Wina tak Sekadar Nama Ibu Kota


Contradixie, Resensi Buku– Ada ingatan yang malu-malu kuakui seiring bertambahnya usia hari demi hari. Ingatan itu sebisa mungkin kuhapus dari kepala demi melegakan perasaan. Harus kuakui, hingga berada di usia yang ke 23 atau mungkin 24, barulah ingatan itu tidak lagi kuanggap aib masa kecil hingga remaja lalu berusia dewasa. Ingatan itu tidak terjadi begitu saja tentunya, ada rangkaian cerita yang tidak terlepas darinya.

Saya mendapati diri sedang membuka lembar demi lembar sebuah buku bacaan untuk anak sekolah dasar di teras rumah panggung pada suatu sore. Buku yang dititipkan di rumah karena perpustakaan sekolah kami yang juga merangkap sebagai kantor disesaki kursi dan meja para guru, terlalu padat jika buku-buku dipaksa berada di tempat yang sama, juga ada kemungkinan buku-buku itu basah dan dikerubungi rayap ketika hujan turun dan merembesi gedung sekolah kami yang dibangun dari papan.

Terdapat lumayan banyak buku di rumah yang disusun begitu saja di atas sebuah meja, tempat bapak biasanya menghabiskan segelas tehnya sambil membaca buku-buku tebal dengan kertas berwarna coklat lusuh. Pada mulanya ini hanyalah sebuah keisengan dalam mengisi waktu luang ketika sedang malas bermain bersama teman-teman. Saya akan membongkar buku-buku di atas meja tersebut, mencari sesuatu yang menarik untuk dibaca kemudian membawanya ke teras rumah, membacanya halaman demi halaman.

Iya, mulanya ia hanyalah keisengan belaka. Hingga sore itu sebuah buku seukuran majalah, berisi banyak gambar dan cerita-cerita pendek anak-anak membuatku semakin ingin membaca cerita lagi dan lagi. Gara-Gara Sarang Burung Perkutut adalah judul cerita pendek yang mampu membuatku terlarut dalam kisahnya. Bukan tentang kisah cinta romantis tentunya, tapi tentang dua sahabat yang terlibat konflik karena sarang burung perkutut. Akhir kisahnya membuatku mampu bernapas lega setelah pada pertengahan cerita sempat benar-benar deg-degan dan sedih.

Ingin membaca tapi tak tersedia bacaan yang diinginkan ternyata cukup menyiksa. Dalam hal ini kehausan akan bacaan fiksi setelah jatuh cinta pada satu cerita sebelumnya. Sayang sekali buku-buku yang dititipkan di rumah didominasi oleh buku agama bersampul hijau untuk tiap tingkatan kelas. Stok buku-buku ini begitu banyak, disusul buku tebal milik bapak yang juga tidak jauh dari konten tentang keagamaan. Maka mau tak mau buku itu tetap kulahap, kubaca karena tidak punya pilihan lain juga sekaligus menyimpan harap semoga di dalam sana terselip beberapa cerita, minimal kisah-kisah teladan para nabi. Waktu itu saya ingat sedang duduk di kelas dua sekolah dasar dan sering mengerjakan tugas agama milik saudara sepupu yang duduk di kelas empat, tiada lain karena saya hapal isi buku agama di mana soal-soal dari tugasnya diambil.

Saya lama menyebutnya sebagai kecelakaan alih-alih kebetulan. Ketika siang itu di atas meja ruang tamu terdapat sebuah buku berukuran kecil tanpa sampul sedang tergeletak begitu saja. Rumah sedang sepi, kedua orangtuaku entah sedang di kebun atau beristirahat, dan seorang guru perempuan yang juga tinggal di rumah tak kelihatan sosoknya. Saya dengan santai membaca buku tak berjudul itu, tepatnya saya tidak tahu apa judulnya sebab sampul dan halaman depannya sudah sobek atau sengaja disobek. Yang tak disangka adalah buku itu tidak hanya mengobati rasa hausku akan bacaan fiksi, rasa-rasanya ada yang lebih dari itu tapi entah apa.

Buku yang sedang saya baca itu memang tidak berjudul, sampulnya disobek beserta beberapa lembar pada bagian awal. Meski demikian, sekalipun awal ceritanya hilang entah ke mana, sama sekali tidak mempengaruhi pesan yang ingin disampaikan dalam buku. Saya tidak mengerti itu apa, tapi  selain membuat saya semakin ingin membaca buku yang sejenis, efek yang ditimbulkan dalam diri pun tidak main-main, perasaan saya berdebar membaca kisah tak jelas di dalam sana.

Di dalam buku tak utuh tersebutlah saya mengetahui sebuah daerah bernama Wina, sebuah tempat yang belakangan baru saya pahami bahwa ia adalah nama ibu kota dari Austria setelah diberi tugas oleh wali kelas untuk menghafal nama-nama Negara beserta ibu kotanya. Tapi sejak hari itu, hari di mana saya menemukan kata Wina di sebuah buku lusuh, ia tak lagi sekadar nama ibu kota bagiku.

Orang-orang barangkali bisa saja menyebut Wina sebegitu santai dan bahagianya sembari membayangkan kemegahan kota tersebut, bangunan-bangunan besarnya, museum-museumnya, atau spot-spot foto ‘instagramablenya'. Tapi bagi saya, menyebut kata Wina sama halnya memanggil ingatan saya tentang kecelakaan, atau ketidaksengajaan masa kecil, yang sebenarnya kini saya sudah berdamai dengannya.

Nyatanya memang saya dipertemukan lagi dengan buku-buku sejenis ketika rasa haus saya akan bacaan fiksi semakin menggebu-gebu. Entah bagaimana ceritanya saya bisa sadar bahwa di rumah sebelah, di rumah kerabat sendiri, saya pernah melihat beberapa buku kecil lusuh tanpa sampul yang tersusun di dalam lemari kaca. Maka dengan segera saya menyambangi lemari tersebut, membaca satu demi satu bukunya sampai semua habis kusesap. Lagi-lagi saya tidak ingat berapa banyak koleksi yang dimiliki kerabat tersebut, tapi pastinya banyak dan itu sangat membuatku senang juga bergairah. Bergairah dalam arti lain dan juga dalam arti sebenarnya.

Dulu masih terlalu dini bagiku menyadari ada rahasia apa di balik buku-buku tak bersampul tersebut. Baru kini rasanya mudah sekali menebaknya, barangkali karena kini saya hampir berada di usia orang-orang yang kemarin membacanya. Bahwa membaca cerita yang didominasi kalimat-kalimat erotis untuk menggambarkan adegan yang dilakoni si tokoh ternyata menyenangkan dan memuaskan juga. Terutama ketika tidak ada wahana lain seperti melihat gambar dan menonton video, maka menikmati liukan kalimat yang disusun penulis pastilah sangat efektif. Kalimat yang kata orang bisa buatmu menggelinjang. Haish.

Barangkali ada yang bertanya-tanya dari mana datangnya buku-buku tersebut, siapa membawanya hingga bisa tiba-tiba berada di dalam rumahku, di atas meja, tergeletak begitu saja. Tapi ada yang lebih urgen untuk dijawab dibanding pertanyaan tersebut, yaitu rasa penasaranku sendiri, buku siapakah yang sempat mengisi masa kecilku itu, Fredy S. ataukah Enny Arrow?




Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin