Adakah yang Benar-Benar Siap Menikah, An?



Tak ada yang benar-benar siap untuk menikah, An… begitupun aku, seperti ketidaksiapanku ketika Tuhan menakdirkan aku lahir dari Rahim ibuku untuk menjadi aku yang sekarang. Tak ada yang siap.

Aku hanya menjalankan apa yang ada di hadapanku sekarang, An. Aku memilih untuk menikah, yang bagi sebagian orang menikah begitu menakutkan, aku pun berpandangan demikian. Kalaupun bukan karena iming-iming ketenagan jiwa, mungkin aku tak akan menikah, An. Doktrin agama memang selalu memukau, dan aku percaya Tuhan, aku percaya firman-firman-Nya.

Bahwa siapapun yang menikah, apapun dan bagaimana pun hidupnya akan dijamin oleh-Nya. Tapi bukankah semuanya sudah dijamin oleh-Nya, An?

Semesta memang mendukung kita selalu berfikir kontra dengan (yang katanya) kebaikan. Seperti yang kubaca dari tulisan temanku waktu itu, An. Semua iklan yang bersliweran di layar televisi, semua promosi yang bergentayangan di sosial media, semua menggiurkan, bahkan bisa dikatakan mewah. Tak ada penggambaran realistis dari kehidupan di sini.

Dan itu membuat sebagian orang berfikir, jika menikah haruslah siap segala-galanya, terutama materi. Untuk kebahagian keluarga, masalah mental, jiwa dan spiritualitas dinomorsekiankan. Yang paling utama adalah uang, rumah, mobil, dan fasilitas-fasilitas lain.

Manusia menjadi budak dari topeng-topeng yang berseliweran tak jelas itu, An, yang menumbuhkan mental pengecut. Bukan mental para pejuang yang nekat menerobos segala sesuatunya tanpa persiapan yang sempurna.

Aku sedang mencoba menjadi manusia itu, An. Manusia yang mesti berjuang tanpa persiapan sempurna. Demi menjadi seorang hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Baik. Demi psikisku yang butuh ditopang oleh terpenuhnya sistem biologisku sebagai makhluk. Dan demi menjadi warga Negara yang baik di Negara yang entah ini.

Lucu kan, An? Aku sering menertawakan diriku sendiri karena hal ini. Menghadapai kematian dengan sengaja. Menghadapi kematian dengan pesta pora. Ahh… sudahlah, An. Aku hanya ingin menikah. Di tengah-tengah absurdnya hidup kita ini.

Semoga Tuhan tidak tertawa terbahak-bahak kepadaku atas kekonyolan isi kepalaku ini, An. Yang tak bisa kuceritakan semuanya kepadamu.

Comments