Suara Perempuan dalam Gelap

Sumber Gambar: @broken_isnt_bad (instagram)



Aku juga tidak tahu bagaimana ini bermula. Yang kuingat hanyalah malam itu aku pulang dalam keadaan mabuk, sempoyongan di jalanan berusaha menggapai kamar sewa dengan selamat, tertatih dalam keadaan mual, dan entah pukul berapa aku akhirnya tiba di depan pintu kamar, bergegas merogoh saku dan tanpa menyalakan lampu aku tersungkur tak berdaya di atas kasur tipisku.

Sebuah suara menghampiri, lalu datang suara lain, kemudian suara yang lain lagi hingga aku benar-benar merasa terganggu dan tak dapat tidur. Mataku bisa tetap kujaga dalam keadaan terpejam tapi telingaku sebagaimanapun kubekap, suara-suara itu tetap muncul, nyata dan seperti memelas minta didengarkan. Aku tidak berusaha meraba siapa di sampingku, tidak juga berusaha mencurigai siapa yang telah masuk ke kamarku tanpa meminta izin dan dengan kurang ajar mengganggu waktu tidurku. Kubiarkan lampu kamar tetap padam dan kurelakan diriku mendengar keluh kesah suara perempuan yang sejak tadi menolak diam itu. Akan kudengarkan kalian, tapi tolong bergantian. Kubisikkan itu di dalam hati dan mereka benar-benar melakukannya, kini hanya satu suara yang fokus kusimak.

Suara itu terisak-isak ketika sudah panjang lebar bercerita. Kemudian hening, ia diam tanpa bersuara. Dan tiba-tiba aku yang menangis, ikut merasa terluka pada penderitaan yang ditanggung si sumber suara. Aku kenapa? Aku boleh saja jadi pendengar, tapi tidak boleh terhanyut begini. Kutekan dadaku yang sesak namun suara tangisanku justru pecah memenuhi ruangan. Suara tangisanku yang terdengar memilukan itu ternyata mengundang rasa kasihan mereka. Kini aku yang bercerita, dengan suara yang tersengal dan terseok, dan mereka diam saja menyimak.

Kuanggap malam itu bagaimana semua ini bermula. Terhitung sudah tiga bulan berlangsung sejak pertama kali aku menjadi pendengar setia tanpa memberikan komentar apa pun, juga sebaliknya, aku akan bercerita setelah itu tanpa mengharapkan respon apa pun. Kami sama-sama hanya butuh telinga untuk menampung. Setelah segala hal ditumpahkan, kami akan sama-sama tertidur menjelang fajar, dan aku akan terbangun tanpa dapati seorang pun di sisiku.

Aku sempat terlintas ingin satu kali saja tidak mematikan lampu kamar menjelang tidur, aku ingin tahu bagaimana rupa para perempuan yang selalu datang ke kamarku menjelang aku terlelap. Tapi urung kulakukan, aku belum benar-benar siap berjumpa dengan mereka, dan sepertinya aku didera ketakutan yang lain, semacam kekhawatiran jika ternyata berjumpa mereka dan semua berubah seketika itu. Jujur saja, aku menyimpan semacam ekspektasi luar biasa tentang mereka di benakku, meraba dari suaranya yang lembut dan tenang, wajar aku berharap paras mereka sememesona bidadari.

Kenyataannya aku telah nyaman dengan keadaan ini. Ketika malam-malam menjelang tidurku diusik oleh suara yang tak kupahami bagaimana rupa yang berbicara, aku bahkan selalu berdebar tiap kali merebahkan badan, penasaran sekaligus antusias kisah apalagi yang akan kudengarkan malam ini. Pada mula-mulanya memang hanya seputar keluh kesah dan segala yang menekan batin yang selalu diceritakan padaku, begitupula aku pada mereka. Namun kemudian di malam-malam yang entah ke berapa, segala hal kami bagikan, entah sedih, menggelitik, pilu atau horor sekalipun.

Semua terasa nyaman dan nyaris membuatku kecanduan. Kebiasaan minumku tidak lagi sesering biasanya tidak juga selama dan sebanyak biasanya. Aku mengatur diriku agar minum sedikit saja dan bergegas pulang bahkan sebelum waktu menunjukkan pergantian hari. Aku merasa ada yang sedang menunggu kepulanganku dan aku justru berbahagia karena itu. Meski kenyataannya tidak ada yang menjelma di hadapanku ketika membuka pintu kamar, tidak ada aroma lain dapat kutangkap selain yang menguar dari tubuhku sendiri, tidak ada tanda apa pun bahwa ada orang selain aku yang mengisi ruang kamar.

Seharusnya aku biasa saja dengan kejutan itu, setiap malam aku juga selalu pulang dengan perasaan antusias karena akan melanjutkan perbincangan menjelang tidur tanpa perlu saling bertukar senyum terlebih dahulu, tapi malam ini terasa berbeda. Perasaan hampa dan kecewaku sulit kubendung. Aku berharap saat membuka pintu kamar, seseorang menyambutku dengan tangan terbuka, memelukku kalau perlu, membisikiku kalimat manis, dan aku bisa bercerita hingga menangis di pundaknya. Nyatanya semua sama saja, kosong sekali kamar ini.

Aku sempat berteriak memanggil-manggil mereka, kusebutkan nama perempuan siapa saja, toh kami memang tidak pernah saling bertukar nama. Aku berharap mereka datang, tapi jangankan muncul di hadapanku, bersuara pun mereka tidak. Kemudian aku teringat Alena, perempuan yang sempat hilang dari ingatanku beberapa bulan belakangan karena kumiliki teman baru yang entah nyata atau sebenarnya jelmaan. Malam ini saatnya menghubungi Alena, menyambung kembali hubungan kami yang sempat terputus begitu saja.

Kau bisa datang ke tempatku malam ini? Sepertinya aku rindu sekali.

Sebuah pesan kukirim melalui whatsapp dan tanpa menunggu beberapa menit langsung mendapat balasan yang membahagiakan hati. Aku akan ke sana, balas Alena yang seketika membuatku melonjak kegirangan. Akhirnya aku akan mengobrol dengan seseorang yang berwujud.

Alena datang setengah jam kemudian dengan mengendarai motor miliknya. Aku menunggunya di depan pintu yang bahkan sebelum mengucapkan sepatah kata pun sudah langsung kuterjang memeluknya.

“Kamu tidak rindu?” Langsung kutodong Alena dengan pertanyaan yang jawabannya justru menyerangku.

“Ngomong apa kamu? Kamu tidak lihat panggilanku di ponselmu? Belum lagi pesan-pesanku yang jarang kamu buka, sekalinya dibuka tidak pernah dibalas. Aku kok heran kenapa tiba-tiba malam ini kamu bilang rindu setelah sekian lama menghilang?”

“Heh, santai. Aku jarang memeriksa ponsel belakangan ini, aku sedang ada kesibukan lain. Tapi aku dimafkan, kan?”

Alena hanya mengangguk, tapi itu sudah melegakan. Aku dimaafkannya dan malam ini akan kuhabiskan dengan bercerita banyak hal padanya. Banyak hal ya, bukan semua hal. Perihal perempuan-perempuan yang selalu mendatangiku sebelum tidur tidak akan kuceritakan. Biarkan saja jadi rahasiaku dengan mereka.

“Tapi kamu baik-baik saja, kan?” Pertanyaan itu meluncur dari mulut Alena sesaat sebelum melepaskan pelukan eratku yang nyaris membuatnya tak dapat bernapas.

“Iya, tapi aku punya banyak hal yang ingin kuceritakan. Kamu mau tidur di sini, kan?” Lalu kutarik tangannya dan mendudukkan dia di kasurku. Tanpa meminta pendapatnya aku bergegas mematikan lampu dan siap menumpahkan semua kejadian tidak penting yang kualami belakangan.

“Kok dimatikan lampunya?” Kukira dia tidak akan protes nyatanya iya.

“Biar aku bisa bebas bercerita tanpa malu karena kamu fokus memperhatikan wajahku.” Selorohku seenaknya. Padahal bukan itu intinya, aku ingin ketika aku bercerita pada Alena, para perempuan itu juga hadir mendengarkan.

“Hemm, kukira kamu sudah baik-baik saja, ternyata semakin aneh. Tunggu sebentar, aku mau ke parkiran mengambil sesuatu di motor.” Lalu ia bergegas keluar tanpa meminta lampu dinyalakan. Kalaupun dia meminta tidak akan kuturuti.

Sementara Alena di parkiran, kusempatkan memberitahu para teman perempuanku agar malam ini menyimak saja. Mereka tidak boleh menginterupsi percakapanku dengan tuturan mereka. Sebuah suara mengiyakan dan kuanggap semuanya sepakat.

Tiba-tiba Alena muncul di depan pintu, tanpa aba-aba menyalakan lampu dan aku terkaget dibuatnya. Dalam keadaan kelimpungan mengerjapkan mata yang silau karena langsung melihat cahaya, aku gelagapan mencari para perempuan yang beberapa detik lalu masih di sini. Tidak ada, ke mana mereka pergi.

Melihatku uring-uringan begitu, Alena bergegas menghampiriku. Suaranya terdengar begitu khawatir.

“Kamu kenapa, Dea? Kamu baik-baik saja, kan? Apa selama ini kamu masih sering uring-uringan begini, hah? Ini aku tadi ke parkiran untuk mengambil obat tidurmu yang beberapa bulan bahkan tidak pernah kamu tagih lagi untuk kuantarkan. Kukira kamu sudah sembuh dari penyakit cemasmu …”

Aku tidak mendengarkan lagi kalimat Alena selanjutnya, aku sibuk menata perasaanku, aku sibuk menyusun kembali pikiranku, ingatan-ingatanku.

Aku juga tidak tahu bagaimana ini bermula. Tapi kurasa aku sedang salah paham pada diri sendiri. Aku terlalu menikmati rasa sakitku sampai tidak lagi menganggapnya sebagai rasa sakit. Malam ketika aku kembali dalam keadaan mabuk berat dan dapati diri tak dapat terlelap karena suara berisik di dalam kepala, aku tidak lagi berusaha meraih obat tidur agar bisa terlelap. Aku dan diriku sibuk berbincang hingga subuh.
***

ALENA



Comments