Menggali Diri, Menuju ISI

Raudya Nurafifah*

Mungkin kita tidak asing dengan adagium ini: barang siapa kenal dirinya, maka kenal Tuhannya, man arafa nafsahu faqad arafa rabbahuDalam lingkaran sufi khususnya, kalimat bijak tersebut cukup populer.  

Meski demikian, jarang yang tahu bahwa ada beberapa perbedaan terkait redaksi. Imam Ibn Qudamah menyampaikan, redaksi yang lebih tepat bukanlah nafs tapi qalb. Man arafa qalbahu arafa rabbahu (siapa yang mengenal hatinya maka dia mengenal Tuhannya). 

Terlepas darinya, sebagian kita barangkali penasaran, itu hadis ndak sih? Para pakar terbagi menjadi dua di sini. Sebagian berpendapat, itu bukan hadis, tetapi ungkapan ulama, yakni Yahya bin Muadz. 

Mereka tidak heran kenapa ada yang menilai ungkapan Yahya sebagai hadis sebab, menurut mereka banyak hal yang Yahya sampaikan mirip dengan hadis-hadis Nabi. 

Jadi, jika ada yang bingung, maka itu murni karena kelihaian Yahya dalam menyusun diksi dan merenungkan isi. 

Sebagian lainnya meyakini itu adalah hadis. Mereka berpijak pada pendapat Ibn Arabi.

Di suatu malam, Ibn Arabi bermimpi berjumpa Nabi Muhammad. Di tengah mimpi, rupanya ia sadar bahwa ia sedang mimpi berjumpa Nabi. 

Spontan, ia ingat betapa sebetulnya ketika ada manusia bermimpi berjumpa Nabi, maka itu adalah Nabi sungguhan, bukan jelmaan setan atau semacamnya. 

Sebab setan dan semacamnya tidak mampu menjelma nabi meski dalam mimpi. Man ra’ani fi al-manam faqad ra’anifa inna al-syaithana la yatamassalu bih(siapa yang bertemu aku dalam mimpi maka dia betul-betul bertemu aku, karena setan tidak dapat menyerupai aku)

Walhasil, ia pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut dan ia melakukan klarifikasi pada Nabi tentang adagium di atas tadi. 

Jawabannya Nabi tegas, “Man Arafa Nafsahu … adalah kalamku!”

Berdasar cerita Ibn Arabi ini, mereka meyakini, Man Arafa Nafsahu … bukan sekadar ungkapan ulama, tapi hadis yang tersambung ke Nabi Muhammad. 

Lantas, mengapa ada silang pandangan seperti ini? Sebab epistemologi kedua belah pihak dalam merespons suatu ungkapan berbeda. 

Kalangan pertama lebih pada ahli hadis, sedangkan kedua ahli tasawuf. Ahli hadis cenderung menolak sesuatu yang tidak bisa dibuktikan secara empiris, sedangkan ahli tasawuf sebaliknya.

Poinnya adalah, mau ungkapan itu hadis atau bukan, yang jelas maknanya sungguh relevan untuk kita terapkan hari ini, di tengah banjir informasi.

Kita pernah sadar ndak sih bahwa sekarang—akibat adanya sosial media yang mudah membuat kita kecanduan—kita kerap kehilangan diri kita sendiri. 

Kita sering lupa, siapa kita, untuk apa kita ada, dan mengapa kita di sini, padahal kesadaran seperti ini adalah pintu masuk untuk memahami diri kita sendiri dan kemudian mengenali Siapa Pencipta kita. 

*Penulis adalah Mahasiswi UIN Sunan Kalijaha Yogyakarta

 

 

Tags

Post a Comment

1 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin
  1. wangun mbak, semoga kita lekas mengenal kita

    ReplyDelete