Fenomena Hijrah, Hadis Palsu, dan Jernih dalam Mengambil Sikap

Oleh: Nadya Azzahra Kamilaini

Dewasa ini, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang berhijrah. Mereka terpengaruh oleh beberapa public figure yang belakangan kerap mengunggah konten “keislaman” di media sosial. 

Dengan adanya tren hijrah ini, maka cara hidup sesuai sunah pun mulai ramai dibahas. 

Sunah mengacu pada—mudahnya—hadis atau segala perilaku dan perbuatan Nabi Muhammad. 

Tidak seluruh hadis yang kita dengar dapat diamalkan. Pasalnya, tidak semua hadis yang ada itu adalah hadis yang benar-benar tersambung pada Nabi.

Hadis terbagi menjadi tiga (3): hadis sahih, hasan dan daif. Dengan ini, kita harus mengetahui bagaimana redaksi hadis yang kita dapat dan apa boleh untuk diamalkan. 

Persyaratan untuk menentukan kriteria sebuah hadis yaitu keseimbangan sanad, keadilan rawi, ke-dhabit-an rawi, tidak terdapat kejanggalan, dan terhindar dari cacat. 

Ditemukannya hadis daif sebenarnya tidak menjadi masalah besar dalam menjalankan ibadah. Tetapi, sebagai umat Islam yang mempunyai dua sumber pedoman mesti pandai menyaring informasi yang akurat mengenai kebenaran sumber hukum tersebut.

Contohnya hadis tentang kebersihan yang sering didengar dan sangat terkenal, yang berbunyi:

النظافة من الايمان

Kebersihan itu sebagian dari iman

Hadis di atas memiliki makna baik yakni, menyeru untuk menjaga kebersihan. Ketika seseorang telah menjaga kebersihan, maka dia juga telah menjaga keimanannya. 

Namun, jika dilihat dari kualitas dan asal muasal hadis tersebut, hadis ini termasuk ke dalam hadis maudhu’ (hadis yang sengaja dibuat palsu).

Memang benar jika tujuan hadis ini baik, tapi hadis ini bukanlah berasal dari Nabi.

Kemudian, hadis tentang berbuka puasa. Hadis atau doa ini sangat terkenal ketika berbuka puasa. Karena doa ini sudah dikenalkan sejak dini.


عَنْ مُعَاذ بْن زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبىَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إذَا أَفْطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رزْقكَ أَفْطَرْتُ

Dari Mu’adz bin Zuhrah, telah sampai kepadanya bahwa Rasûlullâh SAW. apabila hendak berbuka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan: Ya Allah karena-Mu aku berpuasa dan dengan rizki dari-Mu aku berbuka

 

Daifnya hadis ini disebabkan adanya periwayat yang tidak diketahui identitasnya. Kualisifikasi Hadis ini tergolong sangat lemah, karena periwayatnya memiliki sifat pendusta dan tertuduh sebagai pemalsu hadis. 

Lantas doa apa yang mesti dibaca ketika berbuka puasa? Terdapat satu periwayatan hadis yang sah mengenai doa berbuka puasa. 

Hadis ini hasan riwayat Abu Dawud. Daru Quthni telah menilai hadis tentang berbuka puasa ini, beliau mengatakan “Sanad hadis ini hasan”.


عَن ابْن عُمَرَ كَانَ رَسُولُ اللّ صَلَّى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ إذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْجْرُ إنْ شَاءَ الله

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, adalah Rasûlullâh SAW. apabila berbuka puasa, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallammengucapkan: Dahaga telah lenyap, urat-urat telah basah dan pahala atau ganjaran tetap ada InsyaAllâh 


Beberapa pendapat ulama terhadap hukum mengamalkan hadis daif, sebagai berikut:

1.    Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'I, Imam Malik dan Abu Dawud berpendapat bahwa mengamalkan hadist dho’if secara mutlak, yaitu dalam halal, haram dan wajib jika tidak didapatkan hadis lain dalam permasalahan yang sama

2.    Mayoritas ulama, ahli hadis dan ahli fikih berpendapat bahwa mengamalkan hadis yang lemah tentang keutamaan perbuatan yang diinginkan dan tidak disukai.  

3.    Pendapat Hakim Abu Bakar Al-Arabi adalah memperbolehkan untuk mengamalkan serta memakai hadis dho'if dengan catatan, yang pertama khusus dalam hal Targhib wa Tarhib (Motivasi beramal dan ancaman bila bermaksiat), yang kedua adalah Fadhoilul AmalAdapun untuk masalah akidah dan hukum halal-haram itu tidak boleh digunakan.

Mengamalkan hadis daif boleh jika hal itu berhubungan dengan muamalah, karena tidak berakibat dosa jika kita mengamalkannya. 

Hadis-hadis daif dapat diamalkan dengan salah satu syaratnya tidak kontradiksi dengan hadis-hadis hasan atau pun sahih, apalagi Al-Qur’an serta ketika dalam penyampaian hadis ada baiknya disebut bahwa hadis ini lemah. Sebab hadis daifditimbang lebih baik dibandingkan perkataan ulama. 

Jadi, dasar itulah beberapa ulama yang memilih untuk membolehkan pengamalan hadis daifPerlu dicatat, hadis daif tidak dapat diamalkan dalam hal terkait akidah. Sebab pemahaman akidah harus benar-benar dan pasti pijakannya: Tuhan. 

Poinnya, untuk kasus tren hijrah dengan beragam kutipan hadis yang digunakan para agennya, kita perlu hati-hati. Kita harus jeli pada kebenaran hadis dan konteks munculnya. 

 

 

 

 

 

 

Comments