Manusia-Manusia Syukrillah




Setiap pembaca tentu memiliki proyeksi masing-masing yang muncul di pikirannya ketika membaca surah al-Fatihah. Begitu pun dengan ayat yang paling disukai dan pada kesempatan ini, entah dari mana munculnya, hatiku serasa tertambat pada ayat kedua surah al-Fatihah, yaitu alhamdulillahi rabb al-alamin.

Ketika aku bertanya pada beberapa teman tentang makna sekilas dari ayat tersebut, mereka sepakat bahwa surah 1:2 berdiskusi tentang syukur. Adalah bagaimana kita dianjurkan untuk sama sekali bersyukur kepada Allah sang Tuhan semesta. Namun, pernah tidak kita bertanya mengapa—semisal maknanya memang begitu—Alquran menggunakan diksi Alhamdulillah? Kenapa tidak langsung memakai syukrillah?

Di antara kita barangkali ada yang akan merespons begini, ya sebab maknanya sama, jadi kalau sudah sama, mengapa harus dipersoalkan. Pada satu sisi, bolehlah kita memegang pandangan tersebut, tetapi pada sisi lainnya, dengan berpijak pada asumsi bahwa tidak ada satu pun kata dalam Alquran yang merujuk pada makna yang sama, kurasa antara alhamdulillah dan syukrillah berbeda.

Secara bahasa alhamdulillah berarti pujian yang semata-mata ditujukan pada Tuhan. Pun tuhan di sini adalah Tuhan Allah. Satu-satunya tuhan yang bertanggungjawab atas apa saja yang ada di dunia. Adapun syukrillah lebih pada makna terima kasih. Berterima kasih pada Allah. Apakah terima kasih dan memuji bisa disebut sebagai kata yang sama?

Kalau sama persis kurasa tidak, tetapi tertaut, iya. Keduanya berada dalam satu lingkaran. Titik kaitnya adalah nikmat Allah, seperti yang disebutkan dalam surah Ibrahim (14):6. Karena nikmat yang sudah diberikan, kita penting untuk berterima kasih dan juga memujinya. Rasa terima kasih dan pujian beririsan di sini.

Lalu bedanya? Khasnya terletak pada nikmat yang diberikan. Syukrillah lebih ke ungkapan terima kasih lantaran kita sedang mendapatkan kesenangan. Saat mendapatkan hero di Mobile Legend yang sudah lama sekali kita nanti misalnya, di posisi ini ketika kita berterima kasih pada Tuhan, maka namanya syukrillah. Sebab kita mendapatkan nikmat kesenangan, akhirnya kita berterima kasih. Jadi, di level syukrillah—jika boleh berpandangan hierarkis—terima kasih tidaknya kita tergantung pada apa yang kita dapat. Logikanya adalah untung rugi.

Alhamdulillah berbeda. Alhamdulillah sudah melampui logika tersebut. Mau seperti apa pun situasinya, kita akan tetap berterima kasih pada Tuhan. Mau kita kalah perang di mode rank, padahal kita sudah beli skin paling mahal, atau pun menang telak dengan perbandingan 53x2, kita akan tetap berterima kasih. Kok bisa begitu? Sebab poros alhamdulillah bukanlah untung rugi, tetapi Tuhan itu sendiri. Pun, karena itulah kurasa mengapa Alquran memakai istilah alhamd dalam surah al-Fatihah (1):2 yang sejak dari segi linguistiknya sudah berarti pujian pada tuhan.

Alhamdulillah sebagai mental

Lebih jauh, karena sudah kadung membicarakannya secara hierarkis, barangkali akan menarik jika kita masuk ke pembahasan lebih lanjut dari distingsi keduanya, yaitu alhamdulillah sebagai mental. Berpijak dari pandangan di muka, kita bisa membedakan mental manusia menjadi dua: mental syukrillah dan mental alhamdulillah.

Syukrillah sebagai mental adalah kondisi manusia yang belum bisa berpijak pada pikirannya sendiri. Ia masih menggantungkan dirinya pada entitas atau hal lain di luar dirinya. Manusia di level syukrillah kerap bingung dengan sendiri. Terombang-ambing dengan rimba pendapat, rimba tren, dan sebagainya yang berkeliaran di beranda semua media sosialnya. Ciri sederhana dari manusia syukrillah adalah gemar ikut-ikutan. Rentan dikuasai. Dan mudah dimanfaatkan dengan tanpa tahu bahwa mereka sedang di posisi itu. Walhasil, begitulah mengapa ketika harus berterima kasih saja, mereka menunggu mendapatkan kesenangan—bedakan dengan kebahagian loh ye—yang egois.

Kemudian, alhamdulillah lebih pada kondisi mental yang sudah stabil. Mereka yang sudah bisa memijakkan segala pilihan dan aktivitasnya pada hasil perenungan dan pemikirannya sendiri adalah orang-orang yang bisa kita kategorikan sebagai manusia bermental alhamdulillah. Biasanya, jalan yang ditempuh—atau dipilihkan secara natural oleh semesta—oleh manusia alhamdulillah adalah jalan sunyi. Jalan yang hanya akan sedikit saja mendapatkan perhatian dari dunia populer. Hanya saja (sebenarnya kurang pas kalau memakai istilah ini), mereka menempuhnya dengan penuh kesadaran.

Beberapa keraguan pasti ada, tetapi mereka selalu mencoba untuk mengatasinya. Upaya untuk mengatasi seperti ini bagaimanapun adalah nilai plus tersendiri dibanding manusia bermental lain yang sama sekali tidak punya hasrat untuk mengambil inisiatif dan sekadar memilih menjadi pengikut tren yang bagaimana tren itu sendiri muncul saja mereka tidak tahu. Jadi, dari kecenderungan ini, manusia alhamdulillah ketika memuji Tuhannya, tidak lagi butuh apa pun kecuali Tuhan atau pujian atas Tuhan itu sendiri.  

Comments