Gelap dan Perasaan-Perasaan yang Dihadirkannya



Pada dasarnya aku senang tidur dalam keadaan gelap. Masa kecilku tidak mengenal sumber pencahayaan mewah selain senter yang digunakan sesekali saja. Sumber pencahayaan utama di rumah hanyalah pelita, sebuah benda magis yang dirakit sendiri oleh bapak-bapak kami di kampung. Pelita di rumah kami biasanya berupa kaleng susu  diisi minyak tanah dengan sumbu dibungkus pipa besi kecil yang mengalirkan energi, hingga muncullah cahaya dari api yang tetap menyala pada sumbu selama minyak tanahnya tak habis. Sebenarnya tak hanya kaleng susu, beberapa rumah ada yang menggunakan botol kaca bekas minuman, ada juga yang memanfaatkan botol plastik bekas racun hama.

Aku terbiasa dengan gelap, aku telah melalui banyak usia dengan pencahayaan yang alakadarnya, suasana remang-remang yang selalu menjadikan satu sama lain saling berbincang tanpa melihat dengan jelas wajah kawan berbicara. Di dalam rumah kami dan rumah orang-orang di kampung kami hampir memiliki kegiatan yang sama setiap malamnya, berkumpul di suatu ruang usai makan malam, menanti waktu isya, setelah itu masuk ke kamar masing-masing untuk tidur. Tidak ada aktifitas berlama-lama melewatkan malam dengan mata melek, lagipula tidak banyak dapat dilakukan bermodalkan pelita yang bahkan bisa tiba-tiba mati jika tertiup angin lumayan kencang.

Malam-malamku memang kadang berbeda. Ketika kedua orangtua dan adik lelakiku terlelap di balik kelambu, aku masih sering duduk sendirian di depan ranjang, diam-diam mengerjakan tugas sekolah yang tidak kukerjakan di antara waktu magrib dan isya. Kegiatan yang selalu berujung dengan aku yang bangun pagi, ngupil sebentar dan mendapati lubang hidung beserta kotorannya telah meghitam karena asap pelita.

Maka ini juga mempengaruhi besar-kecilnya rasa takutku pada hantu. Aku tidak mudah merasa takut hanya karena lampu di ruangan tiba-tiba mati sementara tidak ada orang lain di sisi. Bahkan ketika sebuah benda terjatuh di momen tersebut, tiada lain yang kutuduh adalah binatang, bisa jadi tikus yang tidak sengaja menyenggolnya.

Tapi rasa-rasanya ada yang berubah pada tindakanku dalam menanggapi gelap. Belakangan gelap menjadi sesuatu yang lain bagiku, ia mewujud sesuatu yang menakutkan dalam arti lain. Benar bahwa aku mengalami ketakutan ketika hendak tidur lalu memutuskan matikan lampu. Ada yang seketika mencengkeramku, mencekikku hingga sulit bernapas seperti gulita baru saja menghimpit tubuhku. Tapi bukan itu yang benar-benar terjadi. Aku hanya tiba-tiba memaknai gelap sebagai sesuatu yang melankolis.

Gelap, atau sesuatu yang nampak gelap, gambar bernuansa buram, abu-abu, blur, kini begitu mudah menghadirkan perasaan nelangsa di diriku, sendu, dan tak jarang buatku berlarut-larut di sana. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah kenyamanan yang juga serta-merta muncul untuk terus-menerus nikmati kegelisahan itu. Atau ini semacam level lebih tinggi dari keakraban terhadap gelap?


Comments