Waktu yang Tepat untuk Tidak Tarawih




Pukul sembilan malam biasanya temanku, sebut saja Badang, sudah berada di sini, di bawah pohon Kepel tempat biasa kami membunuh waktu. Namun, kali ini tidak. Pasti ada yang tidak beres.

Dua jam kemudian, dia baru datang dengan raut muka yang membingungkan. Kebiasaan terbaiknya selama ini adalah datang dan langsung bercerita segalanya. Kali ini, kebiasaan itu terjadi.

Setibanya, dia langsung bilang, kalian tahu ndak, gaes? Dan seperti yang kerap terjadi, dengan tanpa menunggu kami, dia menjawabnya sendiri.

Ceritanya, dia habis membandingkan dua hal. Yakni antara doa salat tarawih dan doa setelah witir. Dia mendapatkan ide itu karena faktor tunggal: pacarnya. Pasalnya, selama belasan tahun dia hidup di bumi, baru kali ini ia tahu tekstur dan penampakan dari dua doa di muka. Singkatnya, dia diminta pacarnya untuk membacakan doa dan doi mengamini.

Karena yang menyuruh nyonya putri jelas dia tidak bisa mengelak, se-subversif apa pun dia. Dalam kondisi seperti ini, seseorang dalam ukuran tertentu justru dapat menangkap hal-hal unik dari apa yang dilakukannya. Badang termasuk di dalamnya. Ia tidak saja membacakan doa untuk nyonyanya, tetapi juga menemukan sesuatu lain yang menarik.

Doa: antara meminta dan cinta

Ketika membaca doa tarawih, Badang merasa sebal. Sebal sekali. Begitu kisahnya. Sebab di dalamnya berisi permintaan-permintaan yang cenderung ke arah materi. Sebut saja misalnya di situ ada permohonan untuk menikah dengan bidadari-bidadari, bisa mengenakan pakaian sutra yang bangsat mahalnya, makan hidangan surga, minum susu dan sebagainya. Itu pun harus dengan gelas yang khusus.

Beberapa orang di levelnya jelas sangat menyukai konten dari doa tersebut selama mereka paham. Bayangkan, tegas Badang, siapa yang tidak tergoda dengan hal-hal “perut ke bawah” itu dan inilah yang membuat temanku gemas.

Meski gemas, dia tetap tidak berkutik di hadapan nyonyanya. Ia masih melanjutkan salat witir dan ketika sampai di penghujung yaitu waktu berdoa, dia terbahak dalam hati. Kenapa? Konten dari doa witir menunjukkan wajah yang sama sekali bertentangan.

Doa witir terasa jauh lebih menenangkan. Ia tidak berkisar lagi tentang perut ke bawah, tetapi pada hati, pikiran, kemandirian, penerimaan, dan kehati-hatian. Lewat doa ini siapa pun dibuat tidak segan untuk berlutut di hadapan semesta, memohon ampunan seraya berharap betapa apa yang sudah kita lakukan bisa diterima. Itu sudah lebih dari cukup.

Satu bagian yang paling menarik, menurut Badang dan nantinya juga menurutku, adalah ketika doa salat witir menyebutkan kalimat wa nas’aluka al-ghina ‘an al-nas (Tuhan, buatlah kami tidak terlalu butuh pada manusia). Kurasa ini tidak saja doa, tetapi mental, cinta, ketulusan, dan kepasrahan total pada yang menumbuhkan lombok-lombok pasca-hujan. Butuh keberanian yang tinggi untuk mencapai titik ini dan doa salat witir berusaha mengajarkan kepada kita tentangnya.

Badang belum selesai bercerita, tetapi sampai di bagian al-ghina ‘an al-nas, pikiranku sudah menghiraukan Badang. Ia jalan-jalan sendiri, menerka-nerka, membandingkan, dan entah kapan mau memutuskan.

Dan akhirnya aku baru tersadar ketika Badang menyebut untuk ketiga kalinya bahwa dari penemuannya tersebut dia berencana untuk tidak salat tarawih lagi. Meh witiran waelah. Pertama sitik dan kedua apik, begitu pungkasnya.  

Comments