American Beauty, Pandemi, dan al-Hikam Ibn Athaillah al-Sakandari
Fakta yang menurut saya menarik daripada kemelut
ketakutan saat ini ternyata belum ada yang membahas kaitan antara film American
Beauty dan kitab al-Hikam al-Athaiyyah karya Ibn Athaillah.
Sila googling dan cari di berbagai kanal, boleh
juga di Google Scholar, niscaya anda tidak akan mendapati yang membahas
demikian. Bagi seorang yang dirundung krisis dalam kreativitas menulis fakta
semacam ini tentu sangat menghibur.
Bayangkan ketika tidak ada penonton American Beauty
yang membaca al-Hikam, pun pembaca al-Hikam yang tidak mungkin
juga menonton film komedi tersebut, dan anda menjadi penengah di antara
keduanya untuk kemudian menyatakan: ‘dalam beberapa titik dua karya manusia
tersebut selaras berkelindan.’ Tentu biasa saja, kan?
Lagian siapa juga yang akan terbersit bayangan seperti
itu dan siapa pula yang ingin mengerti. Meski demikian, saya akan tetap katakan
ini menarik dan menghibur di tengah keruwetan pandemik-politik-medsos yang kian
sengkarut.
Sekilas setiap scene dalam film yang memenangkan
lima nominasi di ajang Academy Awards ke-72 ini jauh dari kesan religius. Sementara
al-Hikam adalah kitab yang bukan hanya religius, ia berada dalam pusat diskursus
tasawuf, disiplin dengan fokus pada bahasan hati dan hubungannya dengan Ilahi.
Menyelaraskan keduanya tentu lebih menarik daripada
terjebak dalam nuansa panik pandemik. Di musim ketika semua bingung mengenai sepotong
virus, berjibaku mencari hakikatnya, namun lupa akan hakikat dirinya sendiri
yang masih perlu dicari; kembali pada ritme kehidupan adalah kunci.
Penyaksian akan keindahan adalah bongkahan besar
kebahagiaan jika diiringi dengan kesadaran akan hidup dan yang Maha hidup.
Setidaknya kalimat tersebut dapat menjadi gambaran awal mengapa American
Beauty dan al-Hikam dapat disebut mempunyai lokus yang sama.
Film arahan Sam Mendes tersebut berhasil menampilkan
bagaimana manusia secara natural diberkahi dengan kemampuan melakukan framing
terhadap segala situasi yang dihadapi.
Film yang ditulis Alan Ball ini mengisahkan tentang
seorang pria yang mati dalam keadaan yang mengesankan, sekali lagi mengesankan,
bukan mengenaskan.
Dalam bahasa Muslim kematian yang demikian biasa kita
sebut dengan khusnul khatimah. Akhiran indah, titik klimaks yang meletupkan
hormon endorfin yang dapat menawar pedih saat sakit kematian datang bersama
ajal.
Kevin Spacey yang memerankan tokoh Lester Bunrham diplot
sebagai sosok giant loser, pria yang kehilangan gairah hidup dan gagal
dalam segala hal termasuk membina rumah tangganya.
Namun begitu di akhir hayatnya ia bertemu dengan sekuel keindahan
yang menjadi titik balik dari kehidupannya. Ia mengubah cara pandangnya
terhadap dunia. Dari yang sebelumnya hanya Mr. Nice Guy menjadi pribadi
yang berkarakter sesuai yang ada dari hatinya.
Ia bertemu dengan tokoh Angela Hayes yang diperankan oleh
Mena Suvari yang baginya merupakan wujud keindahan murni. Gairah yang hilang
menyala kembali seiring senyuman Hayes yang ia simpan dalam hati. Semangat yang
tidak ia dapati saat melihat istrinya sendiri justru hidup saat ia berkenalan
dengan teman putrinya sendiri.
Kisah pak Burnham sebenarnya pararel dengan tragis yang
dialami tetangga barunya yang kemudian juga menjadi temannya sekaligus pacar
anaknya. Tokoh Ricky Fitts yang diperankan oleh Wes Bently merupakan seorang
pengedar ganja, pernah masuk Rumah Sakit Jiwa, dan anak seorang pensiunan
tentara yang gemar memukuli anaknya sendiri tersebut.
Cara Ricky melihat dunia tergolong unik. Dari hal paling
sederhana seperti kantong plastik yang terbang dibawa angin hingga seorang yang
berada di akhir hayat dapat menjadi simbol keindahan baginya.
“That's the day I realized
that there was this entire life behind things, and this incredibly benevolent
force that wanted me to know there was no reason to be afraid. Ever. ... It helps me remember... I
need to remember... Sometimes there's so much beauty in the world I feel like I
can't take it... and my heart is going to cave in.”
Demikian Ricky berkisah kepada temannya. Meskipun
kehidupannya tidak biasa dan dapat disebut mengalami tingkat depresi yang
tinggi, ia selalu mengingat dan memang butuh mengingat bahwa begitu banyak
keindahan di dunia ini. Perasaan tersebut pun membuat hatinya begitu penuh
seakan hendak runtuh, saking bahagianya.
Pararel dengan nasib pak Burnham yang diselimuti dengan
berbagai ketidaknyamanan dalam
kehidupan. Pada akhirnya ia menyadari;
“I guess I could be pretty
pissed off about what happened to me... but it's hard to stay mad, when there's
so much beauty in the world. Sometimes I feel like I'm seeing it all at once,
and it's too much, my heart fills up like a balloon that's about to burst...and
then I remember to relax, and stop trying to hold on to it, and then it flows
through me like rain and I can't feel anything but gratitude for every single
moment of my stupid little life... You have no idea what I'm talking about, I'm
sure. But don't worry...You will someday.”
Kita bisa jadi tidak akan pernah memahami jika belum
pernah mengalami. Ketika alam raya yang gelap tersingkap dan tampak keindahan
yang mengalun menyelimuti dunia, di titik inilah American Beauty
identik dengan al-Hikam.
Dikatakan oleh ibn Athaillah;
“Seluruh alam
raya gelap, satu-satunya suluh hanyalah tampaknya Yang Maha hakikat di
dalamnya. Barangsiapa melihat alam raya seraya tidak menyaksikan hakikat
di dalam, di sisi, sebelum, atau sesudahnya maka sungguh ia telah
kehilangan wujud cahaya, ia telah terhalang
dari mentari kemakrifatan.”
Singkatnya jika alam yang kita lihat tidak mengantarkan
kita kepada yang menciptakannya maka hal tersebut dapat kita sebut kegelapan.
Jika kita masih sangat menyenangi kulit dan kedangkalan karena enggan bersusah
untuk mencari makna serta subtansi akan apa yang tampak di hadapan kita maka
segalanya gelap.
Kita kehilangan waktu yang jernih untuk sekadar berkontemplasi
dan menyadari bahwa segalanya adalah dari Yang Maha Mengasihi.
can look right back,”
kata Ricky kepada teman kencannya. Temannya itu
menanyakan tentang apa yang ia lihat. Dan ia katakan, ‘keindahan’.
Jadi, di musim pandemi dunia tetap indah seperti sediakala. Tuhan tetap Maha Penyayang dengan cara-Nya yang Maha Mengagumkan. Dan al-Hikam (baca: kebijaksanaan) akan melahirkan beauty (baca:keindahan).
Comments
Post a Comment