Tamu Tengah Malam




Selembar foto usang bergambar perempuan muda masih lekat dipandanginya. Hampir sejam berlalu matanya tertuju di sana, menatapi wajah sang perempuan, mengingat-ingat segala hal tentangnya. Barangkali sepuluh tahun berlalu ketika foto tersebut diambil dan ingatannya seketika merembeskan gerimis, membasahi kulit wajahnya yang kencang.

Kini tangannya ikut bergetar, foto di tangan hampir saja terjatuh. Lalu dengan sigap digenggamnya kembali kuat-kuat. Setetes airmata jatuh tepat pada lembaran foto itu, tepat mengenai wajah si perempuan muda.  Age sigap mengusap air yang masih ada di sana persis seperti sedang benar-benar mencoba hapus airmata di wajah seorang perempuan. Ia tidak sanggup lagi, ingatan-ingatan begitu kejam menyiksa perasaannya.

Betapa Age sangat jelas mengingatnya, menjadi saksi kejadian di malam buta saat perempuan muda itu terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tuduhan yang tidak pernah diduganya, pun tidak pernah terbersit untuk dilakukannya.

Si perempuan muda berlari tanpa alas, malam buta menapaki rimbun pohon sawit, kakinya yang lelah, juga tertancap beberapa duri pelepah sawit, tidak membuatnya gentar untuk sejenak beristirahat. Tidak boleh menyerah atau besok pagi benar-benar akan dilemparkan warga dari puncak air terjun, mengendap di dasar sana bersama batu besar yang diikatkan pada tubuh. Selama-lamanya. Ia sudah pernah menyaksikan kejadian serupa, dengan tuduhan yang sama. Meggoda suami orang.

Maka demi tak menjadi korban kebengisan warga selanjutnya, si perempuan muda harus mengambil tindakan. Kabur adalah satu-satunya pilihan yang ia punya. Meski dingin menusuk sendi ia tetap merasa berterima kasih. Cuaca yang membekukan jadikan warga memilih berselimut di dalam rumah, lelap di kamar mereka. Hal ini membuat usaha pelarian sedikit lebih mudah sebab hanya perlu menghindari beberapa orang yang berjaga.

Sebuah alamat yang tertulis pada selembaran sudah dikantonginya. Alamat tersebut yang akan ditujunya nanti ketika telah tiba di terminal. Tidak, tidak ada kendaraan yang akan langsung mengantarnya pada alamat tersebut, ia perlu berganti mobil sebanyak empat kali untuk tiba di desa yang dimaksud, perlu berjalan kaki sejauh tiga kilometer untuk benar-benar sampai di rumah yang diinginkan. Si perempuan muda mengangguk paham, menyanggupi segala risiko yang akan dilaluinya agar bisa aman. Penjelasan sang kakak adalah satu-satunya petunjuk yang harus selalu diingatnya dan itulah malam mencekam pertemuan terakhir mereka berdua.

Dini hari yang gigil rupanya tidak juga ampuh membekukan airmata. Si perempuan muda di tengah pelariannya tidak henti-henti menangis. Batinnya tidak terima, namun ia tidak berdaya. Tidak ada yang bisa berdaya di hadapan massa yang suci itu, bahkan kehidupan itu sendiri pun tidak sama sekali. Untuk menyelamatkan nyawa yang masih sangat dicintainya itu, ia telah melakukan hal yang benar. Meninggalkan kampung halaman beserta segala hal yang ada di sana.

Age semakin diresapi sedih. Bibir tipisnya ikut bergetar sebisa mungkin menahan tangis namun tetap saja merembes bahkan semakin meruah. Selembar foto usang itu kini diletakkannya di atas meja, khawatir ikut kuyup oleh airmatanya yang sulit dibendung. Sejenak ia menenangkan diri, berusaha tidak mengerti kenapa harus seterhanyut itu hanya karena selembar foto.

Ia tahu benar jawabannya, ia hanya tidak ingin berlarut-larut. Maka ia mencoba berjalan ke luar kamar, mencari anaknya yang berusia delapan tahun tapi tidak ada jawaban. Ia sejenak lupa kalau anak perempuannya sedang berada di sekolah. Setelah menyadari itu, ia pun memilih kembali ke kamar, memberanikan diri meraih foto yang tadi digeletakkannya di meja, berharap kali ini tidak lagi terhanyut saat melihatnya. Tapi toh ia tidak dapat mengatur perasaannya. Kini ia bahkan seperti melihat dengan jelas adegan tersebut diputar di hadapannya. Perempuan muda mengetuk pintu rumah seorang warga di malam hampir pukul sepuluh.

Seorang lelaki tua terseok membuka pintu. Matanya yang sayu terlihat jelas masih menahan kantuk ketika di hadapannya seorang perempuan muda nyaris terjatuh tiba-tiba membuat mata sayu itu membelalak. Heran, kaget dan takut yang dirasakannya.

