Mencermati Calon-Calon Pemilih pada Pilkada 2020
Hari
ini, semua dari kita sudah kehilangan ke-individu-an
Yuval
Noah Harari (2016)
Pemiliki meja adalah dua
gadis yang baru saja menginjak bangku kuliah. Saya tahu itu dari isu yang
mereka obrolan. Meja kami bersampingan, sehingga masing-masing bisa saling curi
dengar.
Pesanan mereka bisa
dibilang mahal, apalagi untuk ukuran gadis baru masuk kuliah di salah satu perguruan
tinggi swasta di Tuban. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak tertarik untuk
menghabiskan pesanannya. Dari kondisi pesanan yang masih menutupi nyaris semua
lingkaran piring, saya menyebut: mereka hanya menyetuhnya, tidak memakan.
Ini adalah tragedi buat
saya. Ini menarik. Belum lagi jika kita hubungkan dengan fakta bahwa mereka
sudah punya hak suara untuk memilih pada Pilkada lusa. Tetapi sebelum masuk ke
keterhubungan antara keduanya, saya mencoba untuk meraba apa sebenarnya yang
menginspirasi mereka kok sampai bersikap demikian.
Produk
dari konsumsi daring
Saya belum sempat
melakukan penelitian mendalam tentang ini melainkan sebatas melemparkan
pertanyaan polos pada mereka. “Udah kenyang ya mbak kok tidak dihabiskan?”
Tanyaku sembari pura-pura minta tolong untuk meminjam asbak yang ada di meja
mereka.
Jawaban mereka di luar
dugaan. Dalam fantasi saya mereka akan menjawab “itu mas, kurang suka dengan
masakannya” atau “aduh, tidak enak ternyata mas,” tetapi pada kenyataannya
mereka tidak serumit itu. Salah satu dari mereka sekadar merespons “iya, mas.
Udah kenyang.”
Jawaban yang (cenderung)
sederhana seperti ini biasanya menunjuk pada sesuatu yang di luar teks.
Maksudnya, kenapa mereka hanya menyentuh pesanannya yang mahal itu tidak bisa
kita pahami sebagai akibat dari mereka yang sudah kenyang, tetapi ada hal lain
yang mereka tidak ingin mengatakannya pada khalayak sebab alasan tertentu.
Di sini, saya mulai
membayangkan apakah yang menjadi inspirasi mereka untuk berlaku demikian di
luar “sudah kenyang”. Selepas melewati diskusi padat dengan kolega yang juga
berada di lokasi, ada dua hal yang memungkinkan mereka begitu: hal teknis dan
fesyen.
Hal teknis bisa berupa
selera yang membuat mereka tidak suka pada makanan yang dipesan dan kesalahan
dalam pemesanan. Sebenarnya mereka tidak ingin memesan itu, tetapi entah karena
apa mereka memesannya
Adapun fesyen lebih pada
semangat untuk meniru apa yang sedang trending hari ini. Fesyen biasanya
berhubungan dengan sosok tertentu, bisa artis atau selebgram. Kebanyakan artis,
termasuk selebgram, sebagaimana sempat kita ketahui lewat tayangan-tayangan
seperti selebgram kuliner, selalu mengunggah foto/videonya yang tidak
menghabiskan makanannya ketika sedang di restoran atau kafe.
Semakin banyak artis dan
selebgram yang beraktivitas demikian secara daring, semakin kokoh pula anggitan
publik muda Indonesia bahwa menyisakan banyak makanan atau minuman di kafe
adalah simbol update. Barang siapa yang tidak demikian, ia ketinggalan
apa yang menjadi fesyen hari ini.
Dua gadis di sebelahku
berada di antara dua kemungkinan tersebut mengapa mereka sampai tega
meninggalkan banyak makanan tersisa, padahal sudah dibeli mahal.
Kita
tidak (lagi) memiliki pilihan
Saat kita tahu, ada
beberapa orang yang menggantungkan pilihannya pada konten di media sosial
(algoritma), maka kita berhak bertanya, apakah sebenarnya kita memang memiliki
pilihan. Beberapa waktu silam, suara (hak pilih) masyarakat, apalagi untuk
konteks Pilkada dan semacamnya, menempati posisi yang tinggi penghargaannya. spanduk-spanduk
berisikan slogan-slogan seperti “suaramu, mengubah dunia” bertebaran di
berbagai sudut kota.
Suara per-individu
dijunjung sebegitunya—meski ini hanya terjadi setiap menjelang pemilihan
politik—karena asumsinya setiap individu memiliki pilihan yang khas. Apa yang
menjadi pilihan individu, entah itu pilihan makanan atau buku, adalah wujud
keseluruhan dari individu itu sendiri, sehingga sebab ini pula kita menyebutnya
“individu”. Jadi, dalam situasi begini, menghargai sama sekali suara atau hak
pilih individu sama halnya dengan menghargai sang individu.
Akan tetapi, untuk konteks
dengan generasi pemilih yang sudah melek digital sejak dini seperti sekarang,
barangkali kita perlu mengulik kembali pandangan kita tentang “hak pilih”
individu. Bagaimana tidak, untuk potret dua gadis di atas saja, bisa ditangkap,
porsi terbesar yang menentukan apakah mereka harus menghabiskan makanan atau
hanya menyentuhnya tidak berpulang pada diri mereka sendiri sebagai individu,
tetapi pada bagaimana kebiasaan selebgram di kafe.
Walhasil, ketika individu
sudah tercerabut dari pilihannya sendiri yang khas sedemikian rupa, alasan apa
yang bisa dipakai untuk menempatkan “hak pilih” atau suara individu pada posisi
yang tinggi penghargaannya. Jika begini, kemudian, maka spanduk-spanduk di
jalan dan kutipan-kutipan tokoh pemerintah tentang pengandaian untuk
menggunakan hak suara saat Pilkada sudah tidak relevan.
Muhammad Saifullah,
Comments
Post a Comment