. Selain guyub keluarga miskin itu juga licik dan
licin.
Joon-ho memerlihatkan
tokoh Yeon-kyo (diperankan oleh Cho Yeo-jeong) yang polos dan peduli terhadap
anaknya sebagai kebalikan dari karakter keluarga miskin tadi. Tokoh penting
lain adalah Mr. Park (diperankan oleh Lee Sun-Kyun) digambarkan berwibawa,
disegani, dan sayang keluarga. Sisi negatif Park, jika bisa disebut demikian, hanyalah
kesensitifannya terhadap aroma dan kinerja anak buahnya.
Terdapat unsur semiotik
saat Kim dan dua anaknya bersembunyi di bawah meja sementara Park dan istrinya
tidur di sofa. Adegan ini menggambarkan pasangan suami istri yang harmonis dan
perhatian dengan anak hingga mereka rela tidur di sofa ruang keluarga, demi
mengawasi anaknya. Kebalikan dari gambaran positif tersebut, tiga tokoh
keluarga miskin menunggu waktu yang tepat untuk kabur selepas mereka berpesta
tanpa izin ‘menguasai’ rumah orang lain.
Tiga tokoh tersebut
mendapat kesempatan melarikan diri ketika majikannya tertidur pulas. Satu
persatu jalan tiarap menuju pintu keluar. Tiba pada giliran Kim, Park dan
istrinya terbangun, anaknya yang mendirikan tenda di halaman luar berbicara
melalui walkie-talkie. Posisi antara Kim dengan Park sangat dekat,
senter si anak dari kejauhan membuat ruang keluarga yang semula gelap jadi
temaram. Kim tidak gegabah dan memutuskan untuk diam di tempatnya bertiarap.
Tak lama berselang pasangan yang belum sepenuhnya terjaga itu kembali tidur dan
Kim beserta dua anaknya berhasil kabur.
Salah satu teman saya
bercerita bahwa adegan tersebut mengingatkannya pada tikus besar di kantornya.
Tikus itu tak bergerak sedikitpun saat teman saya tak sengaja melihatnya. Ketika
teman saya sedikit menjauh, tikus itupun lari dengan segera. Demikian itu gerak
refleks tikus. Kembali pada adegan film, dalam guyuran hujan malam hari tiga
orang tadi berlari pulang. Saat sampai mereka tergopoh menyelamatkan
barang-barang dari banjir yang telah memasuki hunian bawah tanah itu. Adegan
ini ditutup dengan tampilan kondisi gang yang sudah seperti selokan penuh
sampah.
Sampai di sini saya tak
hendak menyambungkan simbol tikus dengan selokan. Namun begitu, fakta bahwa
tikus bersarang di bawah tanah tidak dapat disangkal. Mereka akan berenang
keluar jika sarangnya kebanjiran.
Adegan semiotik lainnya
yakni ketika Kim meminta maaf kepada foto Park setelah ia jadi buronan. Ditampilkannya
adegan membuka penafsiran bahwa Kim jelas-jelas salah, sadar atau tidak
tafsiran ini akan menggerus empati kita terhadap kemiskinan Kim. Rasa yang
muncul selepas adegan tersebut adalah betapa tega orang membunuh jiwa lain yang
jijik terhadap bau, hanya jijik. Hasilnya adalah persepsi bahwa tidak ada yang
salah dengan Park dan keluarganya. Sungguh malang nasib mereka, hanya karena
hidung mereka sensitif dan kondisi ekonomi yang stabil mereka ditimpa musibah.
Sudut pandang Joon-ho dalam
menggambarkan masyarakat marjinal jelas berbeda dengan Quentin Tarantino dalam
film Django Unchained atau Steve McQueen dalam film 12 Years a Slave. Alih-alih
memunculkan empati terhadap masyarakat marjinal film Parasite justru menyoroti
bagaimana potensi mereka melakukan tindak kriminal. Hitam putih dalam film ini
terlampau mencolok lebih-lebih dengan gambar sampul sensor mata berwarna putih
untuk keluarga kaya dan hitam untuk tokoh-tokoh miskin.
Film lain dengan tema yang
sepadan mengenai relasi majikan dan asisten rumah tangga adalah Roma garapan
Alfonso Cuarón. Film yang memenangi 14 dari 28 nominasi ini diwarnai emosi
meski ditampilkan dalam layar hitam putih. Gambaran masalah yang dihadapi oleh
dua kelas sosial di dalamnya lebih seimbang dibanding yang ada dalam film
Parasite. Masing-masing kelas memiliki persoalan sesuai dengan keseharian dan
pekerjaannya. Cuarón menampilkan fragmen-fragmen keseharian tersebut menjadi
satu emosi yang utuh bahwa perbedaan kelas sosial tidak menghalangi kita untuk
saling mengasihi dan memanusiakan manusia.
Berbeda haluan dengan
Cuarón, Joon-ho menayangkan plot-twist yang runut dan menarik namun
menyerpihkan hubungan kelas sosial. Pecahan emosi dalam Parasite memiliki potensi
menimbulkan luka pada masing-masing kelas yang ada.
Kemiskinan yang
diperhinakan
Dua kali Ki-woo menanyakan
kepada lawan dialognya mengenai kepantasannya berada di lingkup sosial ‘lain’. Adegan
pertama adalah ketika ia diminta oleh temannya untuk mengajar bahasa. Sementara
adegan kedua yakni saat ia di kamar bersama ‘kekasihnya’ melihat pesta ulang
tahun yang tengah berlangsung.
Woo-shik berhasil
membawakan perasaan rendah diri dengan apik pada dua babak tersebut. Pada
bagian ini Joon-ho berhasil merepresentasikan secara sempurna kelindan antara
kehinaan dengan kemiskinan. Relasi antara mental rendahan dengan kemiskinan
memang nyata dalam struktur sosial dengan tingkat kesenjangan yang tinggi. Hal
ini telah diteliti oleh Robert Walker dan kawan-kawannya dalam artikel berjudul
Poverty in Global Perspective: Is Shame a Common Denominator?
Walker dkk. melihat
bagaimana perspektif psikologis masyarakat di tujuh negara menilai kemiskinan,
salah satunya adalah Korea Selatan. Perasaan rendah diri tersebut muncul
seiring dengan tidak terpenuhinya harapan dan ekspektasi. Seorang dapat saja
menukar nilai kemanusiaanya sekadar demi
materi. Sisi negatif ini menurut Walker dkk. muncul karena adanya stigma dari
struktur sosial terhadap masyarakat miskin. Ide kampanye anti-kemiskinan pada
negara-negara tersebut juga turut melebarkan jarak antar kelas. Apalagi jika suatu
struktur sosial mengamini bahwa kesuksesan berbanding lurus dengan penghasilan,
kemiskin akan selalu dianggap sebagai kegagalan.
Mengenai ekspektasi,
Joon-ho menutup film Parasite dengan mimpi muluk tokoh Ki-woo. Apa yang
ditampilkan Joon-ho pada adegan ini jelas bukan gambaran ekualitas yang
diharapkan Amartya Sen. “Kemiskinan bukan semata-mata rendahnya pendapatan
melainkan tercerabutnya kemampuan untuk maju dan berkembang,” kata Sen dalam On
Economic Inequality. Adegan pamungkas tersebut hanya menampakkan
angan-angan kosong yang kerap dimiliki kaum marjinal. Karya Joon-ho kali ini
memang tragis, lebih-lebih karena ia tega memberinya judul Parasite.
Penulis: MFR