Coba Cermati Reaksimu Dulu

 
Dan tiba-tiba semuanya adalah jarak






It’s not what happens to you. But how you react to it that matters
(Epictetus)

Satu hal yang setibanya muncul di benakku ketika membaca kutipan ini adalah wabah covid-19. Iya, virus yang baru saja diklaim oleh Donald Trum, Presiden Amerika, sebagai virus china tersebut.

Seperti sudah kita lihat sendiri, beberapa pekan ini banyak orang di jagat bumi panik—untuk tidak bilang semuanya. Jalan-jalan mulai sepi. Kampus diliburkan. Para mahasiswa belajar secara daring. Begitu pun dengan sekolah dan hampir semua kegiatan di luar dibatasi. Beberapa Negara, termasuk Indonesia menghimbau kepada semua masyarakatnya melakukan semuanya di rumah untuk meminimalisasi penyebaran virus. Walhasil, kepanikan pun menjadi harga yang harus dibayar.

Jika kita melihat kejadian ini dari sudut pandang Epictetus tadi—meski hanya sepotong sih—maka dalam menyikapi covid-19, kita penting untuk tidak terpaku pada apa yang terjadi pada kita, tetapi juga memperhatikan bagaimana reaksi kita menghadapinya. Maksud dari menghadapi di situ termasuk sikap kita terhadap beragam berita yang beredar di semua sudut media sosial kita.

Dengan ungkapan lain, bersikap berlebihan dalam mewanti-wanti covid-19 jugalah tidak efektif. Pasalnya, bicara berlebihan maka yang ada di dalamnya adalah panik. Jika seseorang sudah panik, maka ia akan kehilangan tiga hal di waktu bersamaan, yakni kejernihan pikiran, kebijakan, dan segala ingatan berkaitan dengan pola hidup sehat—jika kasusnya seperti ini. Jadi, ketika reaksi kita dalam mewanti-wanti berlebihan, maka yang ada malah kontra-efektif.

Masih tentang Epictetus, saya tertarik untuk mengutip narasi dari Setyo Wibowo dalam bukunya Ataraxia ketika mengulas filsafat Stoic [satu jenis filsafat yang beririsan dengan pemikiran Epictetus]. Adalah sebagai berikut:

Biasanya, di depan realitas, kita membuat representasi yang ditambahi dengan penilaian, misalnya 'tragis'  atau 'betapa malangnya', dll. Epictetus mengajak supaya jiwa kita berdiskusi dengan dirinya sendiri untuk akhirnya "tidak melewati batas fakta-telanjang bahwa yang ada di depannya adalah sebuah kematian makhluk yang memang bisa mati. Titik. Hanya kepada fakta seperti itulah (representasi adekurat) jiwa mesti memberikan persetujuannya. Jika jiwa justru mengiyai representasi yang salah (artinya, representasi yang ditambah-tambahi penilaian tragis, malang, dan seterusnya), jiwa akan menyasar-nyasar dalam mengikuti hasrat dan dorongannya untuk bertindak. Hanya dengan mengikuti representasi ade-akurat, kita bisa mengarahkan dengan benar hasrat dan impuls kita.

Ekstrimnya, bila saja anak kita mati, maka kita mesti berlatih dengan serius. Orang yang kehilangna anaknya, biasanya spontan merasa sedih atau marah. Stoikisme mengajukan pertanyaan-pertanyaan: anak itu siapa ? Anak itu apa? Mengapa kamu sedih? Apakah karena kamu merepresentasikan anak itu sebagai "milikmu"? Benarkan dia milikmu? Ataukah dia sebenarnya pemberian alam? Lalu,  sebagai pemberian alam, anak itu apa? Bukankah dia juga manusia seperti kita-kita juga? Dan manusia sudah sewajarnya pasti mati. Hanya soal antrean saja siapa yang lebih dulu mati, dia, kita, kamu atau anakmu. Jadi, kalau manusia berkodrat mortal (bisa mati), seorang anak juga bersifat mortal.

Membaca dua paragraf ini, saya merasa ada semacam kesesuain dengan apa yang tengah kita hadapi sekarang. Satu aspek, memang wajar orang-orang takut mati. Tapi pada aspek lainnya, mengapa orang-orang jarang sekali memikirkan, jika yang namanya makhluk, dia pasti akan mati. Yang namanya hidup, pasti ada sesuatu yang membuat gelisah dan sebagainya? Cobalah sesekali masuk ke relung ini.  

Atau bisa juga, sembari bosan di rumah, kita iseng menanyakan (pada diri sendiri saja), sebenarnya apakah iya covid-19 muncul dari pasar Hewan? Apa iya covid-19 vaksinnya belum ada? Siapa yang paling dirugikan dari wabah ini? Siapa yang paling diuntungkan? Dan sebagainya.

Adapun untuk jawabannya, tidak perlu dipikir atau kalau memang mau memikirkannya, tidak juga masalah, tetapi yang jelas simpanlah itu sendiri. Dan yang lebih jelas lagi, yang paling utama dari beberapa tautan ide di muka adalah betapa mendasarnya kita untuk bersikap tenang dalam menghadapi berondongan informasi mengenai covid-19. Bersikap tenang adalah bagian dari menjaga kondisi tubuh untuk tetap sehat dan tidak rentan virus.

Bisa jugalah pakai prinsip begini: tak usah resah, semua manusia pasti mati. Hanya menunggu gilirannya saja. Kita tak memiliki apa-apa. Diri kita pun bukan milik kita

Jadi, apakah kita tidak boleh khawatir? Tidak juga. Khawatir itu natural. Khawatir tentu boleh, tetapi jangan sampai di level terlalu. Terlalu khawatir berarti panik dan panik, lagi-lagi, tidak baik buat kesehatan baik fisik atau rohani. Bahasa lainnya, kalau kita khawatir coba imbangi dengan ketenangan, di samping tetap menjaga kebersihan diri dan lingkungan.

Dengan mencoba mencermati bagaimana reaksi kita sendiri, kita akan lebih terhindar dari sikap yang justru malah merugikan orang lain, seperti panic buying dan semacamnya. Jadi begitu.  


Dea
Barista di GadingCoffee

Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin