Al-Qur'an di (Benak) PKI
Isu seputar PKI
(Partai Komunis Indonesia) yang ditayangkan di televisi membuatku kecewa.
Beberapa pakar ditampilkan, diberi kesempatan masing-masing untuk mengutarakan
pendapatnya. Diskusi pun dinahkodai oleh pembawa acara yang mengerikan
cerdasnya, yang selalu siap memotong setiap pendapat yang tidak memiliki
argumentasi. Tapi sayangnya, tema yang diangkat adalah “benarkah PKI bangkit
lagi?”
Jiwaku yang paling
polos protes mendapati tema tersebut, “Ngapain bahas hari kebangkitan? Kok bisa
itu loh? Kalau memang benar hidup lagi, berarti dia dibutuhkan. Jika
sebaliknya, ya artinya belum dibutuhkan. Kan sederhana.”
Namun, aku sadar,
seheboh apa pun rakyat protes, tetaplah itu protes dari rakyat. Aku memilih
mematikan televisi pada akhirnya dan membuka Wikipedia, mencari informasi
tentang G30S/PKI, ya untuk merawat ingatan saja sih.
Apa yang kudapatkan
di Wikipedia ternyata jauh lebih menyegarkan, mudah dipahami, tenang (dalam
arti tidak ada yang berteriak ngotot bilang bahwa pendapatnya hanya asumsi
dsb.), dan yang terpenting, ini membawaku pada satu nama yang secara fonetik
cukup memikat hati: Semaoen.
Semaoen adalah
ketua umum pertama PKI yang memiliki novel berjudul Hikayat Kadiroen. Novel
ini menceritakan seorang pemuda bernama Kadiroen, karirnya yang gemilang di
Pemerintahan Hindia Belanda, dan kisah cintanya dengan Ardinah, istri kedua
dari seorang lurah di wilayahnya.
Boleh dibilang
Kadiroen meniti karirnya dari nol. Mulai mantri polisi, wedono, sampai wakil
patih di kota S, salah satu jabatan yang paling diidamkan orang kala itu. Tapi
semuanya berubah ketika dia bertemu dengan Tjitro, tokoh Partai Komunis di kota
S. Beberapa saat pasca-perjumpaannya dengan Tjitro, Kadiroen memutuskan untuk
keluar dari jabatannya yang ngeri itu dan menjadi penulis di Harian Sinar
Ra’jat.
Keberaniannya untuk
meninggalkan pekerjaannya di Pemerintahan Hindia Belanda berdampak pada dua hal
secara langsung: hidupnya yang tidak menentu dan kisah asmaranya dengan Ardinah
yang semakin romantas. Ketidaktentuan hidup memang selaras dengan romantisme.
Lha, pada fragmen
inilah, irisan romansanya dengan Ardinah, aku menemukan banyak dialog tentang
Islam, Al-Quran, dan perempuan. Keduanya tidak secara eksplisit memang dalam
membahas isu tersebut, tapi secara makna siapa pun bisa menangkap arus
keselarasannya.
Tafsir
Semaoen atas Surah al-Nisa (4):3
Amir Latif (2011) dalam
disertasinya Qur`anic narrative and Sufi hermeneutics: Rumi's
interpretations of Pharaoh's character menyebut, dua teks yang berbeda
secara penampakan bisa diletakkan dalam posisi sejajar ketika keduanya menancap
pada satu titik yang sama. Titik ini biasanya disebut oleh orang-orang sebagai
benang merah. Buku atau kitab non-tafsir memungkinkan untuk dilihat sebagai
tafsir ketika muatan dasarnya (magza) sama dengan kitab tafsir.
Penelitian Latif
atas metodologi penafsiran Al-Quran Jalaluddin Rumi berpijak pada asumsi
tersebut. Latif, didukung oleh beberapa peneliti lain seperti Andreas Görke dan
Johanna Pink (2014), menyusun definisinya sendiri tentang “tafsir”. Baginya,
tafsir tidak terbatas pada kitab tebal yang memuat surah-surah mulai al-Fatihah
sampai al-Nas, tetapi apa pun yang memiliki kaitan dasar (keselarasan magza
bahasa mudahnya) dengan Al-Quran sah disebut tafsir. Walhasil, dari konstruksi
teoretis ini, Latif bisa bebas mendekati kitab-kitab Rumi sebagai tafsir.
