Kopi Hitam






“Bukan anak muda kalau tidurnya cepat.” Ucapmu tiga tahun yang lalu tatkala kutanya mengapa belum tidur padahal sudah pukul satu dini hari.

Aku hanya mengerutkan dahi mendengar jawabanmu kala itu. Mungkin kau memang cukup aneh. Berbeda dengan pria manapun yang pernah kukenal.

Kini kau tepat di hadapanku. Menyesap kopi yang hampir saja dingin karena menunggumu menyelesaikan aktivitas di dalam kamar mandi. Asapnya tidak lagi menyembul, sebagian ampasnya pun sudah terlihat berkumpul di pantat cangkir putih transparan di mana kopi itu kuseduh.

“Rasanya tetap sama, bukan?” Tanyaku membuka pembicaraan setelah mengamati tingkahmu yang cukup aneh. Memintaku menemanimu menghabiskan secangkir kopi itu, namun nyatanya kau asik saja dengan ponsel yang ada di hadapanmu. Kau hanya menatapku sesekali, lalu kembali menyesap kopi, seakan aku tidak ada. Apa maksudmu memintaku menemanimu di sini?
“Sama saja.” Jawabmu singkat masih menatap layar ponselmu.

“Kubilang juga apa, tidak akan ada bedanya kopi yang diseduh dengan air rebus dan kopi yang disiram dengan air panas dari dispenser.” Ucapku memancingmu untuk berbicara.

“Tentu saja ada.” Jawabmu dengan yakin.

“Buktinya, kau tidak bisa menjelaskanku apa perbedaan rasanya, kan? Kopi yang kubuat ini bahkan tidak ada bedanya dengan kopi yang sering kaubuat.” Desakku memintamu memberiku penjelasan yang masuk akal.

“Ada. Kau tidak akan tahu jika kau bukan pecinta kopi.”

“Lalu jelaskan padaku.” Aku semakin mendesak, meski kulihat dari raut wajahmu, kau tidak mampu menjelaskan itu, atau kau tidak ingin menjelaskannya padaku.

Sebenarnya, kopi yang kau minum sekarang ini tidak diseduh dengan air dari dispenser. Tentu saja aku merebus airnya. Sesuai dengan janjiku padamu tiga tahun yang lalu, aku akan menyeduhkan kopi istimewa buatmu, kopi yang akan terus kau ingat.

“Kalau kau benar menyeduhnya dengan air dari dispenser, aku mengaku salah dan kalah. Aku sama sekali tidak merasakan perbedaannya pada kopi ini. mungkin saja karena kopinya sudah hampir dingin.” Ucapmu dengan kalimat yang mulai panjang. Sayangnya, kau masih belum berani menatapku. Apa yang salah dengan mataku?

“Sebenarnya aku menyeduhnya dengan air yang direbus. Aku sudah berjanji padamu, kan? Lagipula, aku tidak ingin menunaikan janji dengan setengah-setengah.”

“Kau tahu itu. Cara yang berbeda akan menghasilkan rasa yang berbeda. Terima kasih sudah mengerti. Tapi soal kopinya, kupikir kau akan menyajikan kopi hitam. Katanya tidak setengah-setengah?” Tanyamu kemudian saat menyesap kopi itu untuk kesekian kalinya dan mendapati bahwa itu bukanlah murni kopi seperti yang sering kauminum.

Kau mulai menatapku, meski dengan tatapan yang membingungkan.

“Tidak ada kopi hitam buatmu malam ini. Dan, seharusnya kau tahu satu hal, bahwa kau bukan pecinta kopi jika tidak menyukai semua jenis kopi.”

“Seperti itu? Dapat teori dari mana?” Tanyamu terlihat bingung namun sedikit percaya.

“Aku baru saja merumuskan teori itu sekarang. Tapi bukan berarti itu salah, kan? Bahkan aku merasa teori baru ini memang sangat benar. Bukankah ketika kau mencintai sesuatu, tidak peduli bagaimana bentuknya kau akan tetap mencintainya, kan?” Aku semakin banyak merumuskan teori baru. Teori yang tiba-tiba saja muncul dalam benakku tatkala kau semakin berani menatapku.

“Kau semakin aneh saja. Sudahlah, kembali ke kamarmu, sudah larut malam. Tidak baik tidur terlalu larut.”

“Ah, naïf sekali mendengarmu mengatakan itu. Bukannya kau sendiri yang pernah mengatakan hal yang bertentangan dengan ini? Apa kau sudah lupa?” Ucapku mengingatkanmu pada kalimatmu dulu. Aku tahu, kau tidak pernah melanggar ucapanmu, namun apa yang salah dengan ucapanmu barusan?

“Kau semakin berubah sekarang. Semakin cerdas.” Sanggahmu.

“Kau yang berubah!”

“Aku memang berubah tentang banyak hal. Termasuk jadwal tidurku. Hanya satu yang tidak berubah, secangkir kopi menjelang tidurku.” Jelasmu sambil mengangkat cangkir kopi yang berisi setengah itu.

“Aku mengerti sekarang. Kalau begitu, aku akan kembali ke kamar.”

Aku berdiri menuju kamar saat kau tiba-tiba memanggilku dengan suara itu.

“Na …?”

Aku berbalik, menatapmu yang juga sedang berdiri.

“Sudah begitu lama, Na. Apa yang berubah tentangku dalam dirimu? Sejak tiga tahun yang lalu, apa aku masih sama di hatimu? Apa kau masih mengingat namaku, minimal tidak menghapusnya dari kontakmu?”

Aku menggeleng.

“Namamu dalam kontakku, Kopi Hitam.”

Lalu aku berlalu pergi. Kau hanya tersenyum yang tak kuketahui artinya.

 Kudengar kau menyesap kopi itu begitu lama, mungkin saja kau berusaha menghabiskannya sebelum punggungku menghilang dari pandanganmu.


Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin