Daya Tarik Dusta



Contradixie, Esai -- Selepas bangun dari tidur panjang, seperti biasanya, November menggeliat dengan agak malas. Wajahnya licik. Sama dengan tahun-tahun sebelumnya. 


Ia menyapaku dengan datar. Melirik dengan ekor mata kirinya–antara meremehkan dan sewot–melewatiku begitu saja, dan menuju kamar mandi sambil menarik handuk yang sengaja ia sampirkan di pundak. 


November memang tidak bisa pura-pura. Dari rautnya, ia sudah berlatih keras untuk bisa berbohong tapi nihil. Ia memang November dan karenanya sangat membosankan.


Manusia dirancang berbeda. Mereka tidak saja mampu berbohong tapi juga mau. Orang yang mau berbohong pasti modelnya seru, apalagi kebohongan tersebut ia rencanakan seperti hendak membangun ibu kota baru. 


Yuval Harari melihat lebih jauh. Baginya kebohongan tidak sekadar seni melainkan penemuan terbesar dalam sejarah Homo Sapiens. Ia meyakini, tanpa teknologi dusta manusia adalah primata.


Seperti hasrat, ia berevolusi. Dulu, dusta memainkan peran penting dalam membangun sistem kerja sama dalam skala lebih dari 150 orang–yang ini merupakan cikal bakal terbentuknya "negara". Sekarang ia mewujud pertunjukkan seni berbasis kerakyatan yang dengan tanpa lelah menghibur mereka yang sedang bosan.


Kubuka November ini dengan menonton pentas seni tersebut. Pertunjukkan dipersembahkan oleh siswa-siswi Madrasah Aliyah. Dengan cukup baik mereka mengarang cerita tentang dua temannya yang tidak masuk sekolah. 


"Joko sakit, pak," kata Gal Garnasih, salah satu siswi, "sudah dua hari ini tidak masuk."


Sambil mendengarnya aku lihat buku kahadiran siswa. Di situ, dua hari lalu, atas nama Joko tercatat hadir. 


"Oke baik. Sakit apa Joko?" Tanyaku pura-pura antusias.


"Hmmm itu, pak. Kepalanya pusing," jawabnya sambil melirik teman di sampingnya.


"Sakit kepala? Oh maksudnya demam?"


"Lha iya. Benar. Itu pak, demam," ada siswi lain menimpali.


Lalu, disusul secara bersamaan oleh siswa lainnya: iya pak, Joko demam. 


"Oke. Kalian kompak sekali. Baik tak tulis Sakit ya berarti Joko," jawabku, "terus yang Mega kenapa tidak masuk?"


Mendengar pertanyaanku yang terbilang tiba-tiba, mereka untuk sejenak diam. Beberapa yang di pojok menunduk dan yang lainnya saling berkomunikasi menggunakan mata, hingga jawaban dari siswi yang sama Gal Garnasih memecahkan kesunyian. 


"Mega latihan upacara, pak. Jadi tak bisa masuk kelas," katanya. 


"Oh iya? Keren itu. Dia mewakili kelas ini untuk tugas kenegaraan. Untuk upacara apa?" Jawabku


"Upacara apa ya, pak?"


"Ya tak tahu dong aku. Sek sek. Apa latihan upacara untuk 10 November besok?" 


"Lha iya. Itu pak. Benar. Mega latian untuk upacara itu," dia merespons dengan cepat dan penuh elan.


Sangat menghibur! Riang rasanya mendapati anak-anak mau mengasah daya ciptanya. Belum lagi ketika mengamati mimik muka mereka: ada yang menahan tertawa, ada yang menahan untuk tidak bilang sejujurnya, dan ada juga yang justru mengamati mimik mukaku. 


Dusta memang penuh dengan daya tarik dan karena ini akhirnya aku punya alasan logis untuk rutin mengabsen anak-anak. 


Lebih jauh, evolusi dusta menjadi hiburan rupanya beririsan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Jika interaksi yang terjadi di lingkup sekolah, maka itu tadi penggambarannya. 


Jika di ruang publik–dengan asumsi bahwa sekolah di daerahku bukan sebagai ruang publik–yang tampil ke permukaan boleh kukatakan lebih seru. 


Baru saja ini, ketika aku pesan es kopi susu di salah satu kafe di Bantul, aku minta tolong sama mbak kasir agar wadahnya pakai gelas kaca, bukan gelas plastik yang tengah merusak planet.


Bukan soal bahwa aku ingin menyelematkan planet sih–tugas ini biar dipikul Amerika Serikat saja, yang selalu save the world itu–tapi lebih karena rasa. Kita tahu kan, bagaimana rasa kopi kalau diseduh di wadah plastik, apalagi plastik tipis dengan bubuhan iklan di kanan-atas-kirinya.


Pikiranku sudah penuh oleh bayangan es kopi tanpa intervensi plastik ketika minta tolong ke mbak kasirnya. Mbaknya pun sudah balik kanan untuk bilang pada baristanya, tapi baru satu langkah, ia balik kiri dengan mimik muka yang sangat distingtif. 


"Eh itu, mas. Gelasnya kosong," katanya.


Pas bicara, mbaknya menatap ke bawah tapi selepas tahu reaksiku standar ia segera menatapku dengan mimik yang aku susah menggambarkannya menggunakan kata. Yang jelas, ia menggigit bibir bawah kanannya sambil rautnya menahan sesuatu untuk dilepaskan. 


"Oh oke. Aman mbak," aku jawab dengan pura-pura percaya bahwa gelasnya memang kosong. Mendengar tanggapanku, mimik mukanya terlihat lega. 


Benar-benar penampilan yang seru dan sejak saat itu, setiap ke sini, aku selalu memesan es kopi susu dengan permintaan khusus: disajikan dengan gelas kaca!


Untukmu yang sedang bosan, cobalah kapan-kapan menonton pentas dusta ini. Tenang, semuanya gratis. Para oligark belum menyadari potensi ini. Selamat November! (zv)


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Mohon Jangan Spam Disini. Semua Komentar ditinjau oleh Admin