Mengapa Islam seperti ini?
Oleh Ki Lembu Peteng*
Mengapa Islam seperti ini? Menurut statistik, setidaknya dalam tiap 7 orang yang ada di muka bumi, 2 orang di antaranya beragama Islam. Memang masih kalah jumlah dengan Kristen, tapi peningkatan populasi muslim yang begitu pesat (paling pesat dari agama lain), menunjukkan suatu prestasi tersendiri ditinjau dari pencapaian kuantitatif.
Dunia Islam di Barat
Di dunia Barat, persentase peningkatan Islam adalah yang
paling mencengangkan dibanding agama lain. Derasnya imigran muslim dan
tingginya angka kelahiran bayi dari pasangan muslim adalah sumbangan terbesar bagi peningkatan
itu. Derasnya arus migrasi salah satunya karena banyaknya konflik dan peperangan
di negara-negara muslim, terutama Timur Tengah, sehingga banyak penduduknya
memilih meninggalkan negaranya. Sementara angka kelahiran bayi, belum jelas
sebabnya selain suatu dugaan bahwa mungkin pasangan muslim memang suka bikin
anak.
Kedua hal itulah yang
membuat politisi semacam Greet Wilders (Belanda) gerah—bahkan parno—sampai-sampai harus membuat film anti-Islam (seperti film berjudul “Fitna”) yang
menuai banyak perhatian itu.
Namun, apakah pesatnya
peningkatan populasi Islam itu menjadikannya semakin jaya dan mulia sebagaimana
slogan al-islamu ya’lu wa la yu’la alaih atau jinoyo tanpo tanding?
Itulah arah tulisan ini—sesuatu yang sangat mudah diduga.
Memalukan
Hal yang perlu dicermati
adalah ketika melihat negara-negara dengan penduduk muslim mayoritas masuk
negara tertinggal. Suatu stempel memalukan dalam pergaulan internasional.
Tertinggal di sini bisa diartikan dari banyak sisi. Secara ekonomi mereka masuk negara
melarat (kalaupun ada yang kaya hanya sekadar mengandalkan minyak, seperti
Qatar dan UEA). Secara politik, mereka otoriter atau penuh kekacauan sebab
ekstremisme. Secara geopolitik hanya negara satelit dan secara kebudayaan pun
mandek.
Suatu fenomena yang seolah
hendak menampar muka kita, bahwa Islam itu sendiri punya pengaruh signifikan
bagi ketertinggalan atau kemunduran peradaban suatu bangsa/negara.
Sementara itu, penduduk
muslim terbesar di dunia ada di Indonesia, lalu Pakistan dan Bangladesh.
Ketertinggalan tiga negara itu saja sudah cukup memberi stimulus tentang
hadirnya pertanyaan besar: apakah memang ada masalah dalam Islam itu sendiri,
atau yang bermasalah
adalah pemeluknya? Dan kalau begitu, kenapa Islam terlalu banyak disalahpahami
dan disalahtafsirkan?
Sejarah bercerita pada
kita tentang suatu masa di mana
Islam benar-benar menjadi kekuatan ekonomi, politik, dan kebudayaan yang perkasa. Ada Daulah
Abbasiyah yang melahirkan banyak ulama dan ilmuwan dari berbagai bidang,
yang merentang pada bidang keagamaan, filsafat, kesenian, kedokteran, botani,
matematika, sampai astronomi. Ada kerajaan Turki Usmani yang kekuatannya paling
mampu menggentarkan Eropa. Pendeknya, Islam sebagai sesuatu yang agung,
benar-benar mewujud dalam sejarah, di kala dunia di luar Islam diliputi
kegelapan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa jika Islam, pada dirinya, merupakan
biang keladi kemunduran adalah keliru.
Sumbangan Peradaban
Hukum universal menyatakan
bahwa mulia-hinanya suatu kaum, yang paling berpengaruh adalah sejauh mana kaum
itu mampu berkarya atau kreatif dan produktif. Kreatif dalam arti ini, adalah
sejauh mana kaum muslim mampu menyumbangkan hasil karyanya buat peradaban
dunia. Contohnya adalah penemuan dan pengembangan di ranah medis, astronomi,
filsafat dan musik, sebagaimana zaman Dinasti
Abbasiyah. Penemuan dan pengembangan nilai-nilai demokrasi dari Revolusi
Perancis. Lalu soal pengembangan teknologi transportasi dan informasi
sebagaimana Barat zaman sekarang.