Aku mencoba untuk
melakukan hal yang sama dengan Latif, yaitu dengan melihat penafsiran halus (lay
exegesis) dari Semaoen atas Al-Quran, khususnya surah al-Nisa’ (4):3. Hal
pertama yang mengakrabkan Kadiroen, dalam Hikayat Kadiroen, dengan
Ardinah, gadis idamannya, adalah obrolan mereka tentang Islam dan perempuan.
Dalam Adegan ini, Kadiroen mendapati Ardinah sedang menangis sedan di tepi
jalan. Karena tuntutan perasaan cinta, Kadiroen mendekatinya dan menanyakan ada
apa gerangan.
Karena merasa
diperhatikan dan selepas melewati beberapa tahapan basa-basi, Ardinah pun
berani untuk berkeluh kesah pada Kadiroen. Ardinah mengawali kisahnya dengan
gugatan kepada Islam sebagai agamanya. Dia mempertanyakan mengapa Islam
mengizinkan lelaki untuk menikahi lebih dari satu perempuan (hlm. 44). Pada
titik inilah, aku langsung teringat pada surah 4:3—yang sering dipakai sebagai
landasan diperbolehkannya menikahi perempuan lebih dari satu—dan karenanya, di
sini aku tulis tafsir Semaoen atas 4:3.
Aku mendapatkan
upaya dari Semaoen untuk mewacanakan surah 4:3 dan apa yang sedang menjadi
penafsiran umum pada masanya melalui adegan di muka. Melalui gugatan sekaligus
tafsiran Ardinah dan melalui respons Kadiroen sebagai antitesis. Mari kita
mulai dari gugatan Ardinah.
Menurut Ardinah apa
yang Islam anjurkan tidaklah keliru. Sebab Islam mengetahui, jumlah laki-laki
dan perempuan tidak imbang. Yang kedua lebih banyak, sehingga untuk menghindari
terjadinya ketimpangan, menikahi 2 sampai 4 perempuan hukumnya sah. Tetapi
meski demikian, ada sebagian dari diri Ardinah meronta: mengapa ajaran tersebut
malah membuat laki-laki sewenang-wenang terhadap perempuan (hlm. 45). Dalam
novelnya tertulis, tetapi hamba tidak mengerti, mengapa seorang lelaki
berani mengambil hak-hak itu tanpa meminta izin sang istri tua, tanpa
menghormati dan turut merasakan bagaimana pedihnya dimadu.... Selain itu,
perempuan biasanya tidak ditanya pendapatnya lebih dahulu dan hanya dianggap
sebagai benda yang tidak bernyawa saja.
Pada kisah
berikutnya, bahkan Ardinah menyitir soal betapa diperbolehkannya poligami
tergantung pada sejauh mana lelaki mampu berbuat baik dan adil. Andaikan pada
kenyataannya laki-laki tidak bisa, maka lebih baik agama melarang poligami. Ardinah
menyesalkan mengapa ada seseorang (suami Ardinah maksudnya) yang mengaku
beragama tapi tidak menjalankan ajaran agamanya. Namun, lanjut Ardinah, sebenci
apa pun dia dengan situasi tersebut, ia mengaku, tidak bisa menggugat aturan
agamanya, tidak juga pada yang membuat aturan, sebab betapa pun tentu maksudnya
baik.
Berhenti sejenak di
sini, seseorang pasti bisa merasakan dilema dalam langit perasaan Ardinah. Satu
sisi, ia menganggap, poligami adalah aturan Islam tapi pada sisi lain ia
mendapatkan sesuatu yang bertentangan dengan nuraninya sebagai perempuan. Ia
menangis dalam kebingungannya hingga datang Kadiroen, membuatnya sejenak
tenang, berbagi kisah pada Kadiroen dan akhirnya ia menemukan satu alasan kuat
untuk mengakhiri dilemanya.
Apa itu? Pandangan
bahwa apa yang ada dalam aturan Islam, surah 4:3, sudahlah benar, namun yang
menjadikannya keliru adalah manusianya sendiri. Adalah laki-laki yang tidak
berbuat baik serta adil. Adalah mereka yang demi hasratnya sendiri justru
menjauhkan aturan Islam dari inti ajarannya.
Di level ini, siapa
saja bisa melihat betapa Semaoen—lewat adegan di atas—membedakan dua hal dalam
mendekati Al-Quran, yakni aspek aturan dan aspek ajaran. Aspek ajaran menunjuk
pada sesuatu yang pasti benar sebab itu adalah tujuan dari Islam sebagai agama,
sedangkan aturan tergantung pada manusianya. Adapun tentang “aturan”,
penjelasan lebih jauh bisa kita amati dari adegan lain, yaitu tentang fantasi
pra-tidur Kadiroen atas cintanya pada Ardinah (hlm. 38).
Adegan yang terjadi
sebelum Kadiroen menemukan Ardinah menangis di tepi jalan ini menggambarkan
pandangannya tentang adat dan kodrat. Bagi Kadiroen adat adalah aturan dan
ajaran adalah kodrat. Setiap aturan harus menyesuaikan ajaran, bukan
sebaliknya. Sebab hanya dengan begitulah suatu ajaran bisa selalu selaras
dengan kebahagiaan manusia. Pendek kata, di sini Semaoen—melalui
Kadiroen—sebenarnya sedang bicara tentang nilai universal dari Islam atau
Al-Quran. Jika ada yang keliru dalam Islam, dalam arti bertentangan dengan
jalan menuju kebahagiaan manusia, maka yang bermasalah di situ bukanlah
Islam-nya, tetapi aturan atau tafsiran atas Islam.
Kesimpulan
Dari semua uraian
di atas dan melalui dua karakter Ardinah dan Semaoen, aku mendapatkan adanya
keraguan yang mendalam dalam benak Semaoen atas surah 4:3. Dia merasa bahwa
surah 4:3 bertentangan dengan nuraninya sebagai manusia sebab dalam praktiknya
ayat ini dipakai untuk menindas dan berlaku sewena-wena terhadap perempuan. Tetapi
di waktu bersamaan, dia tidak berani secara jelas untuk mengklaim jika surah
4:3 adalah keliru lantaran itu ayat Al-Quran, Kitab Suci orang Islam.
Dan pada akhirnya,
keraguan Semaoen membimbingnya untuk sampai pada pemisahan Islam atau Al-Quran
ke dalam dua aspek, yaitu aturan dan ajaran. Klasifikasi ini membantunya untuk
memecahkan persoalan kritis dalam benaknya, sehingga ia bebas menggugat Islam
tanpa harus menjatuhkannya.
Kenapa? Sebab pada
prinsipnya yang ia gugat adalah aspek aturan, aspek tafsiran yang sudah menjadi
adat, bukan ajaran agama itu sendiri. Sederhanya, Semaoen memahami surah 4:3
sebagai kebolehan untuk poligami selama tidak ada satu pihak pun yang tersakiti
jiwa-pikiran-raganya. Jika laki-laki tidak bisa menjajikan ini, hanya ada satu
kata untuk poligami: tidak!
Sebab tanpa adanya
syarat tersebut, agama akan selalu dijadikan topeng oleh orang-orang tidak
bertanggungjawab untuk kesenangan bejatnya sendiri. Melalui aturan, adat, dan
tafsiran-tafsiran yang membangun keduanya.
Sebagai tambahan
saja, setelah membaca Hikayat Kadiroen, lagi-lagi ada yang menggugat
dalam diriku secara naif: kenapa sih isu tentang PKI yang digoreng di
media-media itu tidak mengarah ke hal-hal seperti ini saja. Hiks :(
Siti Khuzaimah,
pengajar seni dan tari di Sanggar Segar Palagan
Comments
Post a Comment