Teruntuk kamu yang FOMO, Tobatlah!

You don’t have to know everything; you only have to know enough!

Begitulah satu penggalan pernyataan Tim Jenkin, tokoh utama narapidana dalam film Escape from Pretoria (2020). 

FYI, film ini diambil dari kisah nyata, yang secara umum menggambarkan perjuangan penduduk Afrika Selatan melawan politik Aparthied tahun 1970-an. 

Apa yang terucap oleh Jenkin, saya kira, adalah nasihat yang sangat relevan untuk konteks saat ini: kondisi di mana sebagian besar orang tak bisa lepas dari media sosial yang setiap hari dibanjiri beragam informasi. 

Ada banyak informasi berseliweran yang terkadang sebenarnya tidak terlalu kita butuhkan. 

Saya sendiri, sialnya, tidak bisa menghindar untuk selalu mengecek tren di twitter yang setiap waktu selalu berganti-ganti. 

Dan berapa banyak dari kita menghabiskan waktu untuk “sekadar” menonton story Whatsapp, Instagram, Facebook, dan barang maya lainnya? 

Berwawasan luas adalah baik bukan? Tapi, jika dalam proses pencapaian itu mengganggu tanggung jawab masing-masing dari kita, bukankah itu lalu berpotensi sebaliknya? Membuang waktu yang semestinya bisa digunakan untuk perkara yang (mungkin) lebih penting?

Saya begitu resah mendapati bahwa sebagian, untuk tidak menyebut banyak, kawan saya di kampus tidak lebih tahu soal isu akademik ketimbang tetek bengek yang viral di jagat maya. 

Jengkelnya lagi, ada kawan yang nyinyir “itu lho yang lagi viral, masa kamu nggak tahu sih?” saat mendapati saya tidak update soal Niki Zefa yang tampil di panggung international Coachella. Seakan-akan tidak tahu soal barang viral adalah aib. 

Gara-gara pola pikir semacam ini lalu banyak yang bangga dengan sebutan—yang dalam bahasanya Andrew K. Przybylki Oza Rangkuti—FOMO (Fear of Missing Out) untuk menunjukkan diri sebagai orang yang selalu update informasi (meski sebenarnya pemaknaan awalnya nggak begitu).

Bagi seorang yang bekerja sebagai petani padi, manakah yang lebih penting antara update persidangan konflik rumah tangga Johnny Depp dan Amber Heard yang beberapa kali trending di twitter ketimbang menonton video tutorial mengusir hama wereng di Youtube yang penontonnya tak lebih dari sepuluh ribu? 

Atau jika kamu adalah penjual kopi tubruk, apakah lebih perlu ikut menghujat Zinidin Zidan gegara memparodikan Andika Kangen Band ketimbang mengembangkan produk kualitas kopi lewat riset penanaman kopi yang baik?

Tentu saja saya tidak sedang mengatakan media sosial tidak penting. Ini hanya soal informasi mana yang perlu dari masing-masing kita untuk diperbarui dan mana yang tidak. Dan bahwa tidak semua yang viral di medsos perlu kita ketahui.

Saya teringat, ada satu penafsiran yang diajukan Quraish Shihab saat mengomentari ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah yang kupikir relevan di sini. 

Di ayat 30-33, dikisahkan Tuhan hendak menciptakan khalifah di Bumi dan mengabarkan rencana itu kepada para malaikat. 

Dalam kisah itu, diceritakan bahwa malaikat melakukan protes sebab mereka khawatir keputusan Tuhan justru akan berdampak buruk.

Untuk menunjukkan anggapan para malaikat itu keliru, Adam yang ditunjuk sebagai khalifah diajarkan (diberikan pengetahuan) oleh Tuhan mengenai nama-nama suatu benda. 

Kemampuan Adam dalam mengetahui nama-nama benda ini lalu diperlihatkan kepada para malaikat yang sebelumnya saat ditantang untuk menyebutkan nama-namanya mereka tak mampu melakukannya. 

Apa yang menarik dari cerita ini adalah Adam diberikan pengetahuan soal nama benda itu sedangkan malaikat tidak. 

Bukankah itu curang (bagi malaikat)? Mengapa demikian? Jawaban Quraish Shihab kurang lebihnya begini: Dalam doktrin Islam, tugas para malaikat hanyalah beribadah. “Malaikat sudah teprogram demikian”, karenanya, pengetahuan (mengenai nama-nama benda) tidak diperlukan untuk keperluan tugas-tugas mereka. 

Dari sini hikmah pentingnya adalah: tidak semua hal perlu diketahui oleh siapa pun. 

Manusia adalah khalifah yang menjadi wakil Tuhan untuk mengurus bumi, dan masing-masing darinya menjalankan ‘peran yang diamanahkan’. 

Dari sini, kupikir perlu untuk ditekankan bahwa pengetahuan yang tidak sesuai dengan peran yang diemban tentu saja tidak akan memberikan manfaat yang berarti.

Dus, jika kamu adalah ahli teknik mesin yang sedang fokus melakukan riset bagaimana mengembangkan kendaraan listrik demi bersaing dengan Tesla, kamu nggak perlu merasa punyai aib saat nggak tahu kalau Livy Renata nggak kenal siapa Luna Maya.

 

Penulis adalah pengamat Bennedict Cumberbatch—untuk tidak bilang penggemar—yang sedang kecewa karena Mas Ben mau-maunya membintangi film konyol Marvel Doctor Stange. Bersua dengan penulis bisa lewat Instagram @al_achsan.

Tags

Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin