Monogami Jahili, Poligami Islami
Hal yang sama kelirunya juga terjadi dalam menafsir ayat Alquran surat An-Nisa Ayat 3, “… kawinilah perempuan yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,” yang dipahami semata sebagai ayat tentang poligami.
Ayat tersebut
kemudian melahirkan dua kutub penfsiran. Kutub paling kanan adalah para
praktisi poligami yang menyatakan bahwa poligami adalah anjuran Allah dalam
Alquran, sehingga mengingkarinya adalah mengingkari ajaran Islam itu sendiri.
Sementara itu,
kutub paling kiri yakni kaum feminis-muslim, menganggap ayat itu sebenarnya
adalah anjuran monogami, atau minimal membatasi kecenderungan poligami tanpa
batas. Bahwa poligami boleh saja kalau mampu, tapi maksimal empat. Itu pun
harus adil. Kalau takut tidak adil ya satu saja. Padahal adil itu tidak
mungkin.
Biasanya akan
dikutipkan juga Surat An-Nisa Ayat 129 yang berbunyi “Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian.” Ayat itu kemudian dianggap menasakh ayat
sebelumnya, yang maksudnya adalah Allah secara tersirat menyuruh monogami.
Kedua kutub tersebut, baik kiri maupun kanan, sebenarnya sama saja.
Sama-sama ahistoris. Dan ahistoris itu terjadi karena mereka terlalu semangat
mendakwahkan keyakinannya.
Bahasa Dakwah
Setiap golongan
punya bahasa dakwahnya sendiri. Namun, seberapa pun bedanya, bahasa dakwah
sesungguhnya sama, yakni upaya menggeser dari kegelapan menuju pencerahan.
Seluruh narasi
dakwah kaum feminis-Islam berfokus pada emansipasi perempuan. Dasarnya adalah
suatu keyakinan atas kesetaraan antara lelaki dan perempuan. Keyakinan ini
adalah anak kandung modernisme yang kebetulan datangnya dari Barat, yang
kemudian menyebar ke penjuru bumi dengan berbagai varian feminisme, termasuk
feminisme Islam.
Kaum feminis
islamis menolak total poligami dengan alasan bahwa itu melemahkan dan
merendahkan derajat perempuan. Sementara semangat ajaran Islam adalah
kesetaraan umat manusia, tidak peduli lelaki atau perempuan. Derajat manusia di
mata Allah adalah soal ketakwaannya.
Ini bisa dilihat
semangat yang diusung Islam, misalnya soal pemberian hak waris bagi perempuan
yang diajarkan Alquran, meskipun baru sebatas separuh dari hak waris laki-laki,
itu sudah merupakan bagian dari emansipasi, sebab kondisi historis zaman itu
belum memungkinkan untuk mendapat hak waris secara penuh. Sementara itu, dalam
soal poligami, bagaimanapun bagusnya, monogami tetaplah dianggap yang ideal.
Sebab poligami melukai perempuan sebagai istri. Hal itulah misalnya yang
membuat Nabi membela putrinya, Fatimah, ketika menolak dipoligami oleh Ali bin
Abi Thalib.
Sementara itu,
narasi dakwah praktisi poligami adalah mengampanyekan bahwa poligami itu adalah
suatu solusi dari Allah dalam kehidupan manusia. Daripada berzina? Begitu alibi
yang paling mudah ditemui.
Beberapa dari golongan
ini yang lebih intelek memberikan argumentasi yang mengesankan, bahwa laki-laki
memang terlahir untuk menyebar benihnya, sementara perempuan terlahir untuk
memilih benih mana yang berkualitas. Itulah alasan pria punya jutaan sel sperma
sekali crot, sementara sel ovum hanya satu. Artinya, syariat Islam
sebenarnya sudah sesuai dengan fitrah manusia.
Dilema
Feminis-Muslim
Bahwa ayat Alquran memuat
tentang poligami memang ada. Tak mungkin disembunyikan atau dihapus. Paling
mungkin adalah melakukan penafsiran atas teks Alquran itu. Dan sejauh ini kaum
feminis-muslim cukup berhasil. Yakni poligami itu sah hanya kondisi tertentu
dan terbatas maksimal empat istri, itu pun dengan syarat yang berat, yakni
adil. Sementara suami akan sulit untuk adil, sehingga tawarannya hanya
monogami. Semangat ayat itu, bagi mereka, adalah semangat membatasi. Bukan
semangat menambah istri sebagaimana banyak praktisi poligami saat ini.
Itulah yang
dikoarkan para feminis-muslim. Lantas, demi membenarkan pendapatnya itu, lalu
cuplikan ayat Alquran soal empat istri, yakni QS… ditafsir lebih jauh bahwa
ayat itu memang menyuruh orang menikah, 2, 3 atau 4 istri, tapi yang harus
ditekankan adalah soal keadilan. Sementara di sisi lain, lelaki nyaris tak
mungkin adil. Sehingga kalau mau adil satu-satunya jalan adalah monogami. Dalam hal ini banyak dari mereka akan
menyertakan dalil lagi yakni An-nisa Ayat 129 tentang ketidakmungkinan berlaku adil.
Namun, ketika ayat
Alquran itu di hadapkan pada fakta sejarah bahwa Nabi Muhammad sendiri beristri
9, dan para sahabat yang beristri lebih dari 10, bagaimana mereka menyikapinya?
Nah, untuk hal ini mereka biasanya akan menjawab bahwa poligami yang dilakukan
oleh Nabi dan para sahabat itu karena situasi belaka. Situasi itu yang sangat
berbeda dengan sekarang, sehingga kalau pun toh dulu dianggap solusi, saat ini
sudah tidak lagi.
Kalau mau ditelisik
lebih dalam, sebenarnya golongan feminis-muslim
terjebak dalam suatu asumsi ideologis, sehingga meleset baik dalam
membaca teks Alquran atau membaca sejarah. Teks Alquran surat An-nisa itu
dipahami sebagai pembatasan berpoligami atau anjuran monogami. Sementara dalam
membaca sejarah, mereka menyatakan bahwa praktik perkawinan jahiliyah adalah
poligami tanpa batas, dan Islam membatasi. Padahal kenyataan sejarahnya tidak
seperti itu.
Kalau mengkaji
sejarah secara jujur, justru Arab Quresy sebelum dakwah Nabi Muhammad, sudah
terbiasa monogami. Sebut saja Abdullah (ayah Nabi), Abu Sufyan, Abu Lahab, atau
Abu jahal (koreksi kalau saya salah). Sementara itu, di sisi lain kita
mendapati fakta sejarah bahwa Nabi Muhammad & para sahabat banyak yang
poligami, dan poligami mereka lebih dari empat istri. Nabi sendiri beristri
lebih dari 10. Beberapa sahabat Nabi beristri lebih banyak. Khalifah Utsman
beristri 18, Saad bin Abi Waqqas beristri 40. Ali bin Abi Thalib, yang selama
ini dicitrakan hanya beristri Fatimah), ternyata beristri 9.
Namun, dengan
begitu apa bisa disimpulkan begitu saja bahwa Islam mendorong orang berpoligami
sebagaimana dikoarkan para praktisi poligami itu? Ya tidak juga.
Islam, Perempuan,
dan Perbudakan
Istilah jahili di
atas, asalnya adalah bahasa dakwah, yang kemudian juga dipakai dalam narasi
sejarah dalam menandai suatu fase. Bahwa sebelum Islam, Arab adalah jahiliyah.
Padahal, ya ada aspek-aspek yang jahili dalam masyarakat Arab, dan ada yang
islami. Sehingga Nabi Muhammad hadir bukan untuk merombak semuanya, tapi
membongkar yang jahili dan menggantinya dengan yang islami. Di titik ini ayat
Alquran “innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq,” jadi terasa
bermakna.
Islam jelas punya
semangat emansipasi, bukan hanya emansipasi perempuan belaka tentu saja, tetapi
emansipasi bagi pihak yang lemah atau dilemahkan. Pada zaman awal Islam,
poligami yang marak dilakukan para sahabat Nabi, tentu saja harus dilihat
konteksnya yang lebih holistik. Ada anak yatim, ada perbudakan, ada pemiskinan,
dan sebagainya, yang intinya segaris dengan golongan mustadhafin alias
kaum lemah.
Islam jelas
berpihak pada mustadhafin, yang dalam sejarah saat itu dibaca bahwa jatuhnya
perempuan muslim merdeka menjadi budak sebab suaminya meninggal (entah sebab
perang atau apa), akan lebih dihindari. Daripada jadi budak, lebih baik
diperistri oleh muslim merdeka, terutama yang mampu menafkahinya. Itu akan
menghindarkannya dari perbudakan, dan menghindarkan keterlantaran anak-anak
yatim. Maka wajar saja jika seorang sahabat Nabi yang lebih mampu secara
ekonomi istrinya akan sangat banyak.
Poligami dalam hal
ini bisa dipahami sebagai mekanisme kultural dalam menghadapi keadaan, yang
tentu saja bisa dikritik di kemudian hari seiring perubahan zaman. Sebab zaman
itu infrastruktur kebudayaan masyarakat Arab seperti belum memungkinkan
perempuan untuk bekerja bebas seperti era modern saat ini.
Namun, jika semua
itu hanya soal situasi
zaman, apakah pada situasi tertentu Islam kemudian bisa saja
membenarkan poliandri dan LGBT? Ah, itu rumit lagi.
Penulis: Taufiq Ahmad
Comments
Post a Comment