Sosiologi di benak Pierre Bourdieu: sebuah ulasan sederhana


Pierre Bourdieu lahir pada 1 Agustus 1930 dan meninggal pada 23 Januari 2002. Di lingkaran Sosiologi, ia dikenal dengan Sosiologi Kritis dan Strukturalisme Genetik. Selama 72 tahun menjalani kehidupan, ia menelurkan banyak buku dan yang terpopuler adalah Distinction: A Social Critique of The Judgment of Taste. Jika membaca sekujur pemikiran Bourdieu, kita bisa merasakan keterpengaruhannya dengan Wittgensten, Marleau-Ponty, Husserl, Karl Marx, Durkheim, Levi-Strauss, dan Weber.

Bourdieu menawarkan tidak sedikit gagasan dan konsep yang mengerikan. Di antaranya adalah praksis sosial, habitus, modal (kapital), arena, dominasi simbolik, doxa, dan selera. Di samping itu, Bourdieu juga menelaah kembali beberapa istilah seperti distingsi, resistensi, bahasa, pendidikan, pengajaran moral, perubahan sosial, persaingan, dan sebagainya. Pandangan Bourdieu atas beberapa istilah ini cukup khas. Mari kita intip satu persatu.

A.    Praksis sosial, habitus, modal, dan arena

Praksis sosial atau apa yang terjadi sehari-hari di masyarakat menurut Bourdieu adalah gesekan (dialektika) antara apa yang dimiliki satu orang dan apa yang dimiliki oleh orang lainnya. “Apa yang dimiliki” di sini merujuk pada habitus, modal, dan arena.

Habitus bisa kita pahami sebagai seperangkat nilai yang sudah melekat pada diri seseorang. Orang yang sejak kecil dididik untuk mengunyah makanan tanpa bersuara, tentu akan merasa aneh ketika mendengar teman kosnya mengunyah makanan dengan suara. Perasaan aneh inilah, mudahnya, yang disebut habitus.

Bagaimana habitus seseorang bergantung pada arena tempat ia tumbuh dan berkembang. Mengapa misalnya yang tadi merasa aneh ketika mendengar suara kunyahan sebab sejak kecil ia hidup di arena (keluarga) yang sepakat bahwa mengunyah makanan harus tanpa suara. Jadi, arena adalah ruang khusus (tertentu) yang ada di masyarakat. Selain ruang keluarga, arena bisa berupa ruang pesantren, ruang seniman, ruang politik, dan semacamnya.

Adapun modal menunjuk pada sesuatu yang memungkinkan kita untuk mendapatkan kesempatan dalam hidup. Kesempatan apa pun itu. Saat merasa memiliki suatu kesempatan, maka di situlah kita sebenarnya sedang memiliki modal. Menurut Bourdieu, modal tidak harus berupa ekonomi. Modal bisa berwujud luasnya relasi (modal budaya), efektifnya pendidikan (modal pendidikan), dan branded-nya apa yang kita pakai atau bawa (modal simbolik).

Modal bisa berfungsi optimal ketika ia dipakai sesuai dengan arena. Dalam arena pesantren umpamanya, bila kita ingin mendapatkan kesempatan untuk tujuan tertentu, maka modal yang harus ditonjolkan adalah modal budaya seperti betapa kita akrab dengan Kiai A, Gus B, dan lainnya. Modal simbolik kurang relevan untuk lingkaran pesantren—di beberapa titik.

Kembali ke praksis sosial, apa yang terjadi dalam keseharian kita, mudahnya, adalah gesekan antara habitus-modal kita dan habitus-modal orang lain yang pecah dalam arena tertentu. Dalam situasi ini, segenap kebiasaan berikut modal kita berhadapan dengan apa yang dimiliki orang lain, sehingga di dalamnya rentan terjadi perebutan dominasi.

B.     Dominasi Simbolik

Dominasi simbolik merupakan sebentuk penindasan yang tidak dinilai sebagai penindasan. Sebab ia sudah diterima secara umum di kalangan masyarakat. Memosisikan mahasiswa semester akhir sebagai pihak yang selalu salah di depan dosen pembimbing adalah penindasan, tetapi karena semua masyarakat mahasiswa sudah menerima itu sebagai suatu kewajaran, maka penilaian tersebut menjadi penindasan yang diurungkan.

