Tidak Bisa Diungkapkan
Dia kenal pria yang
mendatanginya barusan. Tidak sekadar kenal malah, tapi memahami bagaimana ulah-ulahnya.
Dia tadi sempat bingung.
Bimbang dalam beberapa menit dan akhirnya yang keluar dari mulutnya adalah
justru berbeda dengan yang di kepalanya.
"Jadi, mas. Total
semuanya 250.000 ribu."
Angin segar melewati
pikirannya tepat setelah dia tahu bahwa raut muka pria di depannya yang posisi
duduknya seperti takhiyat awal itu standar. Tidak mengekspresikan
kewegahan apalagi kecut, meski pria itu mendengar gambling angka yang
disebutkannya.
Apa yang dia takutkan sama
sekali tidak terjadi dan kali ini ia lebih tenang. Ada yang sudah bergeser dari
pria di depannya ini, batinnya.
Bagaimana pun, tragedi 8
tahun yang lalu masih melekat di benaknya. Dia adalah sosok yang senantiasa
imbang antara perkataan dan perbuatan. Mulanya. Jadi tentu tragedi itu akan
selalu melekat, bahkan di bawah sadarnya.
Kita semua tahu bukan
betapa ingatan atau memori seseorang bergantung pada apa yang kita sukai. Kita
pegang. Dan kita benci. Beginilah kira-kira mengapa dia mengalami kebimbangan
luar biasa tadi, padahal dia sudah melewati hal-hal seperti ini berulang kali
selama 5 tahun terakhir.
"Jadi, teman-teman,
apa yang bisa kita simpulkan dari materi kali ini adalah betapa kita, sebagai
muslim, sebagai yang senantiasa membaca Alquran, penting untuk memihak pada
mereka yang membutuhkan. Tetangga-tetangga kita yang untuk besok makan apa saja
tidak tahu. Teman-teman kita yang tidak memiliki baju baru kala lebaran,
padahal semua temannya punya. Dan semacamnya. Hanya dengan begitulah kita jujur
pada diri kita. Kejujuran adalah tidak mengambil keuntungan dari yang
membutuhkan. Inilah maksud dari surah al-Maun. Begitu ya teman-teman,"
jelasnya di depan anak-anak kelas XI MA dengan begitu bersemangat 8 tahun
silam.
"Saya mau bertanya
bapak. Apakah hukuman bagi yang melanggar?" Seorang laki-laki dari bangku
nomer dua dari depan mengacungkan tangan dan bertanya.
"Oh pertanyaan bagus,
Nata. Hukumannya jelas. Dalam surahnya sendiri disebut bahwa yang melanggar
patut diganjar neraka. Dua neraka malah. Neraka dunia dan neraka akhirat.
Neraka dunia itu seperti perasaan tidak tenang. Kalau kita melanggar, hidup
kita tidak bakal tentram selamanya, Nata. Begitu ya. Teman-teman yang lain
paham ya."
***
"Oh nggeh pun, bapak,
matur nuwun. Berkasnya saget diambil kapan nggeh bapak?"
Pertanyaan pria di
depannya membangunkannya dari nostalgia singkat ala Freud. Dia lupa sudah
berapa menit dia menunduk dan pria di depannya menunggu.
"Senin ya. Tidak
buru-buru kan?"
"Oh nggeh. Mboten kok
bapak. Oh iya, pembayarannya sekalian pas ngambil nggeh bapak?"
"Oh iya. Tidak
papa."
Pria di depannya tadi
pamitan seusai memastikan pembayaran dengan tanpa bersalaman. Andai musimnya
tidak lagi pandemi, pasti keputusan pria tadi untuk tidak salaman akan lebih
dari cukup—untuk kesempatan kedua—membuatnya tidak bisa tidur selama seminggu.
Tapi untung saja, pikirannya segera menyimpulkan bahwa pria itu tidak
bersalaman bukan karena apa pun melainkan mematuhi protokol kesehatan dari
pemerintah.
Dia masih duduk bersila di
tempat yang sama, kendati di ruang tamu tidak ada siapa pun kecuali seonggok
meja kecil di sampingnya yang menopang Kitab Suci Al-Quran yang terbuka. Berkas
dari si pria masih dipandanginnya. Ada ketakutan muncul. Tapi dia segera menepis
sambil meyakinkan dirinya bahwa pria di depannya tadi udah lupa dan sudah tidak
seperti yang dia kenalnya.
