Studi Al-Quran, Momentum, dan Pandemi


Ketidakpastian adalah wajah dunia hari ini. Secara ekonomi, banyak dari kita mengalami pemecatan atau minimal pengurangan gaji. Jika kita tinggal di desa barangkali ini tidak terlalu terasa, tetapi jika di kota, ini adalah kematian.

Di lingkup pendidikan, kisah yang muncul juga sama: sendu dan tidak pasti. Teman saya baru masuk kuliah tahun ini, padahal teman saya. Ia harus menabung selama dua tahun terlebih dulu untuk bisa mendaftar. Sekali bisa mendaftar, pandemi memaksanya untuk hanya benar-benar kuliah selama satu bulan. Lima bulan sisanya dilakukan lewat daring.

Belajar lewat daring adalah bentuk dari ketidakpastian sekaligus kepalsuan. Begitu temanku mengakuinya. Ia menyesali sama sekali, tetapi entah pada siapa dia menyesal sampai akhirnya belakangan ini ia tahu bahwa kampus-lah yang harus disesali. Pasalnya, di akhir perkuliahan, mau masuk semester II, biaya kuliah yang harus ia bayar, sama! Bayangkan, kuliah cuma disuruh mengerjakan tugas, tidak ada materi yang cukup signifikan dari dosen, tapi uang kuliah sama.

Kurasa, di dunia ini, saat ini, ada banyak yang bernasib sama dengan temanku. Hanya saja isunya berbeda. Landasan polanya satu: tidak pasti.

Ketidakpastian, Agama, dan Al-Quran

Menurut Pippa Noris dan Ronald Inglehart dalam studinya yang ditulis pada 2004 dulu, Sacred and Secular: Politics and Religion Worldwide, menyebut bahwa ketidakpastian berbanding lurus dengan intensitas keberagamaan seseorang. Jika tidak demikian, minimal, setiap tragedi ketidakpastian memiliki tautan dengan agama. Jadi, rumus yang mereka tawarkan adalah semakin tidak pasti keadaan yang seseorang hadapi, maka ia akan semakin religius. 

Terlepas dari sejauh mana riset pada tahun 2004 ini bersalaman dengan kenyataan di Indonesia, saya rasa kesimpulan lain bisa ditarik bahwa di tengah pandemi, Al-Quran memiliki banyak kesempatan untuk menciptakan momentumnya.

Untuk membantu terciptanya momentum Al-Quran di tengah pandemi, kita bisa melakukan empat hal paling tidak, yakni membacanya, menghafal, memahami, dan meneliti. Untuk ukuran teman-teman yang kuliahnya di Studi Al-Quran, tentu yang terakhir adalah pilihan yang membanggakan. Tulisan ini mencoba untuk turut meramaikan melalui ihwal yang terakhir, yaitu membaca penelitian tentang Al-Quran.

Studi Al-Quran?

Bicara soal studi Al-Quran, maka kita sedang berhadapan dengan dua hal besar, yakni tafsir dan Al-Quran itu sendiri. Mengkaji tafsir berbeda dengan mengkaji Al-Quran

Perbedaan ini ada sebab secara ontologi keduanya tidak bisa disamakan. Tafsir adalah komentar atau catatan seseorang atas Al-Quran. Karena catatan, maka yang menonjol dalam tafsir adalah si komentator, pandangan-pandangannya, caranya melihat Al-Quran, dan sikapnya terhadap Al-Quran, bukan Al-Qurannya.

Adapun Al-Quran, sederhananya, adalah mushaf yang terdiri dari 30 juz, yang sering kita baca saat Ramadan atau saat ada undangan muqaddaman di rumah-rumah saat syukuran. Al-Quran mengandung efek pahala ketika dibaca, seperti yang selama ini kita yakini. Sebab ia kalam Tuhan, sedangkan tafsir tidak.

Secara sifat, keduanya pun unik. Tafsir adalah anak zaman atau produk pemikiran ( al-afkar al-diniy) dari suatu masa dan oleh seseorang yang terikat dengan masa. Tafsir yang muncul pada abad pertengahan tentu beda dengan yang lahir abad ini. Jadi, tafsir adalah sesuatu yang sangat bergantung pada dua hal, yaitu konteks lingkungan tempat ia ditelurkan dan kondisi psikis pengarangnya.

Tekstur tafsir yang seperti ini mengakibatkan siapa pun untuk tidak begitu saja menerima tafsir, apalagi menganggapnya sebagai suatu kebenaran dan lantas mengamalkannya dalam keseharian. Langkah pertama saat meneliti atau membaca tafsir adalah meletakkannya pada konteks ia muncul. Mempertanyakan mengapa penafsirnya menulis A misalnya, menimbang faktor politik yang terjadi saat itu, dan sebagainya. Lalu, baru setelah kita melakukan itu semua, kita bisa memutuskan untuk bersikap bagaimana terhadapnya.

Jika sifat tafsir statis, maka Al-Quran sebaliknya. Al-Quran memiliki tekstur yang dinamis. Dengan model bahasanya yang terbuka serta khas menjadikan Al-Quran senantiasa relevan untuk segala zaman, meski menurut beberapa sarjana ini masih menjadi perdebatan.

Laboratorium

Dalam ihwal penelitian, baik Al-Quran dan Tafsir memiliki laboratoriumnya masing-masing, kendati berada di gedung yang sama. Karena beda laboratorium, otomatis pendekatannya pun khas. Soal pendekatan barangkali kita bisa berdiskusi lain kali. Tulisan ini akan fokus ke model-model risetnya terlebih dulu.

Ada tiga model yang kerap dipakai dalam lingkup tafsir, yaitu model tema, tokoh, dan tematik tokoh. Pertama adalah riset yang mencoba untuk melihat isu tertentu, wabah misalnya, menurut beberapa penafsir. Gaya riset yang dipakai di sini biasanya gaya komparasi.

Kedua adalah riset yang fokus ke seorang penafsir. Satu penafsir saja. Kerapnya model ini membidik aspek metodologi. Ketiga lebih pada penelitian yang mengkaji isu tertentu dari satu penafsir. Contoh: Kegilaan menurut Imam Al-Alusi dalam tafsirnya ...

Bagaimana dengan lingkup Al-Quran? Ada dua model: internal dan eksternal. Pertama lebih pada apa yang tertulis dalam Al-Quran, baik bahasanya, diksi, penempatan, manuskrip, percetakan, dan sebagainya. Adapun kedua lebih pada bagaimana Al-Quran diberlakukan oleh Muslim, seperti bagaimana kita memegang Al-Quran, bagaimana kita kerap menjadikan Al-Quran jimat, Al-Quran sebagai media yang dilombakan (MTQ), dan lainnya.

Sampai di sini, tentu ihwal studi Al-Quran masihlah banyak yang belum tersampaikan. Namun untuk ukuran "pra", saya rasa ini bisa disebut cukup. Pandemi memberikan kita waktu yang lebih banyak untuk santai, jadi mungkin saja, di tengahnya kita bisa menyelipkan upaya untuk mendekati Al-Quran serta tafsir dengan cara yang rada miring ke kiri. Selamat berdiskusi.zv



Comments

Post a Comment