“Penindasan yang diurungkan” inilah yang disebut sebagai dominasi simbolik. Jika kita mau cermat, banyak sekali jenis penindasan ini berjalan-jalan di sekitar kita. Contoh lain bisa diambil dari arena cinta. Pernah tidak kita iseng bertanya mengapa seseorang yang punya pacar cenderung “merasa” tidak bebas dan waswas apalagi ketika sedang bersama lawan jenis, padahal dia tahu, pacarnya tidak sedang dengannya? Mengapa dia harus merasa waswas? Perasaan waswas atau sedang diawasi (panoptik) ini termasuk juga dalam kategori penindasan simbolik.

C.    Doxa

Praktik dominasi simbolik jika dibiarkan begitu saja akan memuncak menjadi doxa. Doxa adalah bentuk penindasan halus dalam skala yang mengerikan. Isu yang ada di sini sudah tidak lagi antara satu orang dan satu orang lainnya, tetapi penguasa dan rakyat. Suatu daerah bisa disebut “sedang berada di situasi doxa” ketika apa saja yang dikatakan penguasa, rakyat menyetujuinya. Suara penguasa berarti suara rakyat.

Keputusan rakyat untuk setuju sama sekali dengan penguasa disebabkan oleh adanya propaganda yang jenius dari penguasa. Propaganda yang berhasil merekayasa rakyat untuk melihat bahwa segala keputusan penguasa adalah untuk mereka, padahal sesungguhnya menindas.  

Menurut Bourdieu, beberapa hal yang biasa dipakai penguasa untuk menciptakan situasi doxa yaitu apa pun yang populer, bergaya sloganistik, dan isu tertentu yang disajikan dengan sangat bungkus. Rakyat yang sudah terjebak dalam lingkup doxa akan sangat sulit untuk bersikap kritis.

D.    Selera

Salah satu bentuk penindasan yang sederhana dan kerap dijumpai di masyarakat adalah dominasi selera. Menurut Bourdieu, ketika seseorang mengutarakan seleranya pada orang lain, sebenarnya dia sedang menunjukkan kelasnya.

Selera bukanlah sesuatu yang alami. Ia bukan hasil dari kebebasan untuk memilih. Saat kita bilang, “seleraku kopi pahit”, ini tidak murni pendapat yang lahir dari adanya kebebasan kita untuk memilih selera, tidak. Selera, kata Bourdieu, adalah produk dari konstruksi sosial. Kenapa kita suka kopi berhubungan dengan lingkungan tempat kita tumbuh dan berkembang, khususnya dengan pola pendidikan dan pengasuhan yang kita dapat.

Bourdieu membagi selera menjadi dua: selera yang sudah mendapatkan legitimasi dan selera populer. Selera jenis pertama menunjuk pada selera kelas atas yang biasanya dikembangkan melalui instansi-instansi pendidikan, terutama materi kesenian. Jenis kedua lebih pada selera yang berkembang apa adanya di masyarakat.

Keduanya berbeda dalam dua hal secara umum, yaitu ruang lingkup perkembangan berikut metodenya dan titik tekan. Selera yang terlegitimasi dibiakkan secara khusus di gedung pengap sekolah-sekolah dan hanya untuk kalangan atas, sedangkan selera populer tumbuh bebas seperti rumput liar di depan gedung yang sudah lama tidak terpakai.

Dari segi titik tekan, kemudian, selera populer kerap menjadikan fungsi sebagai pertimbangan utama, sedangkan selera satunya pada perspektif atau bentuk. Mereka dengan selera terlegitimasi akan cenderung memilih nasi goreng dengan penampilannya yang cantik, termasuk piring yang digunakan, sendok, dan sebagainya, sedangkan mereka dengan selera populer akan mengutamakan bagaimana rasa dari nasi garing. Ihwal seperti apa bentuknya, itu nomer kesekian.

E.     Kesimpulan (sementara)

Saya kira, untuk kesempatan kali ini, diskusi kita cukup sampai pada isu “selera”. Beberapa isu lainnya, seperti bahasa, pendidikan, dan semacamnya, yang ternyata Bourdieu juga memiliki gagasan yang bajingan atas mereka, barangkali bisa kita lanjut di kesempatan diskusi selanjutnya di program Novemverbeda. Terima kasih.    

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin