Langgar Blandongan
Siang ini aku mengkhianati rencanaku. Jika perencanaan, seperti disiratkan oleh Imam Bukhari dalam Sahihnya, adalah 50% dari proses kerja, maka artinya hari ini aku telah membuang begitu saja setengah proses dari kerjaku.
Awalnya, aku tidak ingin
berlama di sini, di Blandongan. Urusan selesai, aku pulang. Urusanku kelar jam
1 siang, tetapi sampai sekarang ini, pukul 3 sore, aku masih menetap di sini,
menatap orang-orang yang semakin lama semakin menyusut.
Keengganan untuk pulang mempertemukanku
(kembali) dengan langgar kecil di bagian belakang kafe Blandongan. Satu
setengah jam bermain gim menerbitkan perasaan di benakku untuk menuntaskan
sesuatu: salat. Aku pun beranjak, menuju langgar.
Sesampainya di lokasi,
perasaanku tidak enak. Penampakan musalla sungguh mengerikan. Beberapa sajadah
terserak tidak beraturan, dengan warna yang mak-mak manapun pasti akan berteriak
gemas saat melihatnya: ingin segera membuang.
Lantainya tidak saja
berdebu, tapi sudah bertanah. Permukaannya penuh dengan noda bandel akibat
kaki-kaki yang seperti langsung saja masuk tanpa melepas sandal, padahal alas
kakinya basah. Rak yang harusnya dipakai untuk sarung dan mukena pun
beralih-fungsi sebagai kandang laba-laba.
Mendapati begitu, sebagai
seorang Muslim yang sedang ingin sembahyang, tentu perasaanku tidak enak.
“Subhanallah, ini …,” batinku dalam hati yang di waktu bersamaan pikiranku
bingung mencari istilah yang tepat untuk menggambarkan situasi yang sedang
kulihat.
Dalam situasi demikian,
aku hanya bisa pasrah. Waktu tidak mengizinkanku untuk mencari langgar lain.
Akhirnya kulangkahkan kakiku, masuk ke langgar, salat. Dan, sesaat sebelum takbir,
dalam hati, aku memohon semoga segala yang berkenaan dengan per-fikih-an
seperti suci-tidaknya sarung yang kupakai, sajadah, dan sebagainya bisa
dimaklumi oleh Tuhan Yang Maha Pengertian. Aku pun sembahyang.
Salat,
ketakutan, dan suasana hati
Tahukah apa yang terjadi?
Jauh dari apa yang kubayangkan, rupanya zuhurku kali ini terasa lebih
menenangkan. Bertrand Russell dalam Why I am not a Christian (1927) pernah
menyebut, poros dari agama adalah ketakutan. Dalam kondisi yang semakin
menakutkan, tidak pasti, dan gempuran media yang mencekam—seperti kondisi saat
ini akibat korona—seseorang berpotensi besar untuk semakin dekat dengan agama,
sebab agama mampu memberikan panji-panji kepastian serta komunitas senasib yang
menenangkan.
Jika apa yang disampaikan
Russell ini benar, maka kepasrahan yang kualami di muka adalah bagian dari
ketakutan. Apa yang kutangkap dari penampakan langgar Blandongan yang
sedemikian rupa menerbitkan perasaan tidak enak. Perasaan tidak enak menggema
hingga sampai pada bagian lain di tubuhku dan akhirnya membangunkan rasa takut.
Takut jika—di level fikih—salatku tidak diterima.
Pada sisi berbeda,
pikiranku membayangkan tempat lain, tetapi segera terhapus karena waktu mepet,
sehingga bagaimanapun harus sembahyang di Blandongan. Tepat di sini, dilema
muncul. Dilema adalah ketakutan tersendiri. Jadi, ada dua ketakutan yang
kurasakan beberapa saat sebelum sembahyang, yang keduanya berhasil membawaku
pada kondisi pasrah.
Pendek kata, ketika memutuskan
untuk sembahyang di langgar Blandongan, aku mengalami beberapa tahapan. Pertama
aku ragu sebab kondisinya mengerikan. Kedua aku takut lantaran secara fikih
kondisi tersebut tidak kompatibel. Ketiga aku ingin mencari tempat lain, tapi
waktu mepet, hasilnya dilema. Dilema itu ketakutan. Keempat aku menyerah dengan
dua ketakutan yang kuhadapi. Aku pasrah. Dan aku sembahyang. Kelima, ternyata
sembahyangku cukup tenang (khusyuk).
Musala Blandongan adalah
tempat yang cocok bagi mereka yang merindukan sembahyang dengan ketenangan di
atas rata-rata. Bentuk alami dari langgar Blandongan berpotensi mengundang
kekhusyukan siapa pun yang sedang ingin menyerah. Cobalah sekali-kali.(zv)
Comments
Post a Comment