Di Balik Keengganan Menikah, Terselip Iklan yang wwwuah
Beberapa kali berdoa
supaya pikiranku teralihkan pada hal lain selain korona jenis baru, baru malam
ini semesta mengabulkan. Ijabah ini disampaikan melalui beberapa iklan yang
lewat di televisi, yakni iklan seorang ibu yang bingung harus ngapain dengan
anaknya yang sedang belajar dari rumah dan sejoli orang tua yang sedang ngelus-ngelus
anaknya tanda sayang.
Yang pertama adalah iklan
susu dancow yang menggambarkan—meski bagi logika dasarku tidak terlalu nyambung—betapa
dengan memberi anak kita, eh anak kita, seorang anak maksudku, susu dancow,
maka kita tidak lagi akan bingung harus ngapain dengan mereka selama belajar
dari rumah. Pendeknya, iklan ini ingin bilang bahwa dengan dancow seorang
anak akan bisa dengan mandiri mengontrol serta mengoptimalkan potensi
belajarnya sendiri, sedangkan ibunya tinggal senyam-senyum nonton dengan
puas.
Yang kedua adalah iklan buavita,
jus segar dan menyehatkan. Di sini, alurnya tidak sepanjang dancow:
sebatas gambaran orang tua menyayangi anaknya dan lalu sebagai bentuk pelengkap
sayangnya, orang tua penting memberikan buavita supaya si buah hati
sehat. Seolah, iklan ini bilang pada kita begini, “kalau kalian sayang anak dan
tidak memberinya buavita, maka itu bullshit. Rasa sayang palsu!
Bilangnya sayang, tapi minuman yang diberikan tidak menyehatkan.” Beginilah
deskripsi dua iklan yang aku ingin berterima kasih padanya sebab telah
menyelamatkanku dari banjir informasi yang semakin tidak jelas tentang
covid-19.
Meski demikian, sebenarnya
bukan tentang dancow dan kecerdasan instan si anak atau pun buavita sebagai
simbol kesehatan yang ingin aku sasar di sini. Tetapi, ini lebih tentang latar
dari kedua iklan di muka. Keduanya terjadi dalam satu keluarga kelas
menengah-atas yang sudah memiliki rumah bagus sekaligus perabot lengkap dan
baru memiliki satu anak dengan kisaran umur 7-9 tahun.
Dengan ungkapan lain, setting
yang dipakai iklan tersebut adalah keluarga yang sudah mapan. Keluarga yang
kemungkinan besar, sebelum mereka menikah, salah satu dari mereka atau bahkan
keduanya sudah memiliki pekerjaan masing-masing dan pekerjaannya tidak
sembarangan. Terlepas dari bagaimanakah mereka mendapatkan pekerjaan—entah
karena relasi keluarga atau upaya ambisius pribadi yang sepi (bedakan dengan
sunyi)—begitulah yang dua iklan di atas tampilkan.
Lalu, beralih ke
perspektif pemirsa, pada sisi lain, mengetahui bahwa iklan diputar secara rutin
dan berulang, maka tentu ada keterpengaruhan yang halus di dalamnya.
Keterpengaruhan memiliki dua model, yakni model sadar dan tidak sadar. Ketika kita
menyukai pikiran-pikiran tentang koron jenis baru dari Zizek misalnya dan
lantas kita membacanya dengan serius hingga paham dan melekat, maka itulah yang
disebut keterpengaruhan model pertama. Model ini memerlukan beberapa proses
lagi untuk bisa sampai ke level kesadaran atau rasio, meminjam bahasanya
Hegel.
Adapun model kedua adalah
keterpengaruhan yang tanpa kita sadari sudah menjadi kesadaran. Keinginan kita
yang luar biasa untuk mudik misalnya, meski pemerintah melalui corong-corong
media yang mengembik padanya sudah berkoar luar biasa seperti aktivis 98, bisa
digolongkan sebagai model keterpengaruhan tanpa sadar. Keinginan seseorang
untuk mudik lebaran merupakan akumulasi dari segenap wacana, kenyatan, dan
semacamnya yang secara rutin selalu diulang dan direproduksi, sehingga
puncaknya adalah kesadaran yang kerapnya kita sendiri tidak tahu mengapa
perasaan ingin pulang pasti muncul ketika lebaran tiba.
Ketidaktahuan kita atas
apa yang kita rasakan inilah yang kusebut tadi sebagai kesadaran. Sebagai bukti
kita tengah terpengaruh oleh sesuatu yang kita sendiri masih samar tentangnya.
Sampai di sini, ketika tadi sedang melihat setting keluarga dancow dan
buavita, aku memiliki bayangan bahwa mengapa hari ini banyak pemuda
takut untuk menikah—sampai menganggap pernikahan adalah kematian—adalah sebab
mereka sebenarnya tengah terpengaruh oleh dua iklan tersebut.
Yang ada dalam benak
mereka, keluarga itu dibangun setelah punya rumah seperti dalam iklan. Jadi,
ketika sudah memiliki anak, mereka bisa tampil seperti orang tua dalam iklan:
berpakaian rapi, perabot (mewah) rumah lengkap, kebutuhan (palsu) tercukupi,
dan semacamnya. Saat melihat iklan, fokus kita sudah melayang bersama keindahan
bahtera keluarga di dalamnya, sehingga kita sering melupakan hal-hal yang lebih
mendasar, yakni pertama, itu hanya iklan; kedua, konteksnya adalah keluarga
menengah-atas urban yang secara mental dan orientasi jelas berbeda dengan jenis
kelas lain; ketiga, kita lupa tentang diri kita sendiri yang tidak bisa tidak
juga memiliki keunikan sendiri baik secara mikro atau pun makro.
Comments
Post a Comment