“Kamu siapa?” Akhirnya kalimat itu yang pertama keluar dari mulut lelaki tua.

“Saya adiknya Asia, Pak.” Perempuan muda berusaha menjawab meski dengan suara yang begitu lemah. Ia kelelahan, kesakitan dan kelaparan.

Lelaki tua itu paham, ia tahu nama yang baru saja disebutkan si perempuan muda. Asia adalah mantan pekerja di rumahnya yang tiga tahun lalu sudah tidak dipekerjakan setelah istrinya meninggal karena kanker.

Sudah lewat pukul sepuluh malam. Rumah mewah itu hening dan hanya denting jam pada sebuah tembok yang berulang terdengar. Kini si perempuan muda telah memiliki cukup tenaga untuk melanjutkan hidup hingga hari-hari esok. Lelaki tua yang duduk di hadapannya itu sudah berbaik hati menyuguhkan nasi, ikan goreng dan sayur bayam yang semuanya sudah dingin namun tetap dilahap habis olehnya.

“Jadi apa yang membawamu ke sini? Mengapa pakaianmu lusuh begitu dan tubuhmu sangat kacau?” Lelaki tua itu akhirnya mengulik kisah tamu tengah malamnya tersebut. Meski telah tengah malam, ia enggan melanjutkan tidur dan enggan menawarkan kamar untuk si perempuan muda, sebelum terjawab segala yang menggunung di kepalanya.

“Saya kabur dari kampung, Pak. Warga mengancam akan menghukum mati saya pagi tadi kalau saja saya masih tetap di kampung. Mereka menganggap saya telah menggoda salah seorang suami warga di sana.”

“Tapi kamu benar melakukannya? Atau hanya dituduh?”

“Saya dituduh, Pak. Saya tidak sedikit pun pernah terlintas untuk melakukan hal seperti itu. Tidak mungkin, Pak.” Lalu tiba-tiba ia menangis lagi, si perempuan muda tak sanggup menahan sesak di dadanya. Kedua punggungnya sampai ikut begetar.

“Sini saya antarkan ke kamar, kamu istirahat saja dulu. Tenangkan perasaanmu. Di kamar bekas kakakmu tidur dulu masih ada pakaiannya yang tidak dibawa pulang sepertinya. Kamu berganti pakaian dengan itu saja, ya.”

Perempuan muda itu mengangguk lalu mengikuti tuan rumah mengantarkannya ke kamar. Ia benar-benar butuh beristirahat. Jiwa raganya sangat lelah untuk dapat berbincang panjang.

***

Age harus berhenti dengan kegiatan mengenangnya. Anaknya baru saja pulang dari sekolah, mencari dirinya dan meminta ditemani makan siang. Foto usang itu diletakkan di atas kasur dan ia berlari ke luar, menghampiri anaknya yang sedang melepas sepatu. Ia sebisa mungkin menyembunyikan mata sembabnya.

“Wah, sudah pulang rupanya. Sini peluk dulu, mama kangen banget.”

Mereka berpelukan, erat, dan airmata Age lagi-lagi merembes hingga membasahi seragam sekolah anaknya.

“Mama kenapa menangis?”

Tapi Age tetap diam. Dia tak punya jawaban sederhana untuk menjelaskan pada anaknya. Maka ia hanya menangis, sesenggukan di pelukan anaknya.

“Mama tiba-tiba teringat bapakmu, Nak. Akhir pekan nanti mau temani mama mengunjungi makamnya?” Akhirnya kalimat itu yang meluncur dari mulutnya. Anak perempuannya mengangguk mengiyakan.

Barangkali tidak sepenuhnya salah. Ia memang benar teringat suaminya, lelaki tua, sang tuan rumah, yang sembilan tahun lalu ia usik tidur lelapnya karena bertamu di tengah malam. Lelaki tua yang sebulan kemudian ia terima ajakannya untuk menikah karena merasa berutang budi, tuan rumah yang akhirnya seranjang dengannya hingga tiga tahun ke depan sebelum menghembuskan napas terakhir karena serangan jantung. Tepat di tahun yang sama ketika ia mendapat kabar bahwa kakaknya telah berpulang.

Masih dengan airmata yang tidak kunjung reda, Age membimbing anaknya ke kamar. Ia mengambil foto usang dengan tulisan tangan bertulisakan alamat rumah mereka pada bagian belakangnya. Foto bergambar perempuan muda itu ditunjukkan pada anaknya.

“Ini mama setahun sebelum bertemu ayahmu, Sayang.”

Anak perempuannya mengusap airmata di wajah sang mama dan berkata lirih, “Mama masih sama cantiknya saat masih muda.” Seketika Age tersenyum dibuatnya dan mereka saling memeluk untuk kedua kali.

***



Tags

Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin