Ke-tiba-tiba-an dan Ihwal Membaca itu Sia-Sia
Dua
minggu meresapi cuaca sejuk-semriwing di Jogja menuntunku pada satu hal yang
barangkali ini penting untuk ditambahkan dalam artikel Edvin Aldrian di Kompas,
24 Juni yang lalu, tentang Solar Minimum.
Aldrian
menyebut bahwa pada bulan-bulan ini, di tahun 2020, bumi sedang mengalami apa
itu yang disebutnya sebagai solar minimum. Fenomena ini mengakibatkan, cuaca di
tahun ini, meski musim kemarau, akan cenderung sejuk, dalam arti tidak sepanas
di tahun-tahun lainnya. Angin pun akan lebih intens membelai rambut-rambut
kita. Memanjakan.
Adapun
tentang satu hal yang saya maksud di atas adalah betapa dengan fenomena solar
minimum, pikiran serta imajinasi kita akan mendapatkan stimulus lebih untuk
bergerak. Menempatkan kita pada posisi yang lebih suka merenungkan sesuatu.
Fenomena solar minimum berdampak pada meningkatnya gairah untuk memikirkan
sesuatu!
Barusan
saja misalnya, di tengah belaian angin yang menyenangkan, dengan posisi sedang
duduk di lantai dua rumah sambil melihat pohon-pohon di pekarangan tetangga
yang ukurannya berbeda-beda, setibanya di benak saya muncul gambaran tentang
satu pohon di jalan raya kota yang penampakannya lebih subur, lebat nan tinggi,
dibanding pohon-pohon sebelahnya.
Mereka
adalah pohon yang sama dan mereka ditanam di waktu bersamaan, tapi kenapa ada
satu yang pertumbuhannya lebih. Saya rasa, ini bukan soal pemupukan dari pihak
Dishub yang tidak rata. Jika Dishub memupuk, tentu mereka memberikannya pada
setiap pohon. Pohon yang lebih besar ini pasti mendapatkan pupuk lain yang
mengerikan, tapi kita tidak tahu apa dan karenanya harus dicari.
Ide
yang baru saja muncul ini, saya sendiri tidak tahu dari mana hingga akhirnya
saya memaksa mengingatnya. Beberapa kali, nihil. Beberapa kali lagi saya coba,
secercah cahaya menerangi, tapi masih samar.
Ide
soal pohon lebih subur, kota, dan pupuk yang mengerikan pernah saya baca dari
kisahnya Sherlock Holmes, tapi sebentar: di sini masih absurd antara saya baca
apa saya tonton.
Saya
coba lagi untuk masuk ke rimba ingatan dan emosi: ide ini ada di filmnya atau
di bukunya. Entahlah, di ujung saya putuskan untuk menyerah. Saya tidak tahu
pasti, rumah dari ide yang tiba-tiba muncul ini buku apakah film. Namun yang
pasti, ide itu pernah saya konsumsi dan hari ini, di saat yang tidak terduga,
ia kembali muncul, berkelebat dalam pikiranku ibarat jemuran yang terterpa
angin.
Dan
pohon tadi, kenapa lebih besar adalah sebab di bawahnya telah dikubur jenazah
seseorang yang telah dirampok dan dibunuh. Dalam narasi yang sempat saya
lupakan dan bahkan (sempat) saya anggap tidak ada, Holmes berhasil menguak
kasus pembunuhan melalui pengamatan terhadap pohon-pohon di sekitar lokasi
perkara.
Kembali
pada posisi saya yang sedang duduk santai, ditimbun angin, di lantai dua rumah,
akibat "ketiba-tibaan" tadi, saya jadi mempertanyakan kenapa
pohon-pohon di pekarangan rumah tetangga ada yang lebih besar, padahal jenisnya
sama.
Namun,
tiba-tiba (lagi), pertanyaan lain datang, mengetuk pintu imajinasi: kenapa
harus ribet menanyakan pohon tetangga, mengapa tidak tanya mengapa ihwal
"ketiba-tibaan" itu bisa terjadi.
Tentang ketiba-tibaan
Ihwal
ketiba-tibaan memang khas. Ronggowarsito, setelah memutuskan untuk berhenti
jadi makelar, menyebut "ketiba-tibaan" ini sebagai Kasunyatan.
Heideger, di tengah kebimbangannya antara selingkuhan dan istrinya, menamakan itu sebagai Facticity. Dan Freud, sembari menghabiskan cerutu, dengan
sok sistematis, menjelaskan "ketiba-tibaan" sebagai sebuah kelahiran
kembali dari sesuatu yang ada dalam bawah sadar kita.
Kelahiran
kembali ini biasanya muncul karena situasi tertentu yang kita tidak tahu kapan.
Kenapa? Sebab sumbernya bawah sadar. Itu melampaui kesadaran.
Ruang
bawah sadar merupakan gudang dari segenap pengalaman, emosi, trauma, kesan
keindahan, dan sebagainya yang pernah kita lalui sebelumnya, termasuk apa saja
yang kita baca, tonton, dan dengarkan.
Fenomena
solar minimum tahun ini berhasil menjadi bidan atas kelahiran kembali ide
tentang pohon, mayat, dan kota untuk hariku siang ini. Apa saja yang kita lupa
atau tidak tahu bukan berarti ia tidak ada dan akhirnya hanya satu yang ada:
tidak ada yang sia-sia. Hmmm.zv
Comments
Post a Comment