Islam masa lalu mampu
melakukan itu, ketika Eropa masih diliputi Dark Age. Ketika fajar Eropa
menyingsing (Aufklarung), apakah cahaya Islam jadi tenggelam, sehingga menjadi
sekadar bangsa jajahan
nan kuper dan minder? Itulah soalnya. Lantas hanya menuduh penjajahan Eropa
sebagai biang keladi kemunduran umat Islam belaka, sepertinya tidak cukup.
Sebab suatu bangsa besar dan bersatu tak mungkin bisa dijajah.
Namun bagaimanapun, melihat kenyataan yang ada, umat Islam harus sadar
bahwa dirinya masih sedang dalam kemunduran, hingga pernah lahir banyak tokoh
mencoba mengatasi hal itu dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan. Ada
Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, yang mencoba membongkar
pemikiran Islam dari kekolotan. Bahwa bagi mereka, Islam yang dianggap ya’lu
wa la yu’la alaih itu kini
terjerumus dalam tempurung yang ia bangun sendiri. Hal itulah yang membuat
slogan al-islamu mahjubun bil muslimin, keagungan Islam tertutupi oleh
pemeluknya sendiri.
Bongkar
Menurut saya, ada dua hal
yang mendesak untuk dilakukan. Pertama perlu perombakan pola pikir tentang
bagaimana berislam. Tempurung yang kita bangun dan kita hias-hias tiap hari
harus dibongkar. Bentuk konkretnya
secara mendasar adalah dalam pembacaan atas suatu masalah, seperti dalam Bahtsul
Masail, kita butuh perangkat pendekatan yang tidak melulu fiqhi atau
adu jotos dengan senjata kitab kuning. Pembacaan secara lebih komprehensif
diperlukan.
Sejauh ini kita menganggap bahwa ilmu-ilmu seperti fikih, kalam, akhlaq,
adalah ilmu-ilmu Islam, sementara di luar itu seperti biologi, fisika,
astronomi, medis, botani, geopolitik, antropologi, sosiologi, dan seterusnya
adalah ilmu-umum yang peranannya sekunder. Padahal dengan begitu,
bukankah kita mengerdilkan makna berislam itu sendiri?
Kedua, sejauh ini mulai
banyak yang menganggap bahwa Islam adalah suatu agama yang sifatnya privat.
Padahal sejak
kelahirannya, Islam bukan semata kita meyakini bahwa Tuhan itu Esa belaka.
Lebih dari itu, hadirnya Islam adalah pembongkaran atas struktur sosial dan
sistem nalar Jahiliyah.
Jahiliyah dalam arti kita buta dan lumpuh atas kenyataan yang menindas, jurang
ketimpangan yang melebar, dengan ekploitasi SDA yang merusak. Maka,
Islam harus merombak kenyataan itu sesuai misi awalnya, menyempurnakan manusia
sebagai manusia.
Kedua hal diatas mendesak
dilaksanakan. Agar Islam kembali menjadi solusi atas zaman yang kini tengah
berlangsung. Bukan malah menjadi masalah, sebagaimana banyaknya kemelaratan di
dunia Islam, sekaligus banyaknya teroris yang saat ini juga bercokol dari dunia
Islam.
Terakhir, sejauh mana
sumbangan dunia Islam terhadap peradaban dunia, itu adalah ukuran mulia atau
hina dirinya. Jika dunia Islam sejauh ini hanya menyumbangkan imigran gelap dan
banyaknya anak belaka, maka predikat dunia Islam sebagai dunia yang
terbelakang, adalah sesuatu yang memang sudah sepantasnya. Umat muslim sendiri
yang harus bertanggungjawab
mengapa Islam terhina.
*Tulisan ini pernah dimuat di tubanjogja.org dengan judul "Mengapa Islam Terhina?"
Comments
Post a Comment