***
Di malam hari, tanpa bisa
ia cegah, kebimbangan itu muncul lagi. Mengusiknya dengan pertanyaan,
"Kenapa kemarin kamu memberi harga 350.000 dan yang ini 250.000 padahal
yang kemarin lebih tidak mampu? Kenapa Fauzan? Apa gara-gara ketidaktahuannya
itu sekaligus kemiskinannya?"
Pertanyaan kadang memiliki
fungsi nmemotik yang bisa mengingatkan kita pada hal lain yg berkaitan.
Setibanya, untuk kedua kalinya, pikirannya dipenuhi masa dulunya ketika masih
jadi guru dan bersemangat membahas makna kejujuran di depan siswa-siswanya.
Ia paham sekali bahwa yang
ia lakukan tidak tepat. Harusnya masyarakat tidak perlu mengeluarkan uang
sepeser pun untuk pengurusan berkas. Sepeser pun! Ia paham juga bahwa
pengurusan pernikahan itu gratis kecuali yang menginginkan pelaksanaan akad di
rumah. Tapi, sejak dia masuk dalam arus, dia pada akhirnya harus mengkhianati
pengetahuannya. Pengkhianatan memang selalu berbuah manis. Jika tidak, tidak
mungkin Sabina, salah satu tokoh fiksi inti dari The Unbearable Lightness of
Being-nya Milan Kundera, akan begitu cinta dengan pengkhianatan.
Inilah yang membuat
tidurnya tidak nyenyak atau lebih tepatnya semua ini akibat dari kedatangan
pria tadi pagi yang tidak lain adalah Nata. Nata yang bertanya tentang hukum
pelanggaran 8 tahun silam kepadanya saat jadi guru.
"Tapi sebentar,"
pikiran lain merasukinya, "jika Nata tidak mempersoalkan apa yang sudah
kulakukan tadi dengan memberi harga 250.000 ribu dan malah ia bersedia,
berterima kasih pun, lantas kenapa aku harus mempersoalkan ini? Ah bodoh! Nata
diam, berarti dia sudah paham. Sudah mengerti bagaimana cara dunia
bekerja."
***
Jam menunjukkan pukul
23.00 WIB. Matanya sudah mengantuk. Pikirannya sudah mulai berdamai. Tapi masih
tidak bisa tidur. Ia mencari pelarian dan akhirnya ia memilih untuk melanjutkan
bacaannya atas novel In the Name of Rose, karangan seorang pakar semiotik
sekaligus akademisi yang giat: Umberto Eco.
Tidak berjeda lama,
barangkali baru 5 halaman membaca, ia sekonyong menutup novel. Ia termangu
untuk ke sekian kalinya seraya bergumam, “Kok bisa?”
Ia meyakini bahwa
kebetulan adalah cara tuhan secara supranatural untuk hadir dan turut membantu
hambanya yang sedang tidak bisa berpikir sendiri, tetapi mengapa harus
se-begininya. Begitu protesnya dalam benak.
Baru mendapat dua halaman
membaca, ia disodorkan oleh kebetulan yang magis tadi dengan salah satu scene
ketika Adso yang masih novis itu berhasrat sama sekali untuk menindak
langsung apa yang ada di depannya karena menurutnya menyalahi protokol Gereja. Namun,
langkah Adso segera dihadang oleh Willam—sosok guru yang bijak buat Adso dan
mantan inkuisitor—seraya bilang dengan santai, “Adso yang baik, pengetahuan itu
terbagi menjadi dua, yaitu pengetahuan yang harus kita lakukan selepas mendapatkannya
dan pengetahuan yang memang itu hanya untuk kita ketahui. Apa yang di depan
kita ini adalah pengetahuan yang dengan mengetahuinya saja, itu lebih cukup,
bahkan lebih bijak.”
***
Ia memutuskan untuk
meletakkan kembali novel di atas meja. Semuanya sudah jelas sekarang, batinnya,
aku tidak akan bisa tidur malam ini!
Comments
Post a Comment