Ular dan Katak



Bapak pernah bercerita, betapa dulu, ketika musim kemarau dirasa sudah waktunya berganti, orang-orang desa akan pergi ke bukit Ngipeng untuk menonton katak dan ular bertarung. Konon, setiap menjelang musim hujan mereka akan muncul di bagian paling sintru bukit tersebut, yaitu belokan Watu Rupit.

Watu Rupit adalah istilah untuk menyebut jalan berbelok dan menanjak yang diapit dua batu kembar yang besar. Di atas dua batu kembar itulah, nak, ular dan katak akan muncul dan bertarung. Katak di sebelah barat jalan, sedangkan ular di sisi timurnya.

Orang-orang meyakini bahwa Katak berada di sisi barat karena posisi batunya strategis untuk ukuran katak. Di sekitar batu tersebut ada beberapa batu lain yang tidak kalah besar dan sisa lembah di kanan kirinya. Yang namanya katak, betapa pun gaibnya, tetaplah katak: dia pasti butuh tumpuan untuk melompat, apalagi ini dalam situasi pertarungan.

Sama halnya dengan ini, ular berada di sisi timur sebab beberapa meter dari batunya terdapat gua berbentuk bulan lebar dengan lorong mengarah ke sungai di sisi timurnya. Ular tentu membutuhkan lubang tersendiri untuk mengisi kekuatan.

Orang-orang desa pergi ke Ngipeng sebenarnya bukan saja untuk nonton pertarungan itu, nak. Mereka ke sana lebih untuk memastikan bahwa musim hujan sebentar lagi memang akan datang. Mereka meyakini bahwa ketika pertarungan dimenangkan oleh katak, maka esok harinya akan hujan. Namun jika sebaliknya itu sanepo bahwa mereka masih belum bisa menanam: sebab besok hujan belum akan turun.

"Berarti, orang-orang mendukung katak dong, Pak?" Aku bertanya.

Bapak menatapku sejenak dan melanjutkan kisahnya. Tentu, nak. Mereka mendukung sama sekali katak dan bentuk dukungannya adalah dengan menanam apa saja yang tidak terlalu membutuhkan banyak air di sekitar bukit Ngipeng, seperti Jagung, Singkong, dan semacamnya. Hari ini kita mengenalnya sebagai bengkok.

Jadi, sambil menunggu katak menang hingga akhirnya mereka bisa menanam padi lagi, orang-orang desa pergi ke bukit, ke bengkok, untuk menanam jagung. Dengan begitu mereka sudah merasa berjasa dalam membantu turunnya hujan.

Namun, nak. Sejak tahun lalu, semuanya bergeser. Lebih tepatnya sejak kebijakan dari pemerintah kabupaten untuk melebarkan jalan di Ngipeng karena itu rute ke kediaman Bupati. Batu di sisi Barat jalan atau panggungnya katak tadi akhirnya menjadi korban, nak. Itu harus dihancurkan supaya jalan bisa diperlebar dan akses ke kediaman Bupati semakin lancar.

Dan sejak saat itu juga nak, seperti sampean lihat sendiri sekarang, tidak ada lagi bengkok-bengkok di Ngipeng. Petani-petani desa kehilangan alasan tambahan untuk menggarap tanah mati di situ. Akibatnya, panen selingan yang biasanya lumayan buat mengisi waktu menunggu musim hujan juga tidak ada.

****

Sementara ingatanku masih pada cerita bapak, pacarku tiba-tiba memanggil, "Ayo, sayur. Kita harus ke gua itu dan kemudian ke sungainya. Kita harus melewati lorong indah-berkelok itu. Kamu ingat kan kalau hari ini hari spesialku, jadi kamu harus nurutin dong."

Sepuluh tahun lewat, Ngipeng kini menjadi wahana wisata dengan keuntungan parkirnya saja mencapai 15jt per-hari dengan pengelolaan penuh oleh investor.


Jogja, 14 Mei 2020
bertepetapan dengan 26 tahun
Alena 



Comments