Romantisme dan Publik yang (Layak) Dibohongi

 

Apa yang paling pilu dari dibohongi?
Mengetahui bahwa kita tidak layak mendapat kebenaran
- Jean-Paul Sartre -

Dua minggu lalu, saya berdiskusi dengan teman tentang anggaran riset yang semakin sektarian. Meski—ini penting untuk disampaikan—obrolan kami melalui telepon, kami menghabiskan waktu lebih dari 2 jam, setara dengan 2 sks di kampus non-UGM di Jogja. Untuk ukuran sesama cowok dan sedang tidak dalam acara resmi seminar, tentu ini pun menyalahi aturan kewajaran Indonesia.

Semua bermula dari pertanyaan saya tentang bagaimana upaya dia dalam merawat ingatan akademiknya pascalulus kuliah. Di luar dugaan saya, rupanya ia memiliki rencana yang mengerikan untuk hal tersebut.

Selama sibuk di tempat kerja barunya, kata teman saya, ia selalu mencermati kasus apa saja yang menghampirinya sembari menyesuaikannya dengan Studi Al-Quran, bidang yang kami geluti bersama.

Dari sini saja, ia sudah menemukan beberapa kecocokan yang ini berarti akan segera dia lanjutkan untuk dieksekusi. “Ya, paling tidak ini bisa di Sinta2 lah,” ungkapnya.

Banyak penyelenggara jurnal terakreditasi—anggap saja Sinta2 sudah tergolong terakreditasi—memang biasa menganggarkan fee untuk peneliti lepas, sehingga ketika teman saya bilang begitu, kami berdua sudah sama-sama mafhum, kendati kami sempat pula mendengar bahwa fee tersebut sekarang sudah ditiadakan dan dialokasikan pada peneliti kolonial, eh pemerintah maksud saya.

Namun, bukan itu yang ingin saya diskusikan di sini. Soal fee dan merawat ingatan akademik atau intelektualitas dan pendidikan, saya rasa teman saya jauh lebih bisa untuk membedakannya. Jadi, itu tidak perlu dibahas.  

Apa yang paling sedih dari dibohongi?

Jadi, langsung saja ke kesimpulan, pagi ini saya dipertemukan dengan berita di Kompas. Berita itu mengabarkan bahwa pemerintah menganggarkan sekitar 1 triliun rupiah untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). 400 miliar untuk PTN berbadan hukum dan 623 miliar untuk PTN bukan badan hukum dan PTS.

Karena sempat mendengar rumor yang beredar di kalangan peneliti Blandongan tentang disunatnya anggaran untuk peneliti lepas yang menulis via jurnal, saya tidak kaget saat membaca rilis di atas. Anggaran riset besar memang sepatutnya digelontorkan hanya untuk enklave perguruan tinggi. Siapa coba yang meragukan kemampuan para peneliti di dalamnya?

Sungguhpun begitu, saya tetap saja merespons. Saya memotret berita tersebut dan unggah di Whatsapp dengan kepsyen, “Definisi riset di KBBI memang perlu diedit. Diganti begini: penyelidikan (penelitian) suatu masalah secara sistematis … oleh (enklave) perguruan tinggi.”

Sejak detik pertama jempol saya menekan tombol kirim, saya bisa memastikan, dalam 24 jam ke depan akan ada orang-orang yang membuang 15 detiknya yang sangat berharga hanya untuk melihat unggahan tersebut.  

Dalam imajinasiku bahkan ada juga beberapa yang akan tertawa sadis sambil mengumpat, “Enklave, enklave. Sistematis. Riset. kbbi. Woooi, opo wae iku. Asu!”

Membayangkan ini rasanya bahagia dan memang wajar mengapa  mereka akan bersikap demikian. Pasalnya, unggahan di muka sebenarnya saya khususkan buat teman saya, bukan untuk umum. Jika yang kedua turut melihat, maka akan ada clash of context. 

Saya sengaja menyampaikan pesan yang khusus (intended message) melalui kanal publik terbatas (Whatsapp channel), karena coba bayangkan betapa romantis rasanya bisa menyampaikan suatu pesan sekaligus membohongi banyak orang.

Besok jika ada kesempatan menelepon pun, dengan bangga aku pasti bercerita padanya, “Bayangkan, su. Betapa romantisnya kita. Masak hanya untuk bilang padamu bahwa riset tanpa kelas itu memang fiksi, aku harus membohongi banyak orang yang tidak bersalah? ”

Jadi, apa yang paling buruk dari dibohongi? 

Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin