Jendela Kelas Corona, Sum



Selamat malam, Sumini.

Mungkin malam ini sudah sempurna untukku menceritakan semuanya padamu, setelah sekian hari aku menyimpannya sendiri, di sini. Mungkin malam ini sudah waktunya, bersama sepinya malam aku ingin sekali kau mendengar ceritaku.

Demi malam yang paling malam, Sumini, jalanan terlihat sangat sepi, lebih sepi ketimbang kabarmu selama ini. Apa kau sudah membaca surat kabar hari ini? Aku rasa itu tak penting. Ketimbang hanya membuat dirimu panik, cemas dan khawatir, lebih baik kau puasa membaca surat kabar jika yang kau terima hanya siksa-siksa saja.

Benar kata beberapa orang yang sering seliweran di layar ponselku, mereka memilih untuk tak membaca surat kabar yang mengajak warga(net) bergentanyangan. Tak menjadi masalah jika yang bergentanyangan adalah raganya, itu baik, hitung-hitung sembari berolahraga mengeluarkan keringat. Tapi jika yang bergentanyangan hanyalah pikiran dan ketakutan mereka, apakah itu tidak hanya membuat orang-orang akan semakin menggila? Lihat saja status-status media sosial, apa pun itu, siapa yang tak menampilkan kegilaannya selama kurang lebih mereka terpaksa mengurung diri di rumah dalam jangka waktu 14 hari? Aneh, kan? Gilaaa, kan?

Sumini ….
Sejak wabah Covid-19 ini menjamur di bibir-bibir orang, kau tahu, apa yang terjadi di sini, di kampungku? Semua orang geger tak karuan, banyak lorong-lorong jalan penuh dengan tulisan lockdown, lockdown dan L O C K D O W N. Tanpa mengesampingkan kepanikanku memikirkan dirimu, aku tetap berlalu di atas motorku, membaca setiap lorong-lorong yang tertutupi coretan dinding. Bukannya aku tak suka membaca tulisan-tulisan itu, akan tetapi apa yang diperoleh dari semua itu selain hanya menunjukan ketakutan-ketakutan pribadi, agar orang di sekitar juga merasakan ketakutan yang sama.

Suminiku yang anggun, aku pikir, apakah tidak sebaiknya kita mengusulkan ke pak KaDes agar membelanjakan sebagian anggaran desa untuk kasus ini, itu lebih baik, kan? Semisal, di setiap pos kamling tersedia hand sanitizer, thermogun, masker dan disinfektan, ini akan lebih terasa seperti rumah, kampung halaman dan handai tolan, ketimbang hanya sekadar tulisan lockdown yang menjadi trendi akhir-akhri ini, apakah kewaspadaan memaksa mereka harus seperti itu? Lagi pula, untuk siapa tulisan itu ada? Untuk saudara mereka? Tetangga? atau jangan-jangan Covid-19 sanggup membaca  tulisan mereka itu? Tetapi, lagi-lagi, semua itu hanya sebatas angan-angan saja.

Suminiku yang baik, untuk pertama kalinya aku ingin sekali kau mendengar cerita ini, kau tak bosan, kan, mendengarku bercerita panjang lebar sampai berbusa-busa? Asal kau tahu, malam ini aku ditemani Luluk di sampingku, kucing cantik yang berambut lurus-pedek, tidak ikal. Meski kadang ia nakal, tapi tak jadi apa.

Suminiku yang baik, cerita ini mungkin akan bertele-tele, menceritakan kecemasan orang-orang, tak lupa juga menceritakan kecemasanku sendiri ketika ingat dirimu.

Suminiku yang baik, aku sempat bertanya-tanya akhir-akhir ini, ketika kau merasakan tubuhmu lemas, apakah kau sempat terbersit khawatir, jangan-jangan tubuhmu telah digerogoti Covid-19. Aku pun pernah merasakan itu beberapa hari yang lalu, dan ternyata yang merasakan itu bukan hanya aku, teman-teman di sekitarku juga merasakan hal yang sama. Lalu aku mencoba menjernihkan pikiranku, sebenarnya aku hanya kekurangan meminum air putih, tidak lama kemudian itu benar terjadi, ini hanya ketakutan belaka.

Sumini, jangan-jangan, apa pun yang akan terjadi atau bahkan telah terjadi, adalah ketakutan sebab pandemi Covid-19, itu semua karena kekhawatiran, kecemasan, dan kepanikan kita yang berlebihan. Kau pasti sudah mendengar rahasia umum, kan, jika alat untuk mendeteksi Covid-19 masih simpang-siur. Lalu dengan apa mereka menjustifikasi keberadaan Covid-19 ini? Bukankah ini sama sulitnya jika kau bertanya padaku tentang bagaimana cintaku padamu? Sedang, aku dan kamu tak pernah memiliki tolok ukurnya. Sial!!!!

Esok, jika Covid-19 ini benar-benar pergi meninggalkan kita semua, aku berharap kita akan tetap ingat dan sadar, bahwa kematian adalah keniscayaan, bukan sebatas pemanis bibir (abang-abang lambeh) belaka.

Sumini, aku tidak tahu sebenarnya Covid-19 ini apa? Atau aku terlalu santai-abai menyikapinya, sebagaimana aku menyikapi dingin sikapmu selama ini? Aku mengingat pesan salah seorang walisongo, beliau adalah Sunan Drajat. Lima belas tahun yang lalu, guruku melemparkan pertanyaan kepada para muridnya, termasuk aku; apa artinya, sak jeroning suko kudu eling lan waspodo? Katanya. Semua murid yang ada di dalam kelas menjawab seadanya, sampai akhirnya guruku pun menjawabnya sendiri. Aku masih sangat ingat sekali guruku itu berkata; pesan Sunan Drajat itu, dapat kita artikan secara bebas; dalam situasi dan kondisi apa pun kita harus tetap waspada, baik susah maupun senang, sedih ataupun gembira, dalam situasi apa pun, kapan pun, bahkan situasi seperti saat ini juga termasuk di dalamnya. Hanya saja, aku masih tak yakin dengan sikap kewaspadaan yang aku lihat hari ini yang terasa begitu berlebihan, bahkan sangat berlebihan, yang paling mengerikan dari semua itu, aku tak ingin menjadi asing di kampungku sendiri, Sum. Apalagi di depanmu.

Dalam ceritaku yang terlihat sempoyongan ini, Sum. Aku tetap ingin menyelipkan pesan sederhana padamu, bahwa kita harus tetap berhati-hati dan santai, alias; stand kalem, gaya kaliren, yang penting pasti. Malam selalu bersembunyi di ketiak petang, ayam jago sudah berkelakar di samping betinanya, aku tahu, A K U merindukanmu, Sum, tapi lorong-lorong jalan itu masih tersumbat oleh coretan dinding, aku tak punya alamat untuk merebahkan rinduku, sudikah kau menjadi sepiku? S U M I N I.

ALI R
Manajer GadingCoffee